SEMARANG (jatengtoday.com) – Kebijakan pemerintah terkait pelarangan kelebihan ukuran dan kelebihan muatan pada angkutan barang atau biasa disebut overdimension overload (ODOL) menuai protes, terutama dari kalangan sopir.
Beberapa waktu lalu, ratusan sopir truk di Kudus melakukan demonstrasi di depan kantor dinas perhubungan setempat. Bahkan, wacananya, bakal ada demo besar-besaran menolak kebijakan “zero” ODOL di kantor Dishub Jawa Tengah.
Terkait hal itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno justru menganggap wajar ketika para sopir protes. Sebab, merekalah yang paling terkena dampak dari normalisasi ODOL.
“Memang harus demo, biar semua orang tahu, bahwa sopir masalahnya banyak. Demo, biar dapat perhatian,” ujarnya, Senin (21/2/2022).
Djoko mengaku kerap terjun ke lapangan dan komunikasi dengan sopir truk. Dia mendapat informasi bahwa beban sopir itu sangat berat, termasuk harus menghadapi adanya pungutan baik oleh orang berseragam maupun tidak berseragam.
Menurut Djoko, akar masalah truk ODOL adalah tarif angkut barang terlalu rendah, karena pemilik barang tidak mau keuntungan selama ini berkurang padahal biaya produksi meningkat.
Pemilik armada truk atau pengusaha angkutan, juga tidak mau berkurang keuntungannya. Begitu pun dengan pengemudi truk yang tidak mau berkurang pendapatannya.
Tarif angkut barang yang tergolong murah ini membuat para sopir memutar otak. Belum lagi adanya beban biaya tidak terduga. Akhirnya, kapasitas muatannya disesuaikan untuk menutup biaya operasional.
“Kelebihan muatan dengan menggunakan kendaraan berdimensi lebih itu untuk menutupi biaya tidak terduga yang dibebani ke pengemudi truk,” tutur Djoko.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata tersebut menyebut, ke depan akan sulit mendapatkan pengemudi truk yang berkualitas karena pekerjaan tersebut tidak lagi diminati banyak orang.
“Populasi pengemudi truk makin berkurang. Jika masih ada yang bertahan mungkin karena belum punya alternatif pekerjaan yang lain,” ujarnya.
Pengemudi truk mempunyai tekanan berat karena mereka yang berhadapan langsung dengan kondisi nyata di lapangan.
Dia menyarankan supaya pengemudi truk dijadikan sebagai mitra, bukan selalu dijadikan tersangka. “Tingkatkan kompetensinya dan naikkan pendapatannya,” kritiknya. (*)
Editor: Abdul Mughis