KENDAL (jatengtoday.com) – Ada cerita menarik dari dusun terpencil di lereng Gunung Ungaran bernama Candi Promasan. Warga setempat pernah memanfaatkan energi lokal untuk memenuhi kebutuhan listrik. Secara swadaya, mereka membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala kecil.
Candi Promasan ini terletak di Desa Ngesrepbalong RT 7 RW VII, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dusun yang berada di tengah-tengah perkebunan teh ini hanya dihuni oleh 15 kepala keluarga atau sekitar 55 jiwa.
Berdasarkan pengamatan, air di dusun tersebut memang melimpah. Selain menjadi perlintasan air gunung, Dusun Candi Promasan juga memiliki mata air bernama Sendang Pengilon yang tak pernah kering meskipun kemarau panjang melanda.
Kondisi itulah yang mendorong sejumlah pihak optimistis untuk mengembangkan PLTA skala kecil atau yang lebih dikenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Kepala Dusun Candi Promasan, Rahmat Basuki menjelaskan, inisiator pembangunan PLTMH adalah dari komunitas peduli lingkungan dan kebencanaan yakni Salatiga Peduli dan Semarang Peduli. Mulai dibangun pada 2010 dan beroperasi perdana pada 2015.
“Awalnya dua kelompok itu. Mereka survei ke sini dan menyimpulkan ada air yang bisa dimanfaatkan. Ternyata warga sini sambutannya positif, mau untuk dibuatkan kincir air,” jelas Rahmat saat ditemui di kediamannya, Sabtu (23/11/2019).
Lambat laun bantuan bertambah. Relawan dari Boja Peduli, Klaten Peduli, Pekalongan Peduli, dan beberapa pihak lain turut serta mewujudkan harapan warga Candi Promasan; mendapat penerangan yang lebih layak.
Harapan Baru

Dalam sejarahnya, Candi Promasan sudah dihuni dari tahun 1982-an. Sejak saat itu, warga menggunakan penerangan seadanya. Mulai dari minyak tanah, lantas beralih dengan memanfaatkan genset berbahan bensin, baru kemudian membangun sendiri PLTMH.
Kala itu, PLTMH sempat menjadi harapan baru lantaran dipandang lebih efisien. Saat menggunakan penerangan dengan minyak tanah mungkin murah, tetapi hasilnya sangat tidak memadai karena bukan listrik, mengingat seiring pesatnya perkembangan teknologi.
Kemudian saat memanfaatkan genset masalah utamanya adalah mahalnya biaya untuk beli bensin sebagai bahan bakar. Rata-rata warga menghabiskan uang hingga Rp 15.000 per malam atau Rp 450.000 per bulan.
Kondisi tersebut menjadi timpang ketika dibandingkan dengan pemanfaatan PLTMH. Sebab, warga cukup membayar Rp 20.000 per bulan. Itu pun kadang masih sisa dan bisa dibuat untuk kas dusun.
“Kalau dulu iuran Rp 20.000, istilahnya untuk biaya perawatan lah. Soalnya kan kadang kincir dan perkakas kecil lain rusak. Untuk mesin utamanya (dinamo) sih aman,” ungkap Rahmat.
Sehingga, secara umum ia menyadari bahwa PLTMH sebenarnya jauh lebih efektif dibanding mengandalkan penerangan lain sebelumnya.
Hal tersebut diamini oleh salah satu warganya, Satiyem (55). Pengusaha warung kelontong ini mengaku harus membeli beberapa genset yang harganya tidak murah demi bisa menikmati listrik seharian. Apalagi notabene ia memang memiliki banyak tamu yang menginap.
“Saya punya 4 genset buat gantian, soalnya kalau cuma satu nggak kuat dipake semalaman, panas, kasian mesinnya,” cerita Satiyem sembari menunjukkan genset yang masih tersimpan di pojok gudang rumahnya.
Namun di sisi lain, setelah PLTMH berjalan dan menjadi sumber penerangan utama, keluhan baru muncul. Ternyata listrik yang dihasilkan kadang tidak stabil, hampir sama dengan saat menggunakan genset. Membuat lampu dan peralatan elektronik cepat rusak.
Jejak-jejak PLTMH

Tidak bisa dipungkiri bahwa PLTMH memerlukannya tenaga ekstra untuk merawatnya. Salah satu warga yang paling direpotkan adalah Kirun (38). Ia adalah mekanik mikro hidro yang juga menjadi anggota Semarang Peduli–salah satu inisiator pengadaan PLTMH.
Menurutnya, sejak pertama pembangunan mikro hidro, tidak ada tenaga profesional. “Tapi alhamdulillah saya dan teman-teman yang dulu menginisiasi semangatnya tinggi banget. Konsultasi ke mana-mana. Pokoknya gimana caranya supaya ini bisa jadi,” ujar Kirun, Minggu (24/11/2019).
Dari segi pembiayaan, tidak ada sentuhan dari pemerintah sama sekali. Dana terkumpul secara sukarela dari komunitas lintas daerah yang tergerak membangun PLTMH. Pada masa pembangunan itu, warga setempat tidak dipungut biaya sedikitpun, melainkan hanya bantuan tenaga.
“Kalau ingat sejarah, saya sebetulnya ingin menangis, karena perjuangan mencari pendananaan ke sana kemari hanya demi mikro hidro bediri,” imbuh pria yang baru dilantik menjadi relawan Desa Tangguh Bencana (Destana).
Untuk mengakali keterbatasan dana, mereka memutar otak. Akhirnya mencari barang-barang yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk mikro hidro. Turbinnya terbuat dari pipa besi yang dimodifikasi. Bagian tengah turbin menggunakan rem cakram sepeda motor bekas untuk mengatur kecepatan putaran.
Termasuk membangun sendiri sistem pembagi yang serupa dengan terminal listrik agar aliran stabil, yakni dengan menggunakan miniature circuit breaker (MCB) berukuran 0,5 ampere yang dipasang di masing-masing rumah.
Terminal MCB itu langsung menghubungkan mikro hidro dengan rumah warga. Meskipun terdapat kelemahan, yakni jarak rumah dengan pembangkit berpengaruh terhadap besaran listrik yang didapat. Karena sistem mcb tidak bisa membagi rata laiknya trafo.
Sehingga, komponennya memang dirangkai sendiri dari barang bekas. Kecuali mesin generator yang merupakan komponen utama. Harganya cukup mahal, mencapai kisaran Rp 10 juta.
Hal itulah yang membuat pembangunan PLTMH memerlukan waktu cukup lama. “Kalau dananya banyak, pasti nggak butuh waktu sampai 5 tahun (2010–2015),” jelas Kirun.
Meskipun dia tidak memungkiri bahwa proses pembangunan sempat mandek sekitar setengah tahun lantaran terjadi selisih pendapat antar relawan. Namun, berkat kegigihan banyak pihak, PLTMH Candi Promasan akhirnya bisa beroperasi.
Beroperasi 3 Tahun

Pantauan di lokasi, PLTMH yang ada mengandalkan aliran sungai kecil yang berjarak sekitar 100 meter dari permukiman. “Sungainya memang nggak besar. Nggak sampai ada air terjunnya. Tapi itu bisa diakali,” beber Kirun yang kini menjadi anggota ORARI dan RAPI.
Relawan dan warga membuat bendungan dari semen berukuran 6 x 3 meter untuk menampung air. Tujuannya supaya tingkat elevasi air lebih tinggi serta mengatur kestabilan aliran air. Pada musim penghujan debit airnya mencapai 50 meter kubik, sementara kemarau sekitar 25 meter kubik.
Air dari bendungan kemudian disalurkan melalui pipa paralon ke turbin yang terletak pada bangunan semi permanen berjarak 200 meter di bawah bendungan.
Untuk mempercepat aliran air yang akan digunakan untuk memutar turbin, pipa paralonnya dibuat sistem susun. Pada ujung bendungan ukuran pipanya mencapai 6 inci, sampai ke bawah diperkecil hingga ukhran 4 inci. Sehingga, semburan airnya setara dengan aliran air terjun.
Berdasarkan catatan tim relawan, diperkirakan kecepatan putaran turbin mencapai 115 rotasi per menit (rpm) yang menghasilkan listrik 5.000 watt. “Kalau musim penghujan tegangan listrik bisa mencapai 220 volt, tapi kalo kemarau hanya 110 volt,” jelas Kirun.
Dengan daya yang dihasilkan itu bisa memenuhi kebutuhan listrik 15 kepala keluarga di Dusun Candi Promasan. “Lampu bisa tercukupi. Bahkan TV pun bisa, tapi tergantung TV dayanya berapa, kalau kapasitanya kecil bisa, tapi kalau besar nggak kuat,” imbuhnya.
Ketua RT sekaligus kepala dusun setempat, Rahmat menjelaskan, PLTMH di wilayahnya hanya bertahan 3 tahun saja. Belakangan warga mengeluhkan ketidakstabilan aliran listrik yang membuat peralatan elektronik cepat rusak.
Namun, keluhan itu sebenarnya hanya sebatas menjadi buah bibir. Tidak ada yang berani menyampaikan ke pihak pemerintah mengingat rumah-rumah di Dusun Candi Promasan berdiri di atas lahan perkebunan milik PT Rumpun Sari Medini.
“Saya selaku orang yang dituakan di sini tidak pernah mengajukan secara resmi ke pihak pemerintah. Yang saya tahu, kami justru dibantu diusulkan oleh mahasiswa,” beber Rahmat. Sampai akhirnya pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hadir membangun jaringan listrik untuk dusun tersebut.
PLN Masuk Dusun

Bersamaan dengan malam pergantian tahun, tepatnya pada 31 Desember 2018 warga Dusun Candi Promasan akhirnya bisa menikmati listrik dari negara. Mayoritas merasa senang karena setelah sekian lama baru bisa menikmati listrik yang benar-benar stabil.
Salah satu warga, Mbah Min mengaku lebih tenang ketika mengandalkan listrik PLN. Sebab, dia dan keluarganya tak lagi khawatir mati lampu di malam hari atau kecewa saat TV tiba-tiba mati, dan masih banyak yang lainnya. “Ya pokoknya senang lah, lebih tenang,” ucapnya dengan bahasa Jawa.
Dia juga tidak keberatan meskipun biaya listrik PLN lebih mahal ketimbang saat iuran untuk PLTMH. “Saya kan lampunya banyak, ada TV, magicom (penanak nasi), buat warung juga. Sebulan biasanya Rp 100.000 habis untuk bayar token, tapi nggak apa-apa,” jelas Mbah Min.
Kebutuhan listrik per rumah di sana berbeda-beda. Ada yang habis Rp 150.000 per bulan, tapi ada yang hanya habis Rp 40.000 per bulan. Menurut kalkulasi ketua RT, pembayaran token listrik per rumah rata-rata mencapai Rp 100.000.
Jaringan listrik PLN di Candi Promasan itu dibangun cukup lama, dari 2017 hinga 2018. Instalasi berupa kabel dan tiang listrik disambung sejauh 4.547 meter dari Dusun Medini yang merupakan dusun terdekat di desa yang sama.
Terkait masuknya listrik ini, Supervisor Teknik PT PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Boja, Galuh Santiko Aji mengakui ada keterlambatan. Sebagai unit PLN yang membawahi daerah Candi Promasan, pihaknya merasa kesulitan untuk menjangkau daerah tersebut.
Letak Dusun Candi Promasan memang terpencil, terpisah dengan permukiman lain di Desa Ngesrepbalong. Dusun ini berada pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut yang menjadi basecamp pendakian terakhir di sisi utara puncak Gunung Ungaran.
Akses menuju kawasan itu juga terbilang sulit. Dibutuhkan keahlian khusus dan kendaraan yang memadai untuk bisa masuk ke Candi Promasan. Butuh waktu sekitar 60 menit perjalanan dengan sepeda motor. Atau 4 jam jika jalan kaki, kecuali melalui jalan alternatif tengah hutan, cukup 2 jam perjalanan.
Karena itulah PT PLN ULP Boja tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melistriki. Melainkan harus menyerahkan pada PT PLN Unit Induk Distribusi Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki program khusus untuk daerah terpencil.
“Istilahnya kami hanya manjadi pintu pertama yang mengusulkan daerah mana yang belum terlistriki dan medannya terbilang susuh,” jelas Galuh saat ditemui di kantornya, Rabu (4/12/2019).
Dia menjelaskan, pengusulan pemasangan instalasi listrik bisa dilakukan dengan dua cara. Kadang warga sendiri yang mengajukan permohonan ke PLN, tapi sesekali PLN lah yang melakukan pemetaan terhadap desa-desa.
Sekarang bahkan ada program One Man One Hope (OMOH), yakni gerakan voluntary pegawai PLN untuk membiayai pemasangan listrik secara gratis bagi keluarga tidak mampu. Sehingga semua bisa terlistriki.
Tak Harus PLN

Sementara itu, Kepala Bidang Kelistrikan pada Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jawa Tengah Imam Nugraha Heru menjelaskan, negara memang memiliki kewajiban untuk memberikan akses listrik kepada seluruh masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Di Pasal 2 Ayat 2 dijelaskan, pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Lalu, Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan, penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Ketenagalistrikan, penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Gubernur sesuai kewenangannya.
Pada Pasal 4 Ayat 3 dikatakan, Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk: kelompok masyarakat tidak mampu; pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; pembangunan listrik perdesaan; dan pengembangan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan.
Secara teknis, Gubernur menugaskan SKPD untuk menyelenggarakan penyediaan listrik bagi wilayah yang belum layak dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Daerah. Di samping itu, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga.
Sehingga, kata Imam, sebenarnya penyediaan listrik tidak harus menggunakan jaringan PT PLN.
Di samping itu, pemerintah pusat sudah menargetkan bahwa di tahun 2021 mendatang, semua rumah tangga harus sudah mendapat akses listrik. “Jateng sendiri kemungkinan bisa lebih cepat. Akhir tahun 2020 mudah-mudahan sudah selesai,” ungkapnya.
Meskipun begitu, tugas Jateng masih cukup banyak. Berdasarkan data, masih ada sekitar 11.000 rumah tangga yang belum berlistrik. Sebarannya merata di 35 kabupaten kota se-Jateng.
