in ,

Kisah Pilu Warga Kampung Terkecil di Semarang

KAMPUNG Basahan yang terletak di Kelurahan Sekayu Semarang Tengah atau Jalan Bojong (Sekarang Jalan Pemuda), nyaris punah. Bagaimana tidak, posisinya sekarang diapit antara Hotel Novotel dengan bekas gedung Semarang Theater.

Tercatat sejak tahun 2005 silam, Kampung Basahan tinggal tersisa 2 Kepala Keluarga (KK) dan seorang pemulung bernama Sugiarto alias Mbah Baito (64). Pantas saja jika Kampung Basahan merupakan kampung terkecil di Kota Semarang.

Mbah Baito sendiri saat ini tidak mempunyai KK atau tempat tinggal. Sehari-hari ia hanya tinggal sebatang kara sebagai penduduk Perko (emper toko), berpenghasilan dari hasil memunguti sampah. Padahal dia merupakan penduduk asli di kampung tersebut.

Saat ini, kampung ini berbentuk lorong sepanjang 70-an meter sebagai jalan pintas antara Jalan Pemuda ke Jalan Piere Tendean. Bisa dikatakan, di jalan yang mempunyai lebar sekira 1,5 meter itulah sebenarnya menjadi tetenger Kota Semarang memulai sejarah.

Ada tiga penduduk asli yang tersisa dan tercatat memiliki kartu keluarga, tapi hanya Mbah Baito yang masih tinggal di Kampung Basahan tersebut. Dua di antaranya telah pindah di daerah Ngaliyan.

Kendati tanah dan rumah Baito telah dibeli oleh investor, Mbah Baito tetap bertahan tinggal di Basahan. Dia megaku tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya itu. Meski sebenarnya, ia telah diajak pindah ke daerah Mangkang oleh anaknya.

Namun demikian, ia tetap memilih tinggal di tempat itu. Kakek sebatangkara ini menjadi generasi terakhir di Kampung Basahan. “Sampai mati saya tetap tinggal di sini (Basahan-red). Saya sudah cukup senang hidup di Perko (emperan toko),” tutur kakek yang berprofesi sebagai pemulung itu.

Mbah Baito sempat bercerita mengingat masa Kampung Basahan saat masih menjadi kampung normal. “Dulu, di tempat ini banyak anak-anak bermain gobak sodor, gundu dan kalau malam ada warga yang jaga di pos kamling,” kenangnya.

Namun sekarang pemandangan itu sudah menjadi tontonan yang benar-benar mahal. Bahkan dipastikan tidak mungkin bakal terjadi kembali. Ia hanya bisa melihat gedung-gedung bertingkat, orang-orang berdasi, lalu lalang mobil mewah, dengan tatapan kosong.

Mengingat masa indah itu, terlihat jelas wajah Mbah Baito perih. Cerita masa kecil itu telah terbungkus rapi di hati menjadi kenangan. “Entahlah, dulu saat tanah saya akan dibeli oleh cukong, tiba-tiba saya ya mau saja. Mungkin karena butuh uang dan membelikan tanah untuk anak-anak sehingga akhirnya melepaskannya,” ujar Mbah Baito.

Mengenai sejarah singkatnya, Mbah Baito menjelaskan dengan bahasa ringan. Dikatakannya, Kampung Basahan bukan basah (karena air) atau sering terjadi rob dan banjir. Namun pada mulanya ada seorang tokoh besar atau ulama penyebar agama Islam bernama Kiai Basah Sentot. Dia adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga. “Beliau yang “Babat Alas” kampung ini bersama sejumlah muridnya,” ungkapnya.

Mbah Baito memperkirakan, kejadian itu terjadi sezaman dengan perang Diponegoro. Kiai Basahan kemudian mendirikan gubug-gubug yang kemudian menjadi rumah-rumah hingga menjadi perkampungan. “Sebutan Kampung Basahan sendiri yang memberi adalah para santri pengikut Kiai Basahan,” ungkapnya. nurul izza)

Editor: Ismu Puruhito

Abdul Mughis