in

Kecelakaan Maut di Kertek Wonosobo, Polisi Didorong Usut Pidana Pengusaha Bus

Pengusaha bus mestinya sebagai pihak yang juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Ilustrasi kecelakaan bus pariwisata. (dokumen jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Insiden kecelakaan beruntun yang melibatkan bus pariwisata dengan sejumlah mobil lain dan menewaskan 7 korban di pertigaan Pasar Kertek Wonosobo Jawa Tengah, pada Sabtu dini hari (10/9/2022), menambah catatan buruk dalam dunia transportasi di Indonesia.

Kecelakaan itu melibatkan bus pariwisata Mercedes Benz bernomor polisi N 7944 US yang dikendarai Hardiyatna Adhita (34), warga Desa Sumberkedawung, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Dua mobil pikap, mobil Toyota Kijang Innova, dan Nissan Livina.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai penegakan hukum yang dilakukan polisi masih lemah. Maka dari itu, dia mendorong polisi mengusut pidana pengusaha bus. Sejauh ini, polisi hanya menetapkan sopir bus menjadi tersangka. Padahal pengusaha bus mestinya sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.

“Hingga sekarang belum pernah ada pengusaha angkutan pariwisata yang ikut dipidana secara hukum. Walaupun sudah terang benderang kesalahan dokumen yang harus ditaati tidak dimiliki pihak pengusaha angkutan wisata, seperti uji berkala (KIR) sudah melewati batas waktu dan izin penyelenggaraan sudah kedaluwarsa,” ungkap Djoko, Minggu (11/9/2022).

Dikatakannya, bus pariwisata milik PT Elrayan Putra Mandiri telah lewat masa aktifnya. “Baik masa berlaku izin penyelenggaraan angkutan pariwisata yang telah berakhir 8 November 2020 dan uji berkala (KIR) terakhir pada 26 Februari 2022,” bebernya.

Menurutnya, Program Risk Journey Assessment (penilaian risiko perjalanan) ke kawasan pariwisata masih perlu terus digalakkan ke pengusaha angkutan wisata. “Jalur wisata berkeselamatan harus mendapat perhatian khusus di tengah meningkatnya animo masyarakat berwisata,” katanya.

BACA JUGA: Sopir Jadi Tumbal, Pengusaha tidak Tersentuh Hukum

Pada 6 Juli 2022 lalu, lanjut Djoko, pihaknya bersama tim dari PT Jasa Raharja dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Jalan dan Perkeretaapian (Pusjaka) Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan melakukan Survey Lapangan Analisis Kebijakan Evaluasi Pedoman Keselamatan pada Lokasi Rawan Kecelakaan (Red Zone Marking) di ruas Jalan Kledung Kabupaten Temanggung–Kertek Kabupaten Wonosobo di Jawa Tengah tersebut.

“Sebelumnya jalan menurun, di tiga titik telah terpasang marka bertuliskan ‘Zona Bahaya Kurangi Kecepatan Gunakan Gigi Rendah’ dan rambu-rambu bertulis ‘Turunan Panjang Gunakan Gigi Rendah Sekarang’,” katanya.

Sejumlah pengemudi mengakui bahwa jalur tersebut berbahaya. Apalagi bagi pengemudi yang belum pernah melewati jalur ini. “Sedangkan pengemudi yang terbiasa melewati jalur ini cenderung lebih berhati-hati dan mampu mengendalikan kendaraannya. Rambu dan marka cukup memadai serta sudah dibangun jalur penyelamat,” katanya.

Djoko menyebut, temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) 80 persen kejadian kecelakaan lalu-lintas disebabkan akibat pengemudi kelelahan. Ada aturan batas jam mengemudi tidak ditaati. “Maksimal delapan jam sehari dengan waktu istirahat 30 menit setiap empat jam perjalanan,” katanya.

Menurutnya, kecelakaan seperti ini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan sopir. Justru, seharusnya pengusaha bus yang harus bertanggungjawab. Banyak pelanggaran yang dilakukan, masa berlaku izin penyelenggaraan angkutan pariwisata telah berakhir, uji berkala (KIR) tidak dilakukan, dan tidak memberlakukan aturan pengemudi.

“Bukan kesalahan pengemudi semata, sudah terbukti ada kontribusi kesalahan dari pemilik kendaraan (pengusaha angkutan). Namun hingga sekarang, polisi tidak pernah menyentuhnya,” katanya.

Banyak kasus kecelakaan serupa yang hingga sekarang tidak ada kejelasan tindak lanjutnya. Seperti halnya kasus kecelakaan bus pariwisata yang belum tuntas tahun ini, kecelakaan bus pariwisata di ruas Tol Mojokerto – Surabaya (16/5/2022), dan kecelakaan bus pariwisata di Ciamis (21/5/2022).

Mengenai aturan waktu kerja pengemudi diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 90 ayat 1, yakni setiap perusahaan angkutan umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum.

Ayat 2, waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama delapan jam sehari. Ayat 3, pengemudi kendaraan bermotor umum setelah mengemudikan kendaraan selama empat jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. Ayat 4, dalam hal tertentu pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama satu jam. (*)

Abdul Mughis