SEMARANG (jatengtoday.com) – Sengketa lahan dan bangunan di kompleks Bubakan Baru, Kelurahan Purwodinatan, Kota Semarang masih terus bergulir. Kabar terbaru, Pemkot Semarang yang kalah dalam banding sedang berupaya mengajukan permohonan hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.
Kasasi tersebut didaftarkan oleh Pemkot melalui jaksa pengacara negara (JPN) dari Kejari Kota Semarang pada 28 Juli 2020. Perkara itu terregister dengan nomor 179/Pdt.G/2019/PN.Smg juncto Nomor 39/Pdt.K/2020/PN.Smg.
Upaya itu terpaksa ditempuh setelah sebelumnya Pemkot Semarang dinyatakan kalah dalam dua tingkat peradilan melawan 14 warganya yang selama ini menempati lahan di kompleks Bubakan Baru.
Baik majelis hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri (PN) Semarang maupun majelis hakim banding pada Pengadilan Tinggi (PT) Jateng memutuskan bahwa yang berhak atas tanah tersebut adalah 14 warga, bukan Pemkot Semarang.
Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Kota Semarang, Dyah Ayu Wulandari selaku JPN Pemkot mengungkapkan, pertimbangan yang dipakai dalam putusan banding dinilai mengabaikan banyak bukti yang telah ia ajukan.
“Majelis hakim dalam putusannya tidak mengemukakan pertimbangan dalam salinan putusan secara cermat, arif dan bijaksana karena hanya mengambil alih seluruh pertimbangan majelis hakim di pengadilan tingkat pertama,” ujar Ayu saat ditemui di kantornya, Kamis (30/7/2020).
Menurut Ayu, berdasarkan surat perjanjian nomor 602/12/tahun 1992 antara Pemkot Semarang dengan PT Pratama Erajaya, kedua belah pihak sepakat menetapkan jangka waktu kontrak bagi tempat usaha selama 25 tahun. Dengan klausul Hak Guna Bangunan (HGB) induk diterbitkan di atas hak pengelolaan (HPL) Pemkot Semarang.
“Dengan jangka waktu kontrak 25 tahun, maka kontrak sudah habis waktunya pada 2018 lalu. Dengan berakhirnya kontrak, maka tanah kembali ke Pemkot Semarang sebagai aset,” tuturnya.
Perjalanan Kasus
Kasus tersebut bermula saat 14 orang yang selama ini menempati bangunan di kompleks tersebut mengajukan gugatan di PN Semarang pada 18 April 2019 lalu. Mereka tidak terima tanah yang menjadi objek sengketa ‘mendadak’ diklaim sebagai aset milik Pemkot Semarang.
Padahal, kepemilikan tanah para penggugat dibuktikan dengan adanya sertifikat HGB yang yang berdiri sendiri dan didapat dengan proses yang legal.
Sehingga, penggugat meminta agar majelis hakim memerintahkan Wali Kota Semarang untuk menghapus objek sengketa dari daftar inventarisasi aset Pemkot Semarang. Mereka juga meminta ganti rugi senilai Rp15 miliar.
Kemudian, Majelis Hakim mengabulkan gugatan tersebut, menyatakan para penggugat adalah pemilik sah atas tanah berikut bangunan yang berada di atasnya. Putusan itu dibacakan pada 5 Desember 2019.
Sehingga, Wali Kota Semarang dinyatakan tidak mempunyai hubungan hukum dengan objek sengketa. Dalam hal ini, Kantor Pertanahan Semarang diperintahkan supaya memperpanjang sertifikat HGB yang ada.
Tak puas atas putusan itu, Pemkot Semarang mengajukan upaya hukum banding di PT pada 11 Desember 2019. Perkara tersebut diadili oleh Hakim Ketua Shari Djatmiko.
Pada 12 Mei 2020, Majelis Hakim Banding menerima permohonan banding. Namun, putusannya justru menguatkan kembali apa yang sudah diputusan hakim PN Semarang sebelumnya. Yakni menyatakan Pemkot Semarang kalah dari 14 warganya. (*)
editor: ricky fitriyanto