in

Kaya Demi Gengsi, Miskin Demi Subsidi

“bikin SKTM untuk menutupi jebloknya prestasi akademik anak-anak orang kaya”

Fenomena kecurangan calon siswa yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bodong, membuat sebagian orang geleng-geleng. Kok ya mau menggadaikan harga diri, bangga dianggap miskin demi mendapatkan tiket emas demi masuk di sekolah negeri favorit.

Asumsi publik pun muncul. Obrolan-obrolan nyinyir mulai santer. Ada yang menganggap, bikin SKTM bodong itu untuk menutupi jebloknya prestasi akademik anak-anak orang kaya. Karena nilainya tidak memungkinkan masuk ke sekolah negeri favorit, segala cara pun dilakukan. Salah satunya ya itu, menggadaikan harga diri. Berlomba-lomba dianggap miskin demi mendapat SKTM.

Lobi-lobi dengan ketua RT/RW menjadi strategi awal. Bagaimana caranya agar si orang kaya ini dapat pengakuan miskin hingga terbit SKTM dari pemerintah. Nantinya, SKTM ini ditukar dengan ‘tiket emas’ agar bisa melenggang di sekolah negeri favorit tanpa seleksi prestasi.

Ada juga yang beropini, pemerintahnya saja yang lebay. Mengapa harus menyediakan kursi VIP bagi warga miskin untuk mendapatkan hak mengenyam pendidikan di sekolah favorit? Padahal, kalau memang si anak pintar, punya prestasi akademik, memang sudah jadi hak mereka duduk di sana. Atau kalau memang niat memberi kesempatan warga miskin, beri saja beasiswa. Beres!

Selain dua asumsi beda kubu itu, masih banyak asumsi lain yang sampai sekarang masih jadi perbincangan hangat. Terutama yang menghujat kubu orang kaya yang punya SKTM. Saking asyiknya ‘ngrasani’, mereka tidak sadar kalau pola serupa juga dilakoninya. Terkait merebut subsidi yang sebenarnya haram diambil golongan berfinansial menengah ke atas.

Diakui atau tidak, mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tega melahap jatah subsidi yang seharusnya menjadi hak golongan kurang mampu.

Gas melon 3 kilogram, misalnya. Ini contoh yang paling gampang. Salah satu komponen penting untuk memasak itu kan sebenarnya barang subsidi pemerintah. Hanya diberikan bagi warga miskin. Di tabung itu pun jelas tertulis, ‘HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN’.

Tulisanya kapital dan cukup besar. Ditulis di bagian badan tabung. Berwarna putih agar kontras dengan tabung yang dicat hijau.

Tapi kenyataan di lapangan sangat berbeda.
Coba amati lingkungan sekitar. Tetangga-tetangga yang seharusnya tidak layak diberi predikat miskin, malah langganan. Mereka juga ikut ‘muring-muring’ saat gas melon ini langka.

Bahkan ada keluarga yang punya lebih dari satu tabung. Maksudnya, kalau suatu saat gasnya habis di tengah-tengah proses masak, masih ada tabung cadangan biar dapur tetap mengepul.

Selain itu juga ada maksud biar selalu kebagian stok di warung atau pangkalan gas. Sebab kalau pas kehabisan gas, sementara stok di pangkalan habis, kan repot.

Ironisnya, warga miskin yang hanya mampu beli satu tabung saja, malah tidak kebagian. Semua habis diborong keluarga mampu yang punya duit buat beli gas cadangan.

Ini belum bicara soal subsidi BBM, pangan, atau komoditas lain. Yang jelas, sudah bisa ditarik kesimpulan jika subsidi itu bisa membutakan warga. Orang-orang kaya yang bisa begini-begitu, beli ini-itu, piknik sana-sini, dan kadang menggejar gengsi, bahkan mencari status sosial, bisa buta dalam sekejap. Tiba-tiba sumringah dianggap jadi orang miskin demi mendapatkan porsi subsidi yang sebenarnya untuk kalangan orang-orang yang butuh uluran tangan.

Benar kata KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus. Kyai sekaligus budayawan asal Rembang ini kerap mengingatkan bahwa kaya-miskin itu soal mental. Bukan kondisi finansial. Dalam suatu pidato, Gus Mus pernah menggambarkan, mereka yang sudah punya 18 mobil, tapi masih ingin beli mobil lagi, termasuk golongan miskin. Tapi mereka yang tidak punya banyak harta, tapi tidak kemaruk, itulah orang kaya. (*)

editor: ricky fitriyanto