“Yang paling banyak di Cilacap, masih ada sekitar 2.000 rumah tangga yang belum berlistrik. Di Banjarnegara, Sragen, Pemalang masih ada sekitar 1.000 kepala keluarga. Lainnya di bawah 1.000,” ungkap Imam saat ditemui di kantornya, Kamis (5/12/2019).
Menurutnya, yang menjadi tantangan adalah penyediaan listrik di luar Pulau Jawa seperti di pedalaman Papua dan Kalimantan. Jika jaringan PLN tidak bisa masuk, biasanya justru memanfaatkan potensi lokal. Seperti membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembngkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), PLTA, atau dengan alternatif lainnya.
“Pada daerah tertentu yang belum terjangkau listrik, maka negara harus hadir. Nanti biasanya dilihat dulu, ada potensi apa di situ,” jelas Imam.
Potensi Pemanfaatan Energi Lokal Tinggi

Ketika disinggung mengenai PLTMH di Candi Promasan, Imam Nugraha Heru sebenarnya menyambut positif. Apalagi, PLTMH merupakan salah satu upaya pemanfaatan energi lokal yang masuk dalam kategori Energi Baru Terbarukan (EBT).
PLTMH disebut juga energi ramah lingkungan karena secara prinsip tidak menimbulkan efek apapun terhadap alam. Hanya meminjam tenaga dengan aliran air untuk menggerakkan turbin. Setelah itu aliran air dikembalikan lagi tanpa mengurangi volume dan kualitasnya.
Hanya saja tantangan pengelolaan PLTMH relatif tinggi. Hal itu dibuktikan dengan sedikitnya jumlah PLTMH hasil swadaya masyarakat yang bisa bertahan lama.
“Biasanya masalahnya adalah perawatan. Ada beberapa onderdil yang harus diganti dalam waktu tertentu. Sehingga mereka harus iuran. Ini yang jarang berjalan langgeng. Harus ada relawan yang tidak memperhitungkan keuntungan,” papar Imam.
Tantangan lainnya adalah kebutuhan dan keinginan masyarakat yang senantiasa dinamis. “Misal dulu hidup dengan lampu saja cukup, tapi sekarang butuh alat-alat elektronik. Sehingga pasokan listrik dari PLTMH itu tidak mencukupi,” imbuhnya.
Ada pula tantangan berupa ketidakpuasan hasil listrik PLTMH, seperti mengeluh karena tidak stabil. Namun, sebenarnya hal itu bisa diantisipasi. “Tapi sebenarnya itu bisa diatasi. Sekarang kan perkakas PLTMH banyak, tergantung kebutuhan dan kemampuan. Pokoknya teknologi itu menyesuaikan alam,” tegas Imam.
Dia mencontohkan, salah satu yang bisa survive adalah PLTMH Wangan Aji di Kabupaten Wonosobo yang dikelola oleh Pondok Pesantren Roudlotuth Tholibin dengan sistem on gread. Karena di sana sudah ada jaringan PLN, maka hasil PLTMH langsung disalurkan ke PLN.
“Ada perjanjian jual beli dengan PLN. Soalnya kalau begitu, PLN wajib beli. Nanti pengelola langsung dapat hasil dari jual listrik itu. Mungkin seperti ini bisa dicontoh,” sarannya.
Sementara itu, pegiat lingkungan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Abdul Ghofar mengatakan, pemanfaatan energi lokal di desa-desa memang harus didukung berbagai elemen.
Terkait keberadaan PLTMH Candi Promasan, Mantan Koordinator Advokasi Walhi Jawa Tengah tersebut menilai bahwa itu muncul atas inisiatif mandiri masyarakat, karena sebelumnya hak dasar untuk mendapat penerangan dari negara memang belum diperoleh.
“Candi Promasan jadi salah satu kampung terpencil yang sejak tahun 2015 hingga 2018 memanfaatkan EBT atas kerja bersama komunitas. Dan yang perlu digarisbawahi, pada saat itu negara tidak hadir!” tegasnya saat dihubungi, Jumat (6/12/2019).
Seharusnya, kata Ghofar, inisiatif semacam itu bisa didukung penuh pemerintah untuk sedikit mengurangi beban target bauran energi terbarukan. Apalagi Pemprov Jateng yang notabene diklaim sebagai provinsi paling siap menghadapi rencana peralihan pemanfaatan energi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Rencana Umum Energi Daerah (REUD), target bauran EBT pada tahun 2025 sebesar 21,32 persen.
“Sekarang regulasi sudah ada, potensi pengembangan EBT di Jawa Tengah juga banyak. Termasuk pengelolaan sumber daya lokal yang biasanya dikelola secara swadaya, meskipun skalanya kecil,” tandas Ghofar. (*)
editor : tri wuryono