Makna “karnaval” bergeser dari ritual menjadi kontes panggung sepanjang jalan. Dari mengulangi makna kemerdekaan, menjadi pertunjukan.
Kata “karnaval” berasal dari tahun 1540, artinya “saat bersenang-senang sebelum Paskah”, secara literal kata ini dari bahasa Pisan Kuno, “mengangkat atau menyingkirkan daging”. Ini istilah yang berhubungan dengan tradisi keagamaan.
“Karnaval” bisa berarti “Selamat jalan, Daging..” (farewell to the flesh). Iring-iringan yang berduka dengan (masih) memakai pakaian kebesaran yang mengantarkan kematian menuju keabadian.
Sayangnya, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan karnaval tanpa penyebutan asal kata ini. “Karnaval” menurut KBBI, lebih mirip penjelasan karnaval Agustusan: “pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya mengetengahkan bermacam corak hal yang menarik dari yang dirayakan itu)”.
Bentuk awal karnaval yang diperkenalkan tradisi Kristen Barat melibatkan perayaan [oleh] publik, parade, pesta di jalan, hiburan, atraksi sirkus. Para partisipan karnaval meng-elaborasi kostum dan topeng yang berbeda dari tampilan keseharian mereka (para partisipan). Hari karnaval, orang terlepas dari rutinitas keseharian. Mereka menghabiskan alkohol dan stok makanan agar tidak membusuk, sebelum pra-Paskah (momen berduka, mengenang Yesus).
Karnaval, tempat terjadinya pertemuan semua orang di jalan. Mereka mengenakan topeng (mask) dan kostum, sehingga antara orang borjuis dan miskin bisa bertemu tanpa jarak.
Topeng memiliki sifat unik, dalam memperlihatkan kejujuran. Seperti kata Oscar Wilde, “Orang enggan berbicara [jika dipaksa] sebagai dirinya. Beri ia toepng, maka ia akan mengatakan kebenaran”.
Metode ini terasa ketika seseorang menyembunyikan identitasnya di media sosial.
Topeng pada agama-agama kuno, bisa berupa riasan, “kosmetika” dalam pengertian aslinya. Atau seni kriya pahatan kayu atau logam. Kosmetika dan aksesoris dalam tubuh manusia, terutama perempuan, pada awalnya menjadi penanda (signifier) hubungannya dengan alam, yang belum bisa mereka taklukkan dengan ilmu-pengetahuan. Perempuan, misalnya, diberi tindik, gelang kaki, untuk menjaga mereka dari bahaya. Mereka mendapatkan pakaian berbeda dan ditempatkan secara khusus, ketika sedang menstruasi.
Dalam teknik pembuatan “pewarna alami” (pewarna alami) untuk batik, misalnya, warna merah darah ayam, didapatkan dari getah tanaman dan buah mengkudu. Salah satu tanaman yang ditakuti makhluk halus, selain bambu apus dan pakis haji. Tidka mengherankan, sehelai kain bisa menolak kekuatan jahat.
Kosmetika dan fashion adalah penanda awal dalam agama-agama kuno, dalam mengenal Tuhan mereka.
Karnaval dikenal sebagai pembuktian adanya “ruang suci” dan “waktu suci” dalam tradisi agama. Seperti kita tahu, semua agama (atau yang diangga sebagai agama), mengenal kekuasan Pencipta yang tak-terbatas. Agama selalu meminta pemeluknya, tidak hanya menghormati tempat-tempat yang dianggap suci, namun juga bagaimana menciptakan “ruang” yang suci, di mana mereka bisa beribadah.
Ruang itu bisa berupa hati manusia, pasar, kantor, atau (dalam karnaval) bisa berupa jalan.
Jalan, bagi agama-agama kuno, dan yang masih bertahan sampai sekarang, menjadi “perluasan” ruang ibadah.
Di jalan, agama A bisa mengenal tradisi budaya agama B. Anak kecil menjadi tahu, apa yang terjadi pada tradisi mereka. Karnaval tempat orang melihat “keunikan” bertemu, penghormatan terjadi, dan “jalan” yang menjadi tempat mereka melakukan peribadatan bersama. Hari ini orang Yahudi merayakan hari besar mereka, bulan depan Kristen, dst. Atau mereka beriringan, berjalan bersama dalam satu hari.
Ini adalah “ruang” (bukan tempat). Jalan yang biasanya menjadi tempat orang ngebut dan kecelakaan, menjadi pertemuan semua orang. Ruang bisa mengubah fungsi-dasar tempat A menjadi berfungsi lain, bergantung pada aktivitas manusia di dalamnya.
“Karnaval” juga menjadi momen memperkenalkan “kesucian waktu”. Ada momen dalam kehidupan manusia, yang diajarkan agama mereka masing-masing, tentang waktu yang “diharamkan” (artinya: “dimuliakan”, menurut Islam). Waktu untuk “mengulangi”, agar mendapatkan kedalaman makna, dari peristiwa historis. Waktu terus berjalan, musim berganti, pasti ada waktu-waktu yang dianggap sanga bernilai mulia. Panen dan musim tanam, dimuliakan para petani. Tahun baru, hari kelahiran nabi, semua itu dimuliakan sebagai hari yang “berbeda” dari hari lain.
Hari ini, di jalan-jalan, karnaval memperingati 74 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi di mana-mana. Jalan raya penuh orang berarak-arakan, penuh kegembiraan. Mereka turun ke jalan bukan dengan agama tetapi karena satu bangsa, Indonesia.
Setiap tahun, ketika melihat karnaval pitulasan, saya selalu merindukan bentuk karnaval yang masih klasik, di mana ada unsur: ritual, topeng, fashion, atraksi, pesta di jalan. Spontanitas dan apa adanya, jika memang “kemerdekaan” menjadi bagian dari keseharian kita semua, sebagai orang Indonesia. Sepertinya, susah sekali.
Masalahnya, “nostalgia” kemerdekaan dikenang di jalan dengan mengubah ruang (bernama “jalan”) menjadi sebuah panggung. Kemerdekaan menjadi pertunjukan, bukan perayaan.
Bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di tempat pembaca, masing-masing. Dalam sehari ini, saya memilih didenda Rp100.000 oleh RW karena nggak ikut karnaval. Saya memilih hunting foto dan menulis. Justru denda itu membuktikan betapa berbeda karnaval dari yang saya bayangkan.
Jalanan penuh orang. Partisipan dan penonton, hampir sama banyaknya (ini berarti, banyak juga yang nggak ikut karnaval). Wajib ikut, jika tidak, kena denda. RT sebelah, dendanya Rp50.000, RT saya Rp100.000.
Partisipan karnaval desa, diikuti per RW. Percayalah, bikin tema (fashion dan atraksi) untuk karnaval itu tidak mudah. Butuh konseptor, biaya, dan kesungguhan mengerjakan, lebih dari 3 minggu.
Fashion batik bersayap, sekarang, masih ngehit. Saya kenal pembuat batik sayap dan sering disewa untuk karnaval. Tidak jarang, 1 pemborong fashion dan mobil hias, bisa mengerjakan 5 partisipan berbeda. Kontak bisa dihubungi, harga bervariasi. Anak-anak sekolah, di sebuah SMA di Rembang, misalnya, 1 kelas ditarik iuran untuk membiayai riasan salon siswa yang mewakili kelas mereka. Demi tampil cantik dan menampilkan pakaian adat propinsi.
Ada kantor dinas, SKPD, desa, dan komunitas. Mereka menampilkan profesi mereka masing-masing. Dunia mereka sekarang, dalam memaknai kemerdekaan, alias berpartisipasi sebagai bagian dari Indonesia. Pemandangan yang hampir sama di mana-mana.
Pesta makanan lokal yang terjadi adalah makanan berkardus dan minuman kemasan, instant. Siapa itu yang buang sampah sembarangan?
Mereka berjoget atau tidak, musik modern mengiringi. Dangdut koplo tetap berjaya.
Dan selfie, tentu saja.
Bagaimana karnaval tidak menjadi “pemisahan”, antar-desa, tidak menjadi persaingan sewa-menyewa (demi menampilkan kemewahan)? Bagaimana karnaval bisa menjadi ruang pertemuan dan saling mengenal tradisi “orang lain”? Bagaimana karnaval bisa kita pakai untuk kembali melihat Indonesia?
Dan jarang terdengar anak kecil berteriak, “Merdeka!”.
Sekali lagi, “Merdeka! Hidup, Indonesia!”. [dm]