SEMARANG (jatengtoday.com) – Kaum buruh di Kota Semarang menempuh berbagai jalan untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Salah satu aktivis buruh yang getol dalam setiap geliat perjuangan kaum buruh di Kota Semarang adalah Ahmad Zainudin.
Dia menjadi sosok berpengaruh dalam setiap aksi massa buruh di Kota Semarang. Bahkan ia rela melakukan berbagai aksi ekstrim mulai dari Topo Pepe, yakni bersila di bawah terik sinar matahari dalam kurun waktu tiga, hingga jalan kaki Semarang-Jakarta untuk menyampaikan aspirasi di Gedung DPR RI. Kali ini, dia melakukan aksi Topo Ngligo, yakni telanjang dada di bawah sinar matahari.
“Ini sebagai simbol bahwa hak rakyat kecil telah dilucuti oleh pemerintah dengan adanya Omnibus Law ini,” kata Zainudin yang melakukan Topo Pepe di halaman Kantor Gubernur Jateng Jalan Pahlawan, Senin (12/10/2020).

Dia rela melakukan berbagai aksi ekstrim itu karena mempercayai bahwa UU Cipta Kerja ini adalah malapetaka bagi rakyat kecil. Bahkan UU ini mengancam anak cucu. Dia mengaku kecewa berat terhadap sikap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
“Di kala UU ini masih menjadi persoalan serius bagi pekerja maupun masyarakat. Tetapi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo malah mengundang berbagai elemen, mahasiswa dari berbagai kampus, kepala-kepala dinas, maupun dari kalangan buruh, undangannya tertulis sosialisasi Omnibus Law,” katanya.
Undangan diterbitkan oleh Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah bernomor : 005/2753 tertanggal 9 Oktober 2020 perihal Undangan sosialiasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan menghimpun masukan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Menanggapi hal tersebut, Zainudin menegaskan, bahwa naskah UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 hingga saat ini belum turun.
“Belum ada yang punya dan tentu saja belum dipublikasikan. Lantas, Gubernur Jawa Tengah ini sosialisasi apa?” katanya.
Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa sikap pemerintah sekarang ini memang tidak mempunyai hati nurani. “Pasalnya, ketika di mana-mana ada penolakan dari berbagai unsur terhadap UU Cipta Kerja ini, ketika berbagai rakyat sedang menolak dan berjuang, pemerintah malah mengadakan sosialisasi Omnibus Law. Sama artinya tidak punya malu,’ ungkapnya.
Dia juga menegaskan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja sejak awal pembentukannya sudah bermasalah. Dua hal penting yang menjadi persoalan adalah terkait proses yang tidak memenuhi syarat pembentukan perundang-undangan dan materi isinya yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
“Dalam situasi seluruh elemen bangsa yang sedang bekerja keras melawan pandemi Covid-19, DPR RI bersama pemerintah telah memaksakan kehendaknya dengan segala cara membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja dalam sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020. Tentunya hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan,” tegasnya.
Kalangan buruh mengecam keras atas intimidasi yang dilakukan banyak pihak terhadap aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini. “Mengajak Gubernur Jawa Tengah untuk bersama-sama rakyat melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja ini,” katanya.

Sebelumnya, pria yang menjabat sebagai Ketua DPD FSP KEP-KSPI Provinsi Jawa Tengah itu melakukan aksi jalan kaki dari Semarang ke Jakarta atau kurang lebih menempuh jarak 490 km. Ia bertolak dari Semarang pada Sabtu (26/9/2020), tiba di Jakarta pada Jumat (2/9/2020).
Pada Kamis (8/10/2020) lalu, dia bersama para buruh melakukan aksi salat jenazah di Jalan Siliwangi. Ini menjadi aksi simbolis yang menggambarkan bahwa hati nurani DPR RI telah mati. (*)
editor: ricky fitriyanto