Jumlah anak yang diinginkan perempuan-bekerja, perlahan berkurang.
Meskipun kesetaraan gender telah menjadi perhatian khusus yang dimasukkan dalam salah satu tujuan program Sustainable Development Goals (SDGs), dukungan besar dalam kesetaraan gender ini tidak mampu memisahkan kodrat perempuan untuk melahirkan. Peran perempuan dalam kegiatan domestik masih mungkin diambil alih oleh laki-laki atau pembantu namun kodrat untuk melahirkan tetap milik perempuan. Dengan adanya perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan ini diduga mempengaruhi pembuatan keputusan untuk masuk dalam angkatan kerja.
Masyarakat Jawa khususnya di Jateng menjunjung budaya perempuan sebagai kanca wingking. Hal ini menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki karena pekerjaan perempuan hanya di belakang atau urusan domestik. Sehingga partisipasi perempuan dalam pasar kerja tidak terlalu diperhitungkan dan masih dibawah laki-laki.
Dalam bidang ekonomi, disparitas gender ini cukup terlihat dari indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Berdasarkan data Sakernas Agustus 2019, TPAK laki-laki (82,43 %) di Jateng jauh lebih besar dibandingkan TPAK perempuan (55,33 %). Rendahnya TPAK perempuan dapat terjadi karena alokasi waktu dalam pekerjaan rumah tangga dan faktor siklus hidup seperti perkawinan dan melahirkan. Oleh karena itu, banyak perempuan yang ketika memiliki balita cenderung keluar dari pasar kerja.
Tidak semua perempuan yang menikah akan keluar dari pasar kerja. Proporsi perempuan berstatus kawin yang bekerja di Jateng sebesar 73,48 % pada Agustus 2019.
Mereka yang telah menikah tidak lagi hanya mengurus rumah tangganya, namun juga ikut membantu perekonomian keluarganya.
Yang menarik ketika melihat proporsi pekerja perempuan yang berstatus cerai hidup (3,35 %) maupun cerai mati (10,66 %) cukup besar. Pekerja perempuan ini memasuki pasar kerja mungkin saja sebagian terpaksa harus bekerja demi menghidupi keluarganya karena ketiadaan suami sebagai pencari nafkah.
Nilai Anak Bagi Perempuan Bekerja
Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan yaitu, apakah fertilitas mempengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja atau keputusan perempuan untuk bekerja yang memengaruhi fertilitasnya.
Rata-rata jam kerja perempuan di Jateng berdasarkan Sakernas Agustus 2019 sebesar 38,40 jam seminggu. Rata-rata ini lebih kecil daripada pekerja laki-laki (43,27 jam seminggu).
Ketika seorang perempuan memiliki anak yang masih kecil, dia akan cenderung mengurangi jam kerjanya. Karena anak kecil sangat membutuhkan lebih banyak waktu sang ibu.
Sehingga perempuan yang merupakan seorang ibu dengan anak kecil, lebih memilih bekerja di rumah atau bahkan keluar dari pasar kerja. Bahkan bagi perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan profesional cenderung menunda untuk memiliki anak dibandingkan dengan perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan di bawahnya.
Sebabnya, perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan profesional menghadapi hambatan yang lebih tinggi dalam memiliki anak sesuai yang mereka inginkan. Sehingga jumlah anak yang diinginkan bagi perempuan yang bekerja secara perlahan akan berkurang. Oleh karena itu, semakin banyak anak maka semakin besar peluang perempuan untuk meninggalkan pasar kerja karena alasan maternity leave atau child bearing.
Upah Pekerja Perempuan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu daya tarik masuk pasar kerja adalah upah yang ditawarkan. Bagi perempuan yang tidak masuk dalam pasar kerja, seluruh waktunya digunakan untuk berbagai kegiatan domestik rumah tangga.
Pertanyaannya, apakah seorang perempuan yang tidak bekerja akan mau untuk masuk pasar kerja? Pada tingkat upah berapakah seorang perempuan akan mau untuk masuk pasar kerja?
Pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan reservation wage. Yaitu upah minimal yang akan diterima oleh seseorang untuk mau bekerja. Jadi jika seseorang perempuan ditawari sebuah pekerjaan tetapi upah yang ditawarkan lebih kecil dari reservation wage, maka pekerjaan tersebut akan ditolak.
Pada kenyataannya upah yang ditawarkan pada perempuan lebih rendah daripada upah yang ditawarkan untuk pekerja laki-laki. Sehingga mereka cenderung menurunkan reservation wage.
Meskipun setiap tahun terjadi peningkatan jumlah pekerja perempuan, namun pekerjaan yang diperoleh masih menunjukkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Terlihat dari upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah dibandingkan upah pekerja laki-laki. Berdasarkan Sakernas Agustus, meskipun rata-rata upah perempuan meningkat dari tahun 2018 ke 2019 (Rp 1,82 juta), nilainya masih dibawah laki-laki (Rp 2,43 juta).
Perempuan Jateng tidak hanya dibatasi oleh budaya namun juga kodrat yang melekat pada dirinya dalam memutuskan apakah dia harus bekerja atau tidak. Belum lagi adanya kesenjangan upah yang harus diterima ketika memasuki dunia kerja. Namun para perempuan ini tidak semuanya tergantung pada keluarga khususnya suami sebagai pencari nafkah. Bagi mereka yang ‘terpaksa’ menjalankan peran sebagai tulang punggung keluarga, segala konsekuensi harus diterima agar dapur tetap mengebul. [tyas]
——-
Annisa Purbaning Tyas, SST, M.E.K.K. Statistisi Pertama di BPS Kabupaten Tegal. Pemerhati masalah ekonomi kependudukan masyarakat khususnya perempuan dan anak.