JAKARTA (jatengtoday.com) – Diet ekstrem yang tidak menyertakan serat di dalam menu harian sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh. Padahal sayur memiliki serat yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan mikrobiota yang berperan terhadap imunitas tubuh.
“Ini salah kalau dikatakan sayur menghambat penurunan berat badan. Secara kimia tubuh, justru sayur yang membantu jika terjadinya kerusakan metabolik ketika kita melakukan defisit energi,” kata Ahli gizi lulusan Universitas Indonesia sekaligus Ketua Indonesia Sport Nutrisionis Association (ISNA) Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, Kamis (4/3/2021).
Lebih lanjut, Rita menjelaskan bahwa tubuh akan memakai energi secara 24 jam tanpa bergerak, terlebih untuk menggerakkan organ-organ tubuh yang tidak diperintah; seperti jantung berdetak, kerja ginjal, hati, usus, dan lambung. Organ-organ ini membutuhkan energi untuk bekerja.
“Ketika kita mendefisitkan energi, kemudian mikronutrien (seperti vitamin dan mineral) dan seratnya tidak dicukupi, itu akan membuat sistem kerja metabolik energi itu berlangsung tidak sempurna, dan itu tubuh membutuhkan serat dari sayuran,” jelasnya.
Imunitas Tubuh
Selain itu, sayur memiliki serat yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan mikrobiota dalam tubuh. Dr. Rita memaparkan, mikrobiota di tubuh memakan serat. Mikrobiota ini memiliki peran penting terhadap imunitas tubuh.
Jika tidak ada serat yang masuk, maka mikrobiota akan mati, dan mengakibatkan antibodi tidak terbentuk, sehingga imunitas melemah.
Selanjutnya, sayur dan serat juga berfungsi untuk mengontrol kolesterol dan menstabilkan kadar glukosa darah. Jika hanya memakan nasi dengan lauk tanpa serat, maka kadar glukosa akan naik dan merangsang insulin.
“Insulin, kalau diproduksi dalam jumlah yang tinggi, bisa terjadi proses inflamasi atau peradangan dalam waktu yang singkat. Dalam waktu panjang, itu berisiko hiperglikemi dan diabetes meritus,” kata wanita yang juga merupakan Konsultan Gizi Royal Sport Performance Center Senayan City itu.
Risiko Kanker
Serat dari sayuran juga menggerakkan peristaltik usus besar yang berfungsi memuluskan pekerjaannya untuk mengeluarkan zat toksik di dalam tubuh. Jika tidak didukung oleh serat, maka bisa timbul risiko kanker kolon.
Terakhir, sayur menghasilkan sisa basa yang sesuai dengan pH tubuh yang juga merupakan basa.
“Tubuh kita pH-nya basa. Jadi kalau kita mengonsumsi makanan lalu hasilnya asam, maka ginjal, hati dan paru-paru langsung bekerja untuk membasakan,” kata Dr. Rita.
“Orang yang misalnya hanya makan protein saja bisa gagal ginjal karena ginjalnya bekerja keras untuk membasakan. Kalau kita makan sayur, maka itu akan membasakan dan kerja tubuh kita jadi tidak berat,” imbuhnya.
Diet Tya Ariestya
Beberapa hari belakangan warganet dihebohkan dengan buku tips diet dari selebritas Tya Ariestya, yang mengaku berhasil menurunkan berat badannya secara drastis melalui diet ketat selama beberapa bulan.
Tya berhasil memangkas berat badannya hingga 25 kilogram dalam kurun waktu empat bulan. Ia juga mengatakan dirinya tidak memakan sayur selama diet karena dianggap menghambat penurunan berat badan.
Selain tidak memakan sayur, diet ala Tya Ariestya juga disorot karena asupan kalori hariannya kurang dari 500 kalori (Very Low Calorie Diet/VLCD). Menurut Dr. Rita, hal ini membahayakan kesehatan dan memiliki dampak jangka pendek hingga panjang.
Dampak jangka pendeknya dengan defisit energi tersebut menyebabkan proporsi tubuhnya akan menjadi tidak bagus. Jadi, komposisi tubuhnya tidak hanya lemak saja yang hilang, tapi juga penurunan massa otot, tulang, dan total air dalam tubuh.
Sementara, untuk jangka menengah, nantinya akan menjadi tidak cukup untuk memberikan energi ke kerja basa dan imunitas, dan bisa jatuh ke malnutrisi. “Imunitas terganggu, dan kalau terekspos virus dan bakteri akan lebih mudah terpapar,” jelasnya.
Lebih lanjut, untuk efek jangka panjangnya, akan terjadi risiko gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan lambung, hingga irama denyut jantung.
“Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang irreversible — tidak bisa diperbaiki. Perbaikan pola hidup, pemberian obat, mereka tidak mengembalikan (organ) ke fungsinya hingga 100 persen seperti semula. Jadi, jangan coba-coba lakukan diet ekstrem ini,” kata Rita. (ant)
editor : tri wuryono