SEMARANG (jatengtoday.com) – Kalau Anda jalan-jalan di kawasan Pecinan Semarang, akan sangat mudah menemukan berbagai bangunan kuno. Uniknya, hampir semua bangunan kuno tersebut memiliki kisah dan sejarah menarik.
Salah satunya adalah sebuah rumah di Jalan Wotgandul Barat nomor 12, Pecinan Semarang. Rumah kuno itu adalah toko kopi legendaris bernama Margo Redjo yang didirikan oleh Tan Tiong Ie sejak 1916 silam.
Melihat dari tahun berdirinya saja, tentu toko ini memiliki sejarah panjang. Benar saja, toko ini secara turun temurun konsisten berjualan serbuk dan biji kopi sejak zaman Kolonial Belanda hingga era milenial. Dagangannya berbagai jenis kopi nusantara.
Bahkan Tan Tiong kala itu pernah menjadi produsen kopi yang menguasai pasar mancanegara. Salah satunya menjadi eksporter kopi bubuk ke Singapura dan Malaya kala itu. Meski sekarang tidak setenar dahulu, Margo Redjo setidaknya mampu bertahan di tengah gempuran persaingan bisnis dengan pemodal besar.
Saat ini, Margo Redjo dikelola oleh Widayat Basuki Dharmowiyono alias Tan Tjoan Pie, penerus generasi ketiga. Ia mengakui tidak mudah memertahankan bisnis kopi yang diwariskan oleh kakeknya. Bahkan Margo Redjo sempat mengalami kondisi kritis, seperti pepatah ‘hidup segan mati tak mau’.
“Saya mengelola sejak 1975, keadaannya masih sama saja, sulit. Saya berusaha memertahankan karena sayang,” kata pria kelahiran 8 Oktober 1945 ini.
Bertahun-tahun dia harus merogoh kocek untuk subsidi agar bisnis kopi Margo Redjo tidak mati. Ia juga konsisten memertahankan ciri khas penyangraian kopi yang diwariskan keluarganya.
“Kondisi mulai membaik setelah belakangan salah satu anak saya, memiliki kenalan sejawat yang keluarganya memiliki kebun kopi Arabica di Bengkulu. Dari situlah, mendapat suntikan supplier kopi yang cukup besar,” katanya.
Margo Redjo mulai kembali bangkit dengan adanya sejumlah supplier kopi mentah. Bahkan dalam perkembangannya banyak supplier menawarkan diri dan bertahan hingga sekarang. “Semakin majunya tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat, terutama generasi muda, pengetahuan tentang kopi juga meningkat. Banyak orang zaman now sudah tahu, bahwa kopi setelah digiling, daur layak konsumsinya hanya maksimum delapan jam,” katanya.
Sehingga kopi sachet sudah bukan lagi menjadi pilihan mereka. Itulah alasan untuk mengubah kategori kopi yang ditawarkan dari kopi bubuk menjadi kopi biji sebagai lifestyle.
Suplai saat ini kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa Barat. Selain itu juga dari Bali dan Nusa Tenggara Barat. “Indonesia begitu kaya akan varian kopi. Waktu itu saya memang tidak punya akses untuk mendapatkan supplier terpercaya, agar bisa mendapatkan dalam jumlah yang cukup,” katanya.
Dengan memertahankan ciri khas pengolahannya, kata dia, Kopi Margo Redjo tetap menyimpan magnet tersendiri. “Mulai dari proses penjemuran, penghilangan kulit dari biji kopi, hingga proses sangrai, semuanya dilakukan cara manual,” katanya.
Menyinggung sejarahnya, Margo Redjo didirikan oleh kakeknya, Tan Tiong Ie, pada 1916 silam. Pertama kali berdiri di Bandung, saat Tan Tiong Ie merantau di sana. Tetapi pada 1925, Tan Tiong Ie, memutuskan pulang ke tanah kelahirannya Semarang untuk meneruskan Margo Redjo.
“Dulu alat-alat produksinya masih sederhana. Alat sangrai besar model pertama berbentuk bulat berbahan bakar kayu,” katanya.
Paska 1925 itulah, Margo Redjo mulai berkembang pesat atau bisa dibilang mencapai titik keemasan. Margo Redjo menjadi eksporter kopi bubuk terbesar yang menguasai pasar mancanegara. Di antaranya menguasai pasar Singapura dan Malaysia kala itu.
Tetapi ketika terjadi perang Pasifik dan Jepang menjajah Indonesia, otomatis ekspor terhenti. Produksi menurun dan kondisi terpuruk. Ketika itu, Margo Redjo telah dilanjutkan oleh ayahnya, Tan Liang Tjay. Semua produk sudah terganggu pangsa pasarnya. “Boom zaman keemasannya tidak pernah kembali lagi apalagi dengan munculnya pemain-pemain baru. Hingga saya mengelola sejak 1975, kondisinya juga tidak kunjung membaik sebelum akhirnya menemukan supplier-supplier besar yang membuat bertahan hingga sekarang,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto