oleh: Dr Widhi Handoko SH SpN
(Penggiat Hukum Progresif dan Pengamat Poleksosbud)
Kebijakan atau regulasi lahir dari peraturan perundang-undangan atau peraturan terkait. Pemilu legislatif, DPD, dan presiden-wakil presiden akan serentak digelar 17 April 2019.
Pada pelaksanaan pemilu pilpres dan pileg th 2019 salah satu pengaturannya diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum (selanjutnya disebut PKPU).
PKPU ini berisi aturan-aturan yang mengatur kampanye pada Pemilu 2019. Mulai dari tata cara kampanye, aturan pemasangan alat peraga kampanye, termasuk dalam pengaturan PKPU tersebut diatur mengenai hal-hal yang diperbolehkan dan menjadi suatu larangan untuk dilakukan saat masa kampanye.
Salah satu hal yang ditegaskan dalam aturan tersebut adalah pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang melakukan kampanye dengan mempersoalkan Pancasila, UUD 1945, dan bentuk NKRI, dan melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI.
Kemudian penegasan bahwa pelaksana kampanye juga dilarang melibatkan ASN, Kepala Desa, Perangkat Desa, sampai BUMN untuk melakukan kegiatan kampanye. Isi kampanye dilarangan menghina seseorang dengan isu-isu SARA, menghasut dan mengadu domba, melakukan kekerasan dan menganggu ketertiban umum, memberikan uang kepada peserta kampanye, dan selebihnya.
KPU juga mengatur desain dan materinya (alat peraga kampanye/ APK). Selebaran brosur, pamflet, stiker, poster diatur secara tegas dalam aturan tersebut. Parpol pendukung capres dan caleg (pelaksana, peserta, dan tim kampanye) dilarang memasang APK, di tempat ibadah termasuk halaman, Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah). Hal tersebut tegas diatur dalam pasal 31-34 PKPU.
Bahkan secara teknis ditentukan dalam aturan yaitu pemasangan ukuran APK, sebagai contoh berupa spanduk paling besar ukuran 1,5 (satu koma lima) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan. Sekaligus diatur juga mengenai
pemasangan APK di tempat yang merupakan milik perseorangan atau badan swasta diperbolehkan sepanjang seizin secara tertulis dari pemilik lokasi. Sehingga tempat Posko Pemenangan atau Posko Partai sepanjang terdapat izin pemilik maka hal tersebut diperbolehkan atau tidak ada larangan.
Tahun politik harus dimeriahkan konsep dan adu gagasan membangun Indonesia yang lebih baik. Pemasangan APK harus sesuai dengan zona dan aturan yang telah ditetapkan di PKPU. “Penentuan zona ini agar ke depannya pemasangan APK tidak menimbulkan masalah dan tidak menggangu proses pelaksanaan pesta demokrasi, pilpres dan pileg.”
Peserta pemilu 2019 harus memperhatikan aturan perundang-undangan selama masa kampanye. Sebagaimana telah disosialisasikan dan ditegaskan oleh KPU RI, yang menetapkan waktu kampanye mulai dari 23 September 2018-13 April 2019. Selain sosialisasi waktu kampanye KPU juga selalu mengingatkan terkait dengan ketentuan Undang-Undang No. 7 Th 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 ayat 1 huruf h mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang “Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Hal ini selalu diingatkan dan diulang ulang dalam sosialisasi karena menyangkut fasilitas dan hal yang sangat sensitif (khususnya tempat ibadah dan pendidikan).
Bahkan ketentuan tersebut dipertegas juga dalam Bab VIII Pasal 69 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tersebut, mengenai larangan dan sanksi, demikian diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h “pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Kemudian berdasarkan Pasal 76 ayat (3) PKPU Tsb, disebutkan pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi:
a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau
b. penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
Pelanggaran pada aturan di atas yang tertuang pada Pasal 69 ayat 1 huruf a sampai j dan 2 PKPU Nomor 28 Tahun 2018 adalah pidana pemilu. Aturan mana jelas dan tegas. Harapannya tentunya pelaksana kebijakan atau regulasi PKPU nantinya jika ada penyimpangan atau pelanggaran atas hal tersebut dapat menindak secara tegas pula (sebagai landasan hukum agar tidak perlu ragu untuk melaksankannya).
