SEMARANG (jatengtoday.com) – Toleransi tak cukup hanya ditampilkan dalam sebuah simbol seperti mengadakan kegiatan yang dijadiri oleh umat lintas agama, kepercayaan, dan kebudayaan. Melainkan, sikap toleran harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut diungkapkan Ustaz Pondok Pesantren At-Taharruriyah Semarang, Khoirul Anwar, saat menyampaikan refleksi kebangsaan ‘Peranan Pemuda Lintas Agama dalam Merawat Kebangsaan’ di halaman Gereja Blenduk, Kota Lama Semarang, Sabtu (30/11/2019) malam.
Refleksi tersebut diungkapkan dalam Peringatan Hari Toleransi, Pagelaran Seni Nusantara yang diadakan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). Acara didukung GPIB Imanuel Semarang, GP Ansor Kota Semarang, PC PMII Kota Semarang, Gusdurian Semarang, dan GMKI Kota Semarang.
Ada berbagai rangkaian dalam acara itu. Seperti musik, nyanyian, tarian, musikalisasi puisi, hingga penampilan drama. Simbol persatuan tampak menonjol saat para penampil menggunakan atribut religiusitasnya masing-masing.
Namun dalam kesempatan itu, Khoirul mewanti-wanti agar bentuk kebersamaan ini terus dijaga. Jangan hanya selesai bersamaan dengan rampungnya acara. “Kita perlu memperbanyak kegiatan semacam ini, tapi ada yang lebih penting dari itu,” tegasnya.
Dia mencontohkan dengan tindakan intoleran yang terjadi belum lama ini. Di Brebes misalnya, ada jenazah seorang penghayat kepercayaan Sapto Darmo yang ditolak warga saat hendak dikebumikan di makam desa. Akhirnya, jenazah terpaksa dikubur di pekarangan rumahnya sendiri.
Ada lagi di Kota Semarang. Umat Kristiani merasa kesulitan ketika hendak mendirikan Gereja Baptis Indonesia (GBI) di Jalan Malangsari No. 83, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan.
Bahkan berdasarkan informasi dari pendeta setempat, Wahyudi, rencana pendirian gereja itu sudah sejak 1998. Artinya, pihak gereja sudah berjuang selama 21 tahun.
Dalam kesempatan berbeda Wahyudi mengungkapkan, jemaatnya tidak hanya kecewa dengan oknum yang menggelorakan penolakan. Tetapi, juga kecewa terhadap pemerintah yang tak kunjung hadir.
Meskipun begitu, Wahyudi merasa beruntung karena masih ada segelintir kelompok, LSM atau NGO yang intens mendampingi dan membantunya, meskipun notabene berbeda keyakinan dengannya.
Karena itulah, Khoirul Anwar mengajak segenap masyarakat tanpa memandang latar belakang ideologinya, untuk bersama-sama menggaungkan persatuan. “Menciptakan kerukunan. Menjaga hak asasi yang dimiliki orang lain,” ucapnya.
Khoirul juga mendorong untuk melawan segala bentuk persekusi dan intoleransi. “Kita semua wajib hukumnya untuk menyatakan dan melawan kezaliman-kezaliman yang ada di sekitar kita,” tegasnya di hadapan ratusan orang.
Menurutnya, hak asasi yang dimiliki manusia tidak boleh dikurangi sedikitpun, apalagi dihapus. Semua orang mempunyai hak untuk beragama, berkeyakinan, dan hidup tenang.
“Mari, jangan hanya memperlihatkan kerukunan dalam simbol-simbol. Tetapi juga mengamalkan, mempraktikkan dalam kehidupan. Agar toleransi yang sesungguhnya benar-benar terwujud di lingkungan kita,” tandasnya.
Hari Toleransi Internasional sendiri jatuh pada tanggal 16 November. Peringatan ini dilakukan satu tahun sekali dan dideklarasikan pertama kali oleh UNESCO.
Koordinator Pelita Budi Setiawan mengungkapkan, kegiatan ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya toleransi dalam hubungan berbangsa dan bernegara.
“Kesadaran tentang prinsip-prinsip toleransi harus terus ditingkatkan agar kita mampu menghormati budaya, agama dan kepercayaan, serta tradisi Nusantara yang amat kaya,” pungkasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto