in

Ketika Gus Mus dan Cak Nun Tertawakan Fenomena Kiai Jadi-jadian

SEMARANG (jatengtoday.com) – Duet pemikiran bijak dari Kiai Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus dan Emha Ainun Najib atau Cak Nun selalu memiliki magnet tersendiri bagi masyarakat di Indonesia secara umum.

Pemikirannya sederhana dan mudah dicerna. Tetapi memiliki kedalaman makna yang bisa diterima kalangan mana saja. Tidak hanya menyejukkan umat Islam saja, tetapi juga seluruh umat beragama.

Tentu saja, pemikiran bijak seperti itu semakin menunjukkan bahwa keduanya merupakan sosok kiai nyentrik sekaligus guru bangsa.
Kehadiran sosok Gus Mus dan Cak Nun selalu dirindukan di tengah iklim politik yang gaduh. Termasuk di tengah arus informasi bebas hingga mewabah fenomena ustadz maupun kiai ‘jadi-jadian’ di televisi maupun channel YouTube.

Banyak orang terkenal lantaran bergaya mengenakan kostum jubah putih. Lantas mereka menobatkan diri sebagai ustadz, ulama maupun kiai dan membuka tanya jawab persoalan agama.

Tetapi tak jarang, ustadz dan kiai jadi-jadian itu kerap memprovokasi umat dengan ‘jualan’ ayat-ayat suci. Mudah mengkafir-kafirkan orang lain, mengharam-haramkan sesuatu, merasa paling benar, menakut-nakuti beratnya siksa api neraka, dan ‘sedikit-sedikit’ bid’ah. Tak jarang mereka juga kerap memecah persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini yang berbahaya.

Sebab hal itu mengakibatkan lahirnya virus kebencian, intoleransi, radikalisme dan terorisme yang meresahkan masyarakat. “Tidak ada ajaran perang dalam Islam. Selama dakwah Rosulullah Muhammad SAW hingga akhir hayatnya hanya ada satu kali perang. Itupun karena terpaksa, kepepet,” kata Gus Mus di hadapan ribuan orang di Tabligh Akbar dan Sinau Bareng Gus Mus dan Cak Nun serta Kiai Kanjeng di Lapangan Simpanglima Semarang, Minggu (13/5) malam.

Gus Mus menyentil belakangan ini banyak orang mengakui dirinya sendiri sebagai ustadz. “Ada yang ceramah seolah-olah tanya jawab. Dia bilang sendiri ‘Taz (ustaz), kalau seperti ini hukum bagaimana?’ ‘Kiai, kalau seperti ini bagaimana?’ Lho, diri sendiri diakui ustadz, kiai. Cak Nun ini yang sebetulnya kiai betulan malah tidak mau disebut kiai,” katanya.

Dijelaskan Gus Mus, dua hal penting yang diajarkan Islam adalah adil dan istiqamah. Lantas bagaimana caranya berbuat adil? Adil bisa dicapai dengan cara bersikap tidak berlebihan. “Orang Jawa memiliki falsafah ‘sak madyo’, jangan berlebih-lebihan. Tak perlu berlebih-lebihan melihat diri sendiri. Termasuk jangan berlebih-lebihan beragama,” bebernya.

Sehingga seseorang tak perlu memamerkan kebaikan-kebaikan. Setiap memamerkan kebaikan justru itu tidak baik. “Sudahlah, tidak perlu menunjukkan kabaikanmu sendiri. Gusti Allah sudah melihat. Orang baik atau tidak, bisa dilihat seberapa sering dia melihat aibnya sendiri atau melihat aibnya orang lain,” terangnya.

Maka, lanjut Gus Mus, kalau dia lebih sering melihat aib orang lain, maka dipastikan dia bukan orang baik. “Begitu orang merasa pintar, maka di situlah dia mulai bodoh. Sak madyo wae, beragama yo sak madyo wae, raksah petentengan (bersitegang). Jangan berlebihan,” imbuhnya.

