in

Ingat, 26 Tahun Pembunuhan Wartawan Udin belum Terungkap

Pameran Seni Rupa: Bergerak dalam Senyap Melawan RKUHP

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Yogyakarta Youth Contemporary Art menggelar pameran seni rupa bertajuk Bergerak dalam Senyap untuk melawan RKUHP yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di sejumlah tempat di Yogyakarta pada 16-30 Agustus 2022. (Foto AJI Yogyakarta)

YOGYAKARTA (jatengtoday.com) – Hingga 2022 ini, 26 tahun sudah, pelaku pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin belum terungkap.

Udin dibunuh setelah menulis kasus korupsi mega proyek Parangtritis dan suap suksesi Bupati Bantul Sri Roso senilai Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto.

Situasi saat itu menggambarkan kekuasaan rezim yang otoriter. Kebebasan pers dibungkam. Jurnalis tidak bisa bebas menulis berita. Serangan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi pada era kekuasaan Orde Baru.

Pasca-reformasi pun, ancaman terhadap kebebasan pers masih saja terjadi. Rentetan kasus yang menimpa sejumlah jurnalis menunjukkan kebebasan pers masih dikebiri. Terlebih munculnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Yogyakarta Youth Contemporary Art menggelar pameran seni rupa bertajuk Bergerak dalam Senyap untuk melawan RKUHP yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi pada 16-30 Agustus 2022.

“Sejumlah karya seni rupa dipamerkan di lima kafe, yakni Cupable Café, Mol Café, Kafe Susu Tuli atau Kasuli, Silamo Hub, dan Mergi Tresno Kafe,” Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani.

Di Silamo Hub misalnya, terdapat sejumlah karya yang menggambarkan lini masa Udin Award sejak 1997 hingga 2022. Udin Award merupakan penghargaan yang diberikan kepada jurnalis maupun kelompok jurnalis profesional yang punya dedikasi terhadap dunia jurnalistik.

Mereka juga menjadi korban kekerasan fisik dan psikis karena menjalankan tugas jurnalistik.

“AJI memberikan penghargaan ini untuk mendorong kebebasan pers dan berekspresi,” terangnya.

Karya lain di antaranya berjudul Bantal Jokowi yang diperoleh dari arsip Majalah Tempo pada 2020 dan majalah D&R 1998 berjudul Bantal Soeharto. Tahun 2020 Majalah Tempo mendapat Udin Award karena mengalami doxing, peretasan, kekerasan, dan kriminalisasi.

“Saat itu, Tempo membuat cover Presiden Joko Widodo berhidung panjang seperti Pinokio dan membuat laporan investigasi berjudul Swasembada Gula: Cara Amran dan Isam,” katanya.

Di dinding kaca kafe itu juga penuh tulisan tentang penerima Udin Award. Di tembok, kurator pameran, Anang Saptoto menggambar jurnalis Harian Riau Pos, Didik Herwanto yang dicekik personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara saat meliput jatuhnya pesawat tempur milik TNI AU pada 2012.

BACA JUGA: Jurnalis: Kami Datang untuk Meliput, bukan Berkelahi Layaknya Atlet MMA

Adapun, karya berjudul Bantal Soeharto menggambarkan cover Presiden Soeharto yang digambar dengan desain kartu Raja atau King. “Tahun 1998, pemerintah nyaris menutup Majalah D&R karena sampul itu,” katanya.

Di empat kafe lainnya, seniman membuat karya-karya yang menyuarakan kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Ada 20 seniman yang mengirim karya seni yang dikurasi Anang,” kata Shinta.

Menurutnya, menengok pasal-pasal dalam RKUHP yang mengatur tentang ujaran kebencian, penghinaan, penyebaran berita palsu, larangan menyebarkan ide komunisme/marxisme hingga melanggar kesusilan publik, sangat mengkhawatirkan. “Pasal-pasal ini membahayakan kebebasan pers dan demokrasi.  Ketentuan pidana RKUHP bisa digunakan untuk menekan dan mengancam kebebasan pers,” tegasnya.

Aparat penegak hukum bisa memenjarakan jurnalis. Contohnnya, lanjut dia, Pasal 188 KUHP berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

“Jurnalis yang menulis tentang korban yang mendapat stigma atau tuduhan komunis bisa terjerat pasal itu,” ujar dia.

Pasal 218 menjelaskan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan.

“Pasal itu berpotensi membungkam kritik terhadap presiden sebagai pejabat publik,” katanya.

Pasal 351 berbunyi setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan.

“Jurnalis yang kritis terhadap kekuasan dan pejabat publik terancam hukuman pidana,” katanya.

Selain jurnalis, RKUHP juga mengancam masyarakat sipil, satu di antaranya kalangan seniman. Karya seniman yang menyentil kekuasaan misalnya berpotensi dipersoalkan.

“Seniman pencipta karya yang mengkritik presiden, pejabat, dan lembaga negara bisa dipenjara,” katanya.

Lebih lanjut, kata Shinta, pameran seni rupa ini sebagai bentuk protes terhadap RKUHP tersebut. Selain pameran, peringatan 26 tahun kasus pembunuhan jurnalis Udin ini juga diisi dengan diskusi publik tentang RKUHP yang memberangus kebebasan pers pada 19 Agustus di Kafe Silamo, pukul 19.00 WIB.

“Diskusi akan menghadirkan dua pembicara yakni anggota Dewan Pers Komisi Hukum dan Perundang-undangan, Arif Zulkifli dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman,” katanya.

Selain itu juga ada aksi menutup mulut sebagai bentuk perlawanan terhadap impunitas penuntasan kasus Udin oleh Koalisi Masyarakat untuk Udin atau K@MU di depan Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. (*)