in

Kampung ini Tak Pernah Tidur, Nonstop 24 Jam Produksi Kulit Lumpia

SEMARANG (jatengtoday.com) – Permukiman padat penduduk biasanya identik dengan karakteristik kehidupan keras, rawan kriminalitas dan kemiskinan. Namun akan terlihat pemandangan berbeda ketika menyusuri Gang Kampung Kranggan Dalam, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.

Memasuki gang permukiman Kranggan Dalam, di kanan-kiri akan terlihat kesibukan warga bekerja di rumah masing-masing. Mereka memanfaatkan teras rumah maupun ruang tamu sebagai dapur produksi kulit lumpia. Bahkan kampung ini dikenal tak pernah tidur, karena memiliki aktivitas selama 24 jam nonstop tak pernah berhenti produksi.

Warga memanfaatkan teras rumah maupun ruang tamu sebagai dapur produksi kulit lumpia.

Terdapat kurang lebih 40 pengusaha kulit lumpia dengan mempekerjakan puluhan pekerja. Mereka memasok kulit lumpia ke berbagai kota besar di seluruh Indonesia. Tak salah, kampung ini dikenal sebagai “Kampung Kulit Lumpia”.

Ahmad Mustamimin (34), tampak pakaiannya belepotan tepung. Tangannya cekatan mengambil adonan tepung terigu yang kenyal dari ember, lalu dimasukkan ke dalam tiga wajan panas di atas kompor gas. Hanya butuh beberapa detik, ia mengangkat adonan terigu dan tersisa lapisan tipis di permukaan wajan.

Lapisan atau lembaran tipis itu segera diangkat dan digunakan sebagai kulit lumpia. Lembaran kulit lumpia itu kemudian diambil oleh produsen pembuat lumpia yang dikenal sebagai salah satu kuliner khas Kota Semarang.

“Aktivitas industri kulit lumpia di kampung ini telah dilakukan turun-temurun. Pertama kali, usaha pembuatan kulit lumpia ini dilakukan oleh Mak Wa. Istilahnya beliau pertama kali babat alas, bikin kulit lumpia sekaligus bikin lumpia. Beliau sudah almarhum, generasi penerusnya sekarang Lumpia Mbak Lien,” katanya.

Produksi kulit lumpia dilakukan nonstop 24 jam.

Sejumlah warga di kampung tersebut dahulu dilibatkan sebagai pekerja oleh Mak Wa. Dalam perkembangan waktu, para pekerja tersebut mendirikan usaha sendiri hingga berkembang seperti sekarang ini.

“Saat ini, terdapat kurang lebih 40 pengusaha kulit lumpia di kampung ini. Sekurang-kurangnya mampu memproduksi 70 karung tepung terigu setiap hari (1 karungnya seberat 25 kg). Setiap pengusaha rata-rata menghabiskan 2 hingga 4 karung tepung setiap hari. Setiap produksi kulit lumpia 1 karung memiliki omzet kotor kurang lebih Rp 400 ribu,” ungkap pria yang menekuni produksi kulit lumpia sejak 2004 dan di 2008 mendirikan usaha sendiri.

Meski telah lama ada, lanjutnya, namun baru terbentuk komunitas perajin kulit lumpia kurang lebih sejak 6 tahun lalu. Melalui komunitas perajin kulit lumpia ini pemasarannya lebih tertata.

“Kami difasilitasi oleh Pemkot Semarang untuk mengembangkan pemasaran melalui pameran-pameran. Dampaknya cukup signifikan. Sekarang ini rutin menyuplai kulit lumpia ke Bali, Surabaya, Kediri, Magelang, Jakarta, Yogyakarta, Solo, hingga Kalimantan,” katanya.

Sementara, perajin lain, Sumiati (37), mengatakan produksi kulit lumpia ini berlangsung 24 jam nonstop setiap hari. “Tidak pernah ada hari libur. Dikerjakan oleh 6 orang karyawan dengan sistem shift atau bergiliran. Rata-rata sehari menghabiskan 4 sak tepung terigu khusus lumpia,” kata warga Kranggan Dalam RT 2 RW 1 Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.

Dijelaskan, setiap 1 sak bisa menjadi 1400 lembar kulit lumpia. Dijual per-100 lembar Rp 40 ribu untuk ukuran besar. Ukuran tanggung Rp 30 ribu per-100 lembar. Sedangkan untuk ukuran kecil Rp 25 ribu per-100 lembar. “Kulit lumpia ini tidak hanya dijadikan untuk membalut lumpia, tetapi juga untuk karamel, martabak, dan samosa,” katanya.

Salah satu pekerja, Sapto (43), mengaku telah 10 tahun bekerja. Menurut dia, perajin kulit lumpia telah nyaman dengan kondisi bisnis tersebut. Meski omzetnya tidak terlalu besar, tetapi cenderung stabil. Pemesan tidak terpengaruh musim, bahkan produksi harus setiap hari 24 jam agar bisa memenuhi pasokan.

“Hampir semua perajin kulit lumpia ini mandiri dari segi permodalan. Tidak pernah mendapat bantuan permodalan dari pemerintah. Memang sempat ditawari pinjaman modal, tetapi karena selama ini tidak ada kendala mengenai permodalan. Maka tawaran pinjaman permodalan ditolak,” katanya.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Juliari P Batubara yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM, dan BUMN saat meninjau di kampung tersebut mengapresiasi produksi kulit lumpia. Menurutnya, secara teknis sudah berjalan baik. Namun dari segi pengelolaan manajemen masih perlu dilakukan perbaikan.

“Terutama kebersihan dan kenyamanan para pembuat kulit lumpia masih memprihatinkan dari segi kenyamanan, higienisnya, itu kan makanan jadi perlu diperhatikan,” katanya.

Dia juga mengajak para pelaku pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kota Semarang memanfaatkan dana pinjaman yang disediakan berbagai lembaga untuk pengembangan usaha. “Bisa meminjam dana lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank-bank maupun dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB),” katanya.

Dana pembinaan UMKM saat ini lebih banyak diberikan lewat BUMN yakni melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) ataupun program-program kemitraan bina lingkungan. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis