in

Ironi Tranportasi Bus Pariwisata yang Abaikan Keselamatan Masyarakat

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling berpotensi dikembangkan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Hampir setiap pemerintah daerah berlomba-lomba mempromosikan pariwisata di wilayahnya. Namun gencarnya promosi pariwisata oleh pemerintah tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan penataan sumber daya manusia (SDM) dan manajemen transportasi pariwisata secara baik.

Hal itu diperparah banyaknya pengusaha transportasi yang menjalankan bisnis tapi mengabaikan aspek keselamatan masyarakat. Baik kelayakan armada, pelatihan sumber daya manusia, waktu kerja mengemudi hingga penyediaan tempat istirahat atau penginapan pengemudi diabaikan. Bahkan pengemudi bus pariwisata tidur di bagasi bus adalah pemandangan biasa.

BACA JUGA: Lima Kecelakaan Bus Paling Tragis, Riwayat Buruk Transportasi di Indonesia

“Pengusaha bus pariwisata kebanyakan tidak memperhatikan hal-hal seperti itu. Keselamatan diabaikan hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya kecelakaan,” ungkap Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, Sabtu (20/3/2021).

Contoh terakhir, kejadian kecelakaan Bus Pariwisata PO Sri Padma Kencana di Sumedang, Rabu (10/3/2021) lalu, menjadi salah satu catatan buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia pada 2021 ini. Insiden yang terjadi di Tanjakan Cae, Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat itu menyebabkan 29 orang tewas.

Hal serupa juga pernah menimpa Bus PO Sriwijaya jatuh ke jurang di Liku Lematang, Desa Prahu Dipo, Kecematan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan menyebabkan 35 orang penumpang tewas pada Senin (24/12/2019) silam. Bisnis PO Sriwijaya akhirnya ditutup operasinya.

“SDM dan manajemen perusahaan Bus Pariwisata perlu dibenahi agar kejadian kecelakaan lalu lintas yang fatal tidak terulang. Keselamatan adalah investasi yang semestinya jadi perhatian pemerintah maupun pelaku bisnis transportasi,” ungkapnya.

Padahal, pemerintah sekarang ini sedang gencar-gencarnya melakukan promosi pariwisata. Namun keberadaan manajemen bus pariwisata yang menjadi salah satu andalan untuk mengunjungi lokasi wisata ini tidak dilakukan penataan manajemen secara baik.

“Operasional bus pariwisata sama sekali tidak terawasi. Dampaknya bus pariwisata beroperasi dengan kondisi seadanya. Sangat minim atau tanpa pengawasan baik dari petugas Ditjenhubdat dengan keterbatasan anggaran, maupun petugas di Dinas Perhubungan di daerah. Selain alasan tidak ada anggaran, juga merasa bukan kewenangannya,” ujarnya.

Jika kondisi angkutan pariwisata seperti itu, lanjut dia, maka masyarakat hanya bisa berdoa agar bus wisata itu selamat sampai tujuan. Secara umum, lanjut dia, faktor utama terbesar penyebab kecelakaan lalu lintas adalah manusia, sarana, prasarana dan lingkungan.

“Akan tetapi yang sering dibenahi bukan manusianya, baru sebatas aspek sarana, prasarana dan regulasi. Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) adalah salah satu pembenahan yang terkait dengan faktor manusia. Jika SMK berjalan dengan baik dan konsisten di semua perusahaan angkutan umum, sudah barang tentu akan turut mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas,” imbuhnya lagi.

Dalam penyelenggaraan transportasi, keselamatan mutlak harus dipenuhi tanpa ada kompromi. Kewenangan penyelenggaraan angkutan pariwisata berada di Ditjenhubdat. Sekarang di daerah sudah ada 25 Badan Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di 34 provinsi, sehingga dapat membantu membina dan mengawasi operasional bus pariwisata.

“Jangan sampai mengabaikan atau menghindari aspek keselamatan. Keselamatan adalah investasi, sehingga memerlukan anggaran yang tidak sedikit,” kata dia.

Sejauh ini, lanjut dia, masih ditemukan sejumlah pengusaha bus pariwisata tidak memperhatikan jam kerja pengemudi, menyebabkan keselamatan diabaikan. Waktu kerja mengemudi sudah diatur dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Setiap perusahaan angkutan umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama delapan jam sehari. Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4 jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. Dalam hal tertentu pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12  jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 jam,” terangnya.

“Jika pengemudi kurang istirahat yang cukup, bisa menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Ini akan membahayakan pengguna jalan dan penumpang di dalam bus pariwisata tersebut,” katanya.

BACA JUGA: Kecelakaan Bus Pariwisata di Sumedang, 22 Orang Tewas

Menurut dia, seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan dapat membuat Peraturan Menteri yang mengatur tentang waktu kerja, waktu istirahat dan waktu libur pengemudi. “Juga mengatur standar gaji atau honor untuk pengemudi angkutan pariwisata. Ditambah lagi tempat istirahat di lokasi wisata dan menginap pengemudi yang katanya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,” bebernya.

“Perlu dipertegas lagi, setiap lokasi wisata dan penginapan, apakah sudah benar-benar menyediakan tempat istirahat yang layak bagi pengemudi bus pariwisata?” imbuhnya. (*)

editor : tri wuryono