Masyarakat Jawa, kata Gus Mus, memiliki keistimewaan ajaran. Sebab, orang Jawa memiliki falsafah yang mirip dengan ajaran Rosulullah SAW. “Termasuk Jawa Tengah ini istimewa, karena memiliki kosakata yang mirip dengan ajaran Rosullulah SAW. Misalnya urip mung nampir ngombe (hidup itu hanya singgah untuk minum). Rosulullah mengatakan hidup ini hanya seperti menyeberang jalan,” katanya.

Artinya, hidup di dunia ini hanya sebentar. Ada kehidupan yang lebih kekal abadi yakni kehidupan akhirat. Sehingga hidup yang hanya sebentar ini mestinya harus bermanfaat bagi sesama, mensyukuri nikmat sebagai manusia, dan mengabdi kepada sang pencipta.

Pernah suatu ketika, Gus Mus bermaksud ingin menggambarkan seberapa besar sesungguhnya wujud dunia? “Saya bilang dunia ini sesungguhnya hanya sebesar kacang ijo. Tapi Cak Nun enggak setuju. (kacang ijo) itu kegeden (kebesaran). Cak Nun bilang dunia itu sebesar butiran debu. Saya tetap enggak mau, tetap saya besarkan bahwa dunia itu sebesar kacang ijo,” kata Gus Mus.

Itu hanya penggambaran tentang kebesaran Allah SWT bahwa dunia ini sangat kecil. Kehidupan ini sangat sebentar dan hanya lewat begitu saja. “Kalau dunia ini sebesar kacang ijo, pertanyaannya di mana letak Jawa Tengah? Di mana letak kamu berdiri? Apalagi, di mmanakah letak TPS?,” ujarnya disambut tertawa jamaah.

Maka hidup itu hanya perlu bersyukur. Tetapi untuk sekadar bersyukur saja manusia seringkali enggan. Bahkan ketika manusia masih bisa bernafas setiap detik pun seringkali lupa disyukuri. “Bernafas itu nikmat sekali. Tapi seringkali manusia lupa bersyukur,”

Gus Mus menambahkan sedikitnya ada tiga hal yang tidak pernah disyukuri oleh manusia. Pertama, lupa bersyukur diciptakan sebagai manusia. Manusia itu nikmat karena diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Bisa berpikir, merasakan, bisa makan dan mengekspresikan sesuatu.

“Malaikat itu hebat, tapi tidak bisa makan seperti manusia. Ada juga makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai batu. Tidak bisa merasa dan tidak bisa berpikir. Ada juga makhluk tumbuh-tumbuhan yang bisa merasa dan bisa berpikir, tapi tidak bisa mengekspresikan seperti manusia. Begitupun hewan. Tapi apakah kita pernah bersyukur diciptakan menjadi manusia?” katanya.

Kedua, seringkali manusia lupa diciptakan
Tuhan sebagai umat Muhammad SAW. Sehingga menjadi manusia yang mengerti manusia. Memiliki akhlak dan budi pekerti. Ketiga, kita lupa bersyukur diciptakan Allah menjadi warga Indonesia. Mengapa? Indonesia ini sangat istimewa karena kesuburan alam dan keindahannya.

“Saya titip pesan untuk Kapolda Jateng Condro Kirono agar disampaikan ke siapa saja untuk Istighfar. Mohon ampun atas segala dosa. Supaya dapat pemimpin yang baik, masyarakat juga perlu istighfar,” katanya.

Sementara Cak Nun menyampaikan, bahwa hidup ini bukan soal setuju atau tidak. Tetapi perlu bisa selaras. “Tidak setuju tidak ada masalah. Hidup tidak harus setuju. Suami istri itu tidak mungkin setuju dalam semua hal. Boleh saja tidak setuju. Tidak ada masalah,” katanya.

“Di dalam Al-Qur’an terdapat empat kata yang memiliki arti “Jalan”. Keempatnya adalah Sabil, Syari’, Thariq, dan Shirath. Sabil adalah arah perjalanan, Syari’ pilihan jalan, Thariq adalah cara menempuh jalan dan Shirath presisi keselamatan bersama hingga ujung jalan,” katanya. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis