SEMARANG (jatengtoday.com) – Tepat pada Sabtu, 11 Agustus 2018, sosok kiai sekaligus budayawan nyentrik, KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus, genap berusia 74 tahun.
Pemikiran pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin Rembang ini dinilai seperti mata air ilmu yang jernih, sejuk dan mencerahkan ketika masyarakat linglung di tengah iklim politik Indonesia yang panas dan liar.

Tak salah, banyak pihak menilai Gus Mus hadir sebagai salah satu tokoh “soko guru” bangsa yang di eranya. Kerendahan hati dan kebijaksanaan Gus Mus dalam melihat permasalahan bangsa menempatkannya sebagai pusaka yang dimiliki Indonesia.
Gus Mus seperti air yang mengalir dan hadir di mana-mana. Gaya pemikirannya yang nyleneh dan bijaksana mampu memasuki ruang-ruang spiritual kalangan manapun. Tak pandang agama dan membela pihak yang lemah.
Pemikirannya kerap disampaikan dengan cara berbeda dan selalu mengejutkan. Tidak hanya tampil sebagai ahli tafsir dan sufi, Gus Mus bisa hadir melalui lukisan, sastra puisi, cerpen, syair, twitter, instagram, facebook, hingga chanel YouTube.

Salah satu karya seni rupa yang menghebohkan adalah lukisan berjudul “Berzikir Bersama Inul” (2003). Lukisan tersebut sempat mengundang kontroversi, karena menampilkan sebanyak 14 kiai sedang khusyuk berdzikir. Sedangkan di tengah-tengah para kiai tersebut terdapat seorang wanita seksi sedang menari ‘ngebor’ alias goyang pantat. Penari tersebut menggambarkan sosok penyanyi Inul Daratista yang kala itu juga kontroversial dan banyak dicerca publik.
Sebuah karya lukisan satir yang membuat sejumlah kalangan kebakaran jenggot karena dianggap telah melecehkan Islam. Bahkan ketika dipamerkan di ruang Ash-Shofa Masjid Agung Al-Akbar Surabaya, sempat mendapat teror dari sekelompok organisasi yang mengancam akan membakar masjid.

Tak kalah mengusik pemikiran publik, bersamaan dengan itu, Gus Mus juga melahirkan karya sastra puisi berjudul “Negeri Daging”. Melalui puisi itu, Gus Mus menuangkan pesan moral bahwa ada hal yang lebih penting diurus ketimbang mencaci maki si penghibur rakyat Inul. Tidak hanya itu, berbagai karya Gus Mus dikenal memiliki samudera pemikiran yang sangat luas untuk dikaji lebih dalam.
Di usia 74 tahun, sejumlah rekan, sastrawan, seniman, budayawan, hingga pekerja media, memberikan penghargaan kepada Gus Mus dengan menggelar sarasehan budaya bertajuk “Mata Air Gus Mus – Milad 74 Tahun” di Jalan Pandanaran II Semarang, Sabtu malam, 11 Agustus 2018.
Sejumlah tokoh besar, seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Ahmad Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, D Zawawi Imron, Sudjiwo Tedjo, Sitok Srengenge, Najwa Shihab, Djoko Pinurbo, Nasirun, Timur Suprabana, Prie GS, Ulil Absor Abdala, dan puluhan seniman lain, hadir meramaikan acara tersebut. Selain itu juga Kapolda Jateng Irjen Condro Kirono, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan sejumlah tokoh lain.
Bahkan ribuan orang datang hingga berdesak-desakan untuk sekadar menghadiri kehangatan para tokoh yang cintai umat. Dalam perayaan Milad tersebut, Gus Mus dihadiahi sebuah film pendek berjudul “Gus Muslih”. Kejutan itu disampaikan oleh sastrawan Djoko Pinurbo, untuk diputarkan khusus dalam Milad ke-74 tahun Gus Mus.
Film yang disutradari Anto Galon itu mengangkat tema dari salah satu cerpen karya Gus Mus. Dibintangi aktor pelawak kawakan Nurul Qomar alias Qomar, film ini juga tak kalah mengundang kontroversi. Bagaimana tidak, Gus Muslih, tokoh dalam film tersebut merupakan sosok misterius yang kerap membuat publik kebingungan dan bertanya-tanya. Mengapa sosok kiai malah justru memelihara anjing yang hukumnya jelas, bahwa anjing adalah hewan yang haram disentuh bagi umat Islam.
Setelah diprotes oleh para santri, akhirnya Gus Muslih menceritakan riwayat anjing tersebut. Ketika itu, Gus Muslih hendak pulang usai mengisi pengajian Halal Bi Halal di suatu daerah. Ia melihat seekor anjing dalam kondisi sekarat di tengah jalan. Anjing itu terluka parah dan membutuhkan pertolongan. Tanpa berpikir panjang, Gus Muslih mengambil anjing tersebut. Dalam kondisi hujan petir, ia lantas menggendong anjing itu untuk dibawa pulang.
Sesampai di rumah, Gus Muslih merawatnya hingga anjing itu sembuh. Di dalam salah satu adegan terdengar suara orang membaca Al-Qur’an dengan dilagukan menggunakan nada gending Jawa. Sedangkan di ending cerita, seorang sosok dari agama lain, bernama Babah Ong, meminta anjing tersebut dengan alasan agar tidak terjadi fitnah berkepanjangan bagi Gus Muslih. Gus Muslih pun memberikannya dan berpesan agar anjing tersebut dirawat dengan baik.
“Ketika seorang teman bertanya dan meminta menggambarkan sosok Gus Mus, saya tidak bisa menjawab. Ia meminta penggambaran satu kalimat saja. Lalu saya bilang ‘Kalau (Gus Mus) bertemu orang kafir, maka kekafirannya hilang’. Maka kita patut bersyukur kepada Tuhan, karena telah menurunkan orang seperti Gus Mus di Indonesia,” kata Djoko Pinurbo.
Sedangkan budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam kesempatan tersebut juga menggambarkan sosok Gus Mus. Cak Nun melihat dan memercayai bahwa sosok Gus Mus sesungguhnya lebih besar ketimbang Gus Mus seperti yang dikenal hingga sekarang ini.
“Jangan sampai Gus Mus menjabat jabatan apapun. Jangan sampai Gus Mus melorot jabatannya karena sebagai calon wakil presiden. Sebab, Gus Mus sendiri adalah jabatan tertinggi,” ungkapnya.
Tidak perlu ada 10 Gus Mus, cukup satu saja Gus Mus di Indonesia. “Gus Mus bisa melakukan jauh lebih besar, lebih banyak, lebih agung, dari apa yang dia lakukan sekarang ini. Saya melihat Gus Mus lebih besar dari yang saya kenal selama ini. Bahkan Gus Mus lebih besar dari Indonesia,” kata Cak Nun memberi pujian. (*)
editor : ricky fitriyanto