SEMARANG (jatengtoday.com) – Setiap lekuk sudut gang di kawasan Kota Lama Semarang menyimpan kisah panjang yang tak pernah selesai dikisahkan dalam waktu singkat. Berjejal gedung kuno peninggalan zaman kolonial Belanda yang kaya nilai sejarah.

Tidak hanya berhenti di gedung tua, bergeser ke bagian timur Kawasan Kota Lama akan bertemu permukiman warga yang padat nan eksotis. Salah satunya adalah Kampung Batik yang terdiri atas 9 RT, di Kelurahan Rejomulyo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang.
Tembok gang-gang di kampung tersebut kental berbalut budaya dengan berbagai lukisan mural dan graffiti. Emperan rumah warga banyak menjadi etalase kain batik nusantara.
Tidak hanya itu, ada satu kampung tersembunyi tepatnya di Kampung Batik Tengah RT 4 RW 2 yang tak kalah menarik untuk dikisahkan. Kampung tersebut saat ini dikenal sebagai Kampoeng Jadhoel. Warga di kampung tersebut menyulap kampung kumuh, rawan banjir, gelap dan dikenal rawan kriminalitas, menjadi eksotis.
Para warga memiliki aktivitas membatik, memproduksi kuliner khas Semarang, melukis dan aktivitas budaya lainnya. Kreativitas lukisan warga juga dituangkan di dinding-dinding rumah warga, bahkan ada deretan lukisan mural Wayang Beber yang menceritakan sejarah Kota Semarang sejak abad ke-8. Juga mural sejarah dan filosofi batik, replika panggung wayang kulit, galeri lukisan, dan galeri 3D.
Tidak hanya itu, warga kampung tersebut juga melakukan edukasi tentang belajar membatik dan melukis diatas kanvas. Pelatihan membatik dilakukan sejak dini mulai siswa PAUD, SD, SMP, SMA, hingga dewasa. Baik warga kampung setempat maupun dari luar daerah.
Bahkan kreativitas warga selevel RT di kampung ini mampu mencuri perhatian turis mancanegara seperti dari Korea Selatan,?Jepang, Kanada, India, dan Amerika Serikat untuk menyambangi kampung tersebut.
“Kami sebetulnya tidak ada rencana membuat kampung wisata. Kami hanya ingin kampung ini bersih, warga bisa asyik tongkrongan, ngobrol bareng, menikmati kampung sendiri secara nyaman,” kata Sekretaris RT 4 RW 2, Ignatius Luwiyanto, saat disambangi jatengtoday.com, Sabtu (7/7).
Sejak Desember 2016 lalu, warga di kampung tersebut memulai perubahan. Sebab, sebelumnya, image kampung tersebut sangat buruk. Kumuh, langganan banjir, dan kriminalitas tinggi. “Banyak orang ditodong, dirampas laptopnya, orang ngekos malah ngambil barang, warga dirampok di kampungnya sendiri karena penerangan gelap, pembunuhan dan seterusnya. Kami hanya ingin ada perubahan,” katanya.
Hal pertama yang dibangun adalah budaya gotong-royong. “Kami memiliki prinsip sedulur paling dekat adalah tetangga. Maka gotong-royong kami pegang. Sebab, ciri khas kampung adalah gotong-royong,” cetusnya.
Bermula keguyuban itulah, energi untuk membangun kampung muncul. Semangatnya justru terbakar ketika kampung tersebut tidak pernah mendapatkan bantuan anggaran dari Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.
Pemkot Semarang hanya memberikan bantuan untuk RW yakni RW 2, yakni untuk kampung tematik yang diberi nama ‘Kampung Batik’. Warga menilai, itu kurang maksimal karena RW 2 terdiri atas 9 RT. Sementara alokasi anggaran hanya dialokasikan untuk Kampung Gedong. “Kami tidak bisa. Iri, tapi iri yang positif. Yowis kalau kami tidak dapat anggaran tidak apa-apa, kami membangun dengan biaya sendiri, swadaya warga sendiri, gotong-royong, tanpa bantuan pemerintah,” tegasnya berapi-api.