Dari penjelasan yang penulis sampaikan tersebut muncul pertanyaan “siapa yang memiliki tugas dan kewenangan terhadap pengawasan dan pemberian sanksi atas pelanggaran APK jika pada implementasinya pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu melakukan pelanggaran ?
Sebelum memberikan analisa atas hal tersebut perlu ditegaskan bahwa “Pelaksanaan kebijakan adalah implementasi atau penerapan suatu kebijakan publik melalui program, aktifitas, aksi, atau tindakan dalam suatu mekanisme yang terikat pada suatu aturan” siapa pelaksana kebijakan atau regulasi PKPU atas pengawasan dan pemberian sanksi tsb, tentunya Bawaslu atau Panwas sebagai badan atau lembaga yang dibentuk untuk tugas dan kewenangan tsb.
Pada faktanya implementasi kebijakan atau regulasi PKPU dilapangan ditemui fakta adanya pelanggaran sedang kenyataan lain Bawaslu atau Panwaslu dalam praktiknya banyak didapati penyimpangan dalam pengawasan dan penindakan. Bawaslu dan Panwaslu selain bertindak kurang profesional, juga bertindak tebang pilih dan terjadi pembiaran atas pelanggaran pemilu (khususnya saya contohkan yang terjadi di Kota Semarang) bertebaran pemasangan APK telah menyimpang dan terjadi pelanggaran. Namun bawaslu dan panwas seakan membiarkan dan bahkan terdapat kasus pelaporan (sebut saja pemasangan APK dihalaman Mushola At Thauhid Jatiluhur). Masyarakat telah melaporkan bahkan telah dimuat dalam berita media masa atau elektronik, akan tetapi bawaslu dan panwas seakan tidak mau tahu dan tidak bergeming.
Keyakinan penulis hal seperti itu tidak sekedar terjadi di Kota Semarang, mungkin dibeberapa tempat penyimpangan dan pelanggaran pemilu terjadi, namun ada hal yang perlu dikoreksi atas lembaga Bawaslu dan Panwaslu.
Lembaga tersebut jelas dibiayai dan didanai serta digaji oleh negara dari uang rakyat. Pada kenyataan lembaga bawaslu dan panwaslu tidak sesuai harapan. Selain tidak profesional juga dalam banyak hal telah diskriminasi atau tebang pilih. Bisa jadi hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, aspek kewenangan, sumberdaya, komunikasi, dan disposisi. Padahal faktor-faktor tersebut sudah dibenahi berdasarkan regulasi PKPU, bahkan tuntutan agar Bawaslu dapat memberikan sanksi juga sudah diberikan kewenangannya. Lalu apa yang menyebabkan lembaga tersebut “mlempem” alias tumpul dan tidak bertaji ?
Pandangan penulis bahwa “Mlempemnya bawaslu” terukur dari dimensi-dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan atau regulasi pengawasan dan penindakan atas pelanggaran pemilu, di antaranya, bawaslu tidak bertindak konsisten (inkonsistensi), tidak transparansi, tidak akuntabilitas, belum bertindak secara adil (diskriminasi), tidak efektif (terlalu birokratif dan bulet), serta tidak efisien (hanya menghambur hamburkan uang negara, untuk keperluan rapat ini dan itu dengan alasan menindak lanjuti laporan dan pada faktanya tidak ada penindakan tegas atas pelanggaran pemilu.
Sementara itu evaluasi pelaksanaan kebijakan atau regulasi PKPU tersebut perlu dilakukan secara komprehensif, yang meliputi beberapa hal diantaranya perlu evaluasi ex-ante, ongoing, dan ex-post atas pelaksanaan kebijakan dan regulasi PKPU tersebut.
Dalam melakukan inovasi dan terobosan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan semestinya bawaslu dan panwaslu, bergerak cepat dan tegas atas laporan pelanggaran yaitu dapat dilakukan diskresi pelaksanaan kebijakan atau regulasi PKPU (tinggalkan alasan-alasan penindakan persuasif dan prosedural), semestinya bawaslu paham tentang penegakan atauran dan jangan karena tidak profesional atau tebang pilih diskriminasi, lalu menggunakan alasan persuasif atau prosedural.
Penindakan itu harus tegas dan cepat sepanjang tidak bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. Semua itu harus dipahami untuk menjaga kondosifitas dan keharmonisan masyarakat. (*)