in

Jelang Kupatan di Semarang, Penjual Janur dan Bungkus Ketupat Mulai Menjamur

SEMARANG (jatengtoday.com) – Menjelang perayaan tradisi Kupatan, penjual janur kelapa dan selongsong ketupat mulai bermunculan di sejumlah pasar tradisional Kota Semarang.

Salah satunya bisa dilihat di Pasar Purwoyoso, Kecamatan Ngaliyan. Penjual ketupat tampak berderet menjajakan dagangannya. Sebagian penjual berasal dari luar kota.

Meski Lebaran Ketupat baru akan digelar Kamis (20/5/2021) atau H+7 Idul Fitri, tetapi di pasar ini penjual ketupat sudah mulai berjualan sejak Selasa (18/5/2021) pagi.

Salah satu penjual dari Mranggen, Demak, Yadi (34) mengaku sengaja berjualan dua hari sebelum Kupatan digelar.

Harga yang ditawarkan juga beragam. Untuk 10 biji selongsong ketupat janur warna kuning dijual seharga Rp10.000. Adapun ketupat janur warna hijau, per 10 biji dihargai Rp8.000.

Kemudian, untuk janur kuning yang belum dibentuk ketupat, per 7 helai dijual dengan harga Rp7.000.

Menurut Yadi, meski sebagian dagangannya sudah terjual tetapi penjualan terbilang kurang memuaskan dibanding tahun sebelumnya.

“Sepi gara-gara pandemi. Mungkin karena ada larangan mudik, yang dari luar kota tidak pulang jadinya sedikit yang merayakan Kupatan,” katanya.

Penjual lain, Maskunyati (42) mengaku pernah berjualan janur dan ketupat di Pasar Jatingaleh, tetapi kini pindah ke Pasar Purwoyoso. Dia memilih potensi pasar yang lebih ramai.

Meski penjualannya terdampak pandemi Covid-19, Maskunyati tak ingin menyerah dengan keadaan.

Sebagai informasi, Kupatan merupakan tradisi yang berlangsung setiap H+7 Idul Fitri. Tradisi ini memiliki banyak penyebutan lain seperti Lebaran Ketupat, Bodo Kupat, atau Hari Raya Ketupat.

Biasanya ketupat dihidangkan dengan opor ayam. Disuguhkan pada momen lebaran di mana antar keluarga dan kerabat saling bermaaf-maafan.

Dalam beberapa literatur disebutkan, ketupat bukanlah sekadar hidangan khas lebaran, melainkan ada filosofi yang mendalam. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat atau mengakui kesalahan. (*)

 

editor: ricky fitriyanto