SEMARANG (jatengtoday.com) – Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi di masa pandemi perlu mendapatkan respon serius dari pemerintah. Sebab, fenomena ini dinilai menjadi kebiasaan baru di tengah masyarakat. Dampaknya, keberlanjutan angkutan umum terancam, potensi kecelakaan lalu-lintas, kemacetan, hingga kesemrawutan parkir.
Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (Instran), Felix Iryantomo menilai memasuki kelaziman baru bukan serta merta harus beralih menggunakan kendaraan pribadi. “Layanan transportasi umum harus diupayakan tetap diminati. Maka pemerintah harus intervensi,” ungkapnya, Rabu (17/6/2020).
Lantas bagaimana penyelenggaraan angkutan umum saat ini agar mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru dan memenuhi protokol kesehatan?
“Sudah selayaknya Pemerintah pusat bersama-sama pemerintah daerah melaksanakan restrukturisasi perizinan angkutan umum, sekaligus dibarengi dengan penerapan konsep baru berupa pembelian layanan atau buy the service,” ungkapnya.
Konsekuensi dari konsep tersebut, mengharuskan adanya alokasi anggaran untuk membeli layanan jasa angkutan. Mengapa demikian, karena saat ini kondisi perusahaan angkutan umum masih banyak yang berstatus perorangan. “Jasa angkutan umum jalan masih banyak yang dimiliki dan dijalankan oleh perorangan alias bukan berbentuk badan usaha yang dikelola secara profesional,” katanya.
Maka dalam kesehariannya ada sebutan majikan bagi pemilik mobil dan pengemudi yang menjalankan operasional penuh mencari atau mengumpulkan pendapatan untuk disetorkan kepada majikan. “Praktik model begini sudah berlangsung bertahun-tahun di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan penerapan konsep pembelian layanan atau buy the service di Indonesia bermula pada 2004. Kala itu, DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Sutiyoso. Ia memulai layanan angkutan umum massal model baru dengan konsep buy the service (pembelian layanan), yaitu dengan melahirkan Trans Jakarta.
Prinsip dasar program pembelian layanan adalah Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran guna membeli layanan jasa angkutan yang disediakan oleh perusahaan (bisa BUMN, BUMD, ataupun swasta) dengan kriteria tertentu yang terlebih dahulu ditetapkan dan disepakati. Kemudian pihak perusahaan penyedia jasa menjalin kontrak kerja dengan pemerintah yang menyediakan anggaran.
Sejak saat itulah, layanan angkutan massal model Trans Jakarta diadopsi oleh beberapa pemerintah kota, seperti di Bogor (Trans Pakuan), Bandung (Trans Metro Bandung), Yogjakarta (Trans Yogya), Semarang (Trans Semarang), Surakarta (Batik Solo Trans), Palembang (Trans Musi), Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Bali (Trans Sarbagita), dan lain-lain.
“Namun bagaimana perkembangan terkini kondisi angkutan umum massal di berbagai kota tersebut? Kuncinya sangat tergantung pada kemampuan dan kemauan masing-masing pemerintah daerah. Bagaimana pemda mengalokasikan anggaran, sistem manajemen yang diterapkan, serta ada atau tidaknya kebijakan lain yang mendukung penyelenggaraan angkutan umum tersebut,” ungkapnya.
Kebijakan yang dimaksud misalnya penerapan pembatasan mobilisasi kendaraan pribadi, menaikkan tarif parkir, melarang parkir tepi jalan (on street parking) di jalan-jalan utama, membangun jalur sepeda, dan menata fasilitas pejalan kaki.
“Bila dirunut ke belakang, penerapan angkutan umum massal di berbagai kota selain di Kota Jakarta tersebut didukung oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perhubungan yang memberikan bantuan berupa bus, baik bus ukuran besar maupun bus ukuran sedang (medium),” katanya.
Pada dasarnya dana yang dibutuhkan tidak harus bersumber dari anggaran pemerintah. Namun sangat memungkinkan melibatkan Corporate Social Responsibility (CSR) bidang layanan angkutan umum.
“Secara sosial, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, para operator yang sudah ada dilibatkan. Pasti ada perubahan manajemen. Dari semula sistem setoran beralih mendapatkan gaji bulanan. Target penumpang tidak perlu ada lagi, yang harus dipatuhi adalah taat pelayanan sesuai standar pelayanan minimal (SPM) dan standar operasional prosedur (SOP),” bebernya.
Seiring dengan munculnya kecenderungan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, ia sependapat bahwa pemerintah harus melakukan intervensi. “Selain intervensi pada penyelenggaraan angkutan umum, pemerintah juga harus secara cepat mengakomodasi pesepeda dengan langkah-langkah yang tepat guna, efektif dan efisien,” terang dia. (*)
editor: ricky fitriyanto