in

Ketika Anak Kecanduan Youtube, Diam-diam Nonton Konten Dewasa

SEMARANG (jatengtoday.com) – Fenomena kenakalan remaja di Kota Semarang semakin memprihatinkan. Bahkan berdasarkan perilaku, tingkat kenakalan remaja ini telah dikategorikan “parah”.

Ketua Dyslexia Parents Support Group (DPSG) Jawa Tengah, Dian Ayu Hapsari mengakui hal tersebut. “Sekarang ini memang terlihat seolah-olah makin banyak anak yang bermasalah. Semakin terekspos kenakalan remaja, seperti adanya geng motor, seks bebas, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan lain-lain, semua semakin terekspos,” kata Dian, Sabtu (9/2/2019).

Mengapa kenakalan remaja dari tahun ke tahun bukan berkurang, tapi bahkan cenderung “menjadi-jadi”? Menurut Dian, kenakalan remaja bermula dari kualitas pendidikan anak dalam keluarga.

“Saya memang konsen terkait permasalahan pendidikan anak di bawah umur. Perilaku dan emosi anak di bawah umur tergantung pada pola asuh orang tua,” ungkapnya.

Lebih lanjut, jika seorang anak tidak mendapatkan pendidikan dalam keluarga sejak dini, maka ketika menginjak remaja akan sulit diperbaiki. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab kenakalan remaja. “Itulah pentingnya pendidikan anak sejak dini,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, setiap orang tua semestinya memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai pendidikan anak sejak dini. “Diantaranya, orang tua harus terbiasa memberikan batasan, kesepakatan, dan menjalin komunikasi dengan anak sejak dini. Orang tua harus jujur dan tidak boleh berbohong kepada anak,” katanya.

Berdasarkan sejumlah aduan mengenai berbagai persoalan pendidikan anak yang diterima oleh pihaknya, menurutnya sangat mengkhawatirkan. “Ternyata banyak orang tua kecolongan. Banyak anak di bawah umur diam-diam mengakses smartphone milik orang tua untuk menonton YouTube tanpa sepengetahuan,” katanya.

Ibu si anak tersebut kaget saat mendapati history akun YouTube-nya diketahui jejak pernah menonton konten dewasa. “Usut punya usut, ternyata si anak itu menonton bersama teman-temannya di dalam kamar dalam kondisi dikunci. Itu usia 7-9 tahun,” katanya.

Bahkan di kasus lain, lanjut dia, ada juga anak-anak sering ramai-ramai di teras rumah sedang menonton konten serupa di YouTube.

“Penanganannya, anak tersebut harus diterapi karena telah kecanduan. Jadi, saya mengimbau kepada orang tua, apabila melihat ada segerombolan anak-anak sedang khusyuk menonton handphone patut dicek,” katanya.

Bukan berarti anak tidak boleh menonton Youtube. Namun orang tua harus melakukan pengawasan dan pendampingan. Maka diperlukan kesepakatan, batasan dalam menggunakan gadget. “Misalnya satu hari 1 jam, saat waktunya sudah habis handphone diambil oleh orang tua. Termasuk konten apa yang boleh diakses oleh anak. Anak tidak boleh pegang handphone sendirian,” katanya.

Jika pendidikan dalam keluarga seperti itu diabaikan, maka bukan tidak mungkin ketika anak-anak beranjak dewasa sangat rentan terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
Bahkan kondisi pergaulan bebas di Kota Semarang saat ini sangat mengkhawatirkan. “Terbilang parah. Jangankan sekarang, bahkan sejak 2009 silam sudah ada komunitas gay di Kota Semarang. Komunitas gay ini menjadi tempat curhat. Itu menular. Bayangkan betapa bahayanya masa depan para remaja kita ini,” ujarnya.

Ia berpesan agar setiap orang tua bisa menjalin kedekatan dengan anak. “Sebab, anak tidak akan pernah bisa didisiplinkan apabila orang tua tidak dekat dengan anak. Bangun batasan dan kesepakatan dengan anak sejak kecil,” katanya.

Pelaksana Bidang Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, Isti Ilma Patriani mengatakan, peran keluarga dalam memenuhi hak anak sangat penting.

“Keluarga adalah pihak pertama yang menanamkan nilai-nilai pertama pada anak. Keluarga berperan dalam memberikan edukasi tentang pencegahan kekerasan terhadap anak,” katanya.

Sejauh ini, kesadaran orang tua dalam melakukan pendidikan anak dalam lingkup keluarga masih terbilang minim. “Hal yang sering terjadi, orang tua cenderung kurang memberikan perhatian dan menjalin komunikasi dengan anak. Kurang memberi pengawasan kepada anak tentang penggunaan gadget dan pergaulan,” katanya.

Lebih lanjut, orang tua seringkali kurang menghargai anak dengan membandingkan anak. Paling fatal, terkadang orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Jangan sampai hal tersebut terjadi. “Membangun komunikasi dengan anak perlu memperhatikan hak-hak anak untuk tumbuh kembang dan partisipasi. Komunikasi sebaiknya dilakukan dua arah, yakni pola asuh yang demokratis bukan otoriter,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto