Selama tiga hari berturut-turut, Harian Kompas menurunkan tentang dosa akademik yaitu joki menulis jurnal untuk memenuhi salah satu syarat menjadi guru besar.
Menjadi guru besar, selain persyararatan berat, di sisi lain, kampus sangat membutuhkan akreditasi. Menurut pengalaman penulis, untuk memenuhi persyaratan S3 (doktor), harus ada publikasi di jurnal internasional bereputasi, dengan nama pertama si mahasiswa, disusul nama promotor, kemudian co-promotor. Kalaupun ada nama pertama yang bukan si peneliti, itu kasuistik, tidak bisa digeneralisasi.
Bukan hanya joki di kampus untuk urusan akademik. ada juga joki hajar aswad, yang membantu jama’ah haji untuk cium Hajar Aswad.
Penulis heran, ketika menjalankan umroh tahun 2012, mendapat tawaran genjar dari tim joki agar bisa mencium Hajar Aswad. Tawaran seperti ini sudah populer untuk jama’ah Indonesia. Tanah suci yang seharusnya jauh dari perbuatan aneh dan curang, justru ada tawaran seperti itu.
Untuk menghilangkan tradisi joki akademik memang bukan hal mudah. Perlu pergantian dua generasi, agar budaya tersebut hilang sama sekali. Sebab sesuatu yang dianggap lazim tidak bisa dihilangkan begitu saja. Semuanya sudah mengakar kokoh dan sistematis. Kalau mau, pihak Kemdikbud Ristek memberlakukan sanksi tegas dan tidak main-main untuk kasus-kasus yang seperti itu.
Joki-joki akademik mengejar upah yang menggiurkan. Bisa dibayangkan, bagaimana 2 oknum berusaha merusak reputasi Jurnal BIRCI (Budepest International Research and Critics Institute) di Deli Serdang, dengan meminta uang untuk penerbitan artikel di jurnal itu. Sedangkan reputasi Jurnal BIRCI, sekalipun meragukan, akan dapat 1 milyar rupiah jika kiriman artikel mencapai 1000. Pengusaha yang cari untung dari karya akademik itu tidak jarang menyewa ruko-ruko mahal untuk kantor.
Menurut Penulis, yang bisa kita lakukan adalah memperkuat pendidikan karakter dari jenjang dasar, menanamkan mental bahwa memakai joki, plagiasi, adalah perbuatan yang salah dan bertentangan dengan nilai-nilai ilmiah dalam pendidikan.
Tanpa kesadaran mendasar ini, praktik joki akan selalu ada. Selama ini, praktik joki terdorong karena jumlah uang besar, yang bisa membuat manusia tertarik. Jika karakter pelajar dan mahasiswa sudah terbentuk untuk menyelesaikan tugas akademik dan kompetisi secara ilmiah tanpa joki, maka iming-iming uang tidak akan membenarkan tindakan mereka. Praktik joki di negara manapun, terkesan bahwa mereka tidak takut Allah. Inilah yang menyebabkan joki akademik menjadi masalah laten dan berlarut-larut.
Sebagian orang terlibat dalam praktik joki karena beberapa alasan. Pertama, mereka seolah-olah berniat menolong (tindakan manusiawi), agar tugas atau kelulusan seseorang dapat selesai sebelum deadline. Hampir semua kasus joki berada di wilayah abu-abu seperti ini. Sepertinya menolong, namun sebenarnya merusak dunia akademik.
Ini bisa diatasi, sekali lagi, dengan pendidikan karakter sejak dini, tentang bahaya dan larangan memakai joki, plagiarisme, dan mental yang tidak-ilmiah, yang bisa merusak dunia pendidikan. Latih anak-anak untuk jujur dan mandiri, bukan dikerjakan orang lain dengan imbalan membayar.
Pada kasus lain, mereka yang memakai joki, sebenarnya bukan kurang percaya diri. Mungkin mereka pernah menulis artikel jurnal, namun ditolak (sampai beberapa kali), sehingga rasa percaya diri mereka surut. Mereka akhirnya memilih jalan pintas: minta bantuan joki, transfer uang ke joki, dan pekerjaan selesai.
“Bukankah semua orang melakukan hal itu? Mengapa saya tidak? Pimpinan terlibat perjokian, saya sebagai bawahan tidak perlu merasa bersalah, toh hal ini lazim terjadi di dunia akademik”.
Kalau sedari kecil ditanamkan bahwa hidup kita adalah tanggung jawab kita, maka anak-anak akan bertanggung jawab dengan pilihannya begitu juga pilihan menjadi akademikus.
Profesi ilmiah sebagai magister atau doktor, begitu membanggakan. Akademisi cenderung dicitrakan sebagai seseorang yang cerdas, pintar, rajin baca buku, sehingga terjadi hal yang berkebalikan, ketika karya mereka dikerjakan orang yang hanya lulusan S1.
Perjokian akademik masih saja terjadi. Pendidikan karakter, bisa menjadi antitesis praktik joki, dalam jangka panjang.
Para joki mungkin lebih berprinsip “ada permintaan, ada penawaran”. Artinya, jika tidak ada permintaan (untuk memakai jasa joki) maka tidak ada penawaran (dari joki). Hanya karakter kuat dan bersihlah yang akan memusnahkan praktik ini sampai ke akar-akarnya. Selagi karakter dan mental ilmiah terbentuk, maka tawaran joki maupun desakan kebutuhan, tidak akan mengarah kepada plagiarisme dan rusaknya dunia akademik.
—
*) Waode Nurmuhaemin. Doktor Manajemen Pendidikan.