Warga memiliki tekad, bahwa kampung ini harus lebih baik daripada kampung yang mendapat bantuan dana dari pemerintah. Ternyata terbukti. Bahkan sekarang ini banyak kalangan akademisi, mahasiswa, dosen, melakukan penelitian di kampung tersebut.
“Kampung ini murni dibiayai warga sendiri. Kami menilai, kalau sesuatu itu berawal dari atas (pemerintah) ke bawah (rakyat), rasa handarbeni-nya kurang. Tetapi kalau gregetnya berasal dari warga (bawah) sendiri, maka rasa handarbeni-nya lebih tinggi,” tuturnya.
Tiga pandangan; kepedulian, perubahan dan kebersamaan, selalu dijaga. Maka warga memiliki prinsip untuk kompak maju bersama-sama. “Ya sudah bikin sendiri. Mulai bikin ide, saya menggambar. Kami bantingan atau urunan uang warga semampunya. Akhirnya semua bisa terealisasi. Ini sebetulnya belum 100 persen, baru 70 persen karena keterbatasan dana,” katanya.
Konsep kampung tersebut mengangkat kebudayaan Semarang. Termasuk sejarah Kota Semarang dengan Mural Wayang Beber. “Sejarah Kota Semarang mulai abad 8 dituangkan dengan lukisan mural Wayang Beber di sebuah lorong dinding rumah warga di Kampoeng Jadhoel,” katanya.
Sekarang sudah banyak titik, ada lukisan mural memuat cerita Wayang Purwo yang kalau diceritakan bisa semalam suntuk. Itu tergambar dalam satu dinding. Ada replika panggung pagelaran wayang kulit lengkap dengan tokoh-tokoh pewayangan untuk belajar pengenalan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) maupun Taman Kanak-kanak (TK).
“Wayangnya terbuat dari kardus. Selain itu, ada mural perbatikan. Saat ini belum selesai. Nanti mural tersebut menjelaskan tentang berbagai macam batik,” terangnya.
Selain itu ada galeri lukis, galeri tiga dimensi (3D), rumah jadoel dan lain-lain. Semua penekanannya adalah mengangkat budaya. Kalau secara fisik sudah dibangun, selanjutnya bagaimana meningkatkan ekonomi warga. Maka kuliner khas Semarang diangkat, misalnya roti ganjel rel, gandos, nasi kebuli, nasi gliwo dan lain-lain, untuk kemudian diangkat melalui UMKM. Termasuk batik. “Semuanya berbasis pemberdayaan warga. Setiap Minggu pagi ada pasar batik,” katanya.
Bahkan sekarang ini rutin digelar pelatihan-pelatihan, baik seni lukis kanvas, membatik, dan kreativitas membuat sablon cukil atau printing manual untuk sablon kaos. “Banyak orang datang untuk ikut belajar membatik dan melukis. Selain edukasi, kami juga menyediakan perpustakaan untuk budaya literasi. Tetapi perpustakaannya masih sangat sederhana,” katanya.
Apabila ada rumah rusak, warga secara gotong royong membenahi bersama-sama. Warga maupun pengunjung bisa membaur dan berinteraksi secara santai. Tersedia fasilitas gazebo-gazebo untuk duduk menikmati kedamaian kampung ini. “Hampir setiap malam ramai. Baik warga sendiri maupun pengunjung. Terutama malam minggu,” katanya.
Salah satu pengunjung, Nurlita Anggraheni mengaku salut melihat kreativitas warga Kampoeng Jadoel tersebut. “Ini sungguh menginspirasi bagi kampung lain. Warga disini tanpa mendapat bantuan dari pemerintah bisa membuat kampung seindah ini. Luar biasa,” katanya. (abdul mughis)
editor: ricky fitriyanto