in

e-Learning Sudah Ketinggalan, Waktunya Homeschooling dan Mobile Learning

Bukan hanya untuk anak-anak. Orang tua, kebanyakan belum siap.

homeschooling mobile learning
(Credit: Annie Spratt, Unsplash)

Saya tidak suka sekolah. Bukan tidak suka pendidikan dan pembelajaran konvensional, di dalam kelas.

Saya tidak sekolah karena sekolah penuh politik, lebih banyak mewariskan ide-ide lama, dan kurang menghargai kebebasan. Sekolah lebih mengecewakan daripada pendidikan di rumah.
Saya tinggal di rumah di mana ibu dan bapak saya sudah berbeda style dalam mengajar. Ibu saya lebih suka mengajarkan bagaimana cara mengetahui (how to know), sedangkan bapak saya lebih banyak mengajarkan bagaimana cara memahami (how to understand).

Ibu saya tahu sejarah Indonesia, bisa menceritakan riwayat suatu lagu, bahkan menjelaskan apapun yang saya tanyakan sekalipun ia sedang mengantuk. Ibu saya sangat detail. Menjawab benar, belum dianggap benar kalau saya tidak bisa menjelaskan dengan detail. Baginya, belajar itu persooalan fokus, prioritas, metode, dan bagaimana pintar menerapkan.

Bapak saya lebih suka menceritakan seni, bagaimana bersikap menghadapi orang lain, dan memberikan contoh dengan tindakan. Dia bisa membuat saya suka wayang, membuat saya ingin membaca (agar bisa membaca komik sendiri), namun sampai saya dewasa bapak saya tidak terlalu pintar dunia wayang, tidak ingat detail komik yang pernah saya baca. Namun dia bisa membuat saya ingin, termasuk bersikap rendah hati di hadapan orang lain. Belajar, menurutnya, persoalan sikap. Itu yang membuat seseorang akan berhasil atau tidak.

Kesamaan keduanya, saya sering dibiasakan bergaul dengan siapapun, termasuk kewajiban tinggal beberapa hari di rumah saudaranya ketika liburan sekolah. Saya baru menyadari kemudian, antara “mengetahui” dan “memahami”, tidak bisa dipisahkan dalam suatu pendidikan. Pembauran dengan orang lain itu sangat penting dalam belajar.

Jadi, prakteknya begini. Ketika liburan, saya ditempatkan di rumah tante saya. Banyak kejutan di situ. Menu makanan yang berbeda, disiplin berbeda, televisi berbeda. Saya tinggal selama 2 minggu dan menemukan budaya yang berbeda. Ketika liburan puasa (selama 40 hari), saya di rumah Kakek, juga mendapatkan kejutan. Komplain. Konflik. Sampai akhirnya menemukan penyesuaian.

Banyak anak-anak di kota yang tinggal di rumah yang sangat nyaman. Kamar mandi, kamar tidur, menu makanan, dan zona yang sangat nyaman bersama kedua orang tua. Apa yang terjadi ketika mereka keluar? Mereka membawa perbekalan untuk melindungi zona-nyaman mereka. Mereka naik mobil dengan membawa boneka kesayangan, memilih menu makan kesukaan, dan masih membawa “rumah” mereka ke mana-mana. Ketika ada intervensi hal-hal baru, mereka akan reaksioner, “Apakah ini sesuai keluarga kita? Apakah ini boleh?”.

Sebelum saya lahir, bapak saya mengeluarkan larangan untuk ibu saya untuk tidak membaca buku atau novel, karena berpotensi menunda pekerjaan rumah. Ibu saya bisa menyembunyikan rahasia ini. Setelah beberapa puluh tahun kemudian, saya mendapatkan informasi ini dari kawan-kawan ibu saya. Terkait disiplin, jangan tanya. Ketika terjadi rebutan majalah, ibu saya memilih membakarnya, agar anak-anaknya tidak bising. Bapak saya, suka mengajak saya jalan-jalan, sekalipun ia tidak bisa menjawab pertanyaan saya tentang pengetahuan, namun saya mendapatkan pelajaran berharga, di mana saya bisa menghadapi kondisi lingkungan seberat apapun.

Kebiasaan membaca, masih menjadi tempat perlindungan paling menyenangkan.
Mengambil keputusan dan survival adalah pelajaran yang sangat berharga dalam belajar. Ini bisa dipercepat dengan pembauran dengan orang lain.

Apa yang membuat saya dan kakak-perempuan saya tidak pernah kehilangan hobi membaca? Karena dalam belajar kami boleh salah dan boleh memilih.

Yang penting, nilai sekolah tidak ada masalah. Tidak pernah sekalipun ada “iklan” di rumah kami, yang sekarang saya tempati, ajakan untuk “membaca”. Belakangan, saya baru menyadari, kalau bangunan literer bukanlah soal seberapa banyak kamu membaca buku.

Berbekal dari cara klasik yang diajarkan kedua orang tua saya, akhirnya saya tahu, mengapa “belajar dari rumah” yang diterapkan selama pandemi COVID-19, sering mengalami kegagalan.

Homeschooling

Homeschooling bukanlah “sekolah di rumah”, bukan “belajarnya pindah di rumah”. Kalau materi dan metode belajarnya tetap sama dengan di sekolah, namanya bukan pendidikan alternatif.

Kata “home” di “homeschooling” berarti di luar sekolah, dengan metode yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Di luar sekolah, siswa bisa piknik, praktek, dan melihat realitas. Kalau siswa dikurung di rumah, dengan banyak PR, dan nggak boleh keluar rumah, itu lebih mengerikan daripada sekolah. Dan itu bukan homeschooling.

Parah itu kalau pendidikan percaya adanya “metode terbaik”, kemudian diterapkan secara merata. Sekolah meng-copy metode terbaik. Itu artinya pengulangan, “mencetak produk” yang sama karena metodenya sama. Akhirnya sekolah menerapkan peraturan merata, menyortir siswa dengan sistem ujian dan soal sama. memilih yang berhasil dan yang gagal. Sekolah adalah pabrik revolusi industri dengan persturan moral abad pertengahan. Apapun “metode terbaik”, tidak akan berhasil mengatasi keunikan manusia.

Kata Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan itu “menciptakan manusia merdeka”.

Merdeka dari penjajahan (proses menjajah), merdeka menjadi manusia yang berkodrat unik, merdeka dengan berhasil mengatasi masalahnya sendiri. Ki Hajar Dewantara tidak melakukan “deschooling” (bebas dari sekolah) seperti Ivan Illich. Ki Hajar Dewantara tahu, Indonesia kaya, unggul, dan bisa merdeka dengan pendidikan di sekolah.

Kartini mendirikan sekolah tidak untuk menciptakan manusia yang Jawa saja atau E ropa saja, melainkan manusia seutuhnya. Kamu pernah baca buku ia bilang itu? Kartini memperkenalkan pentingnya produksi dan lokalitas. menulis, mengaji, membaca, menu makanan, batik, dan kriya, adalah senjata yang lebih menakutkan bagi Eropa daripada senjata.

Kartini merancang sekolah dari rumah, dengan suami dan saudarinya, setelah melihat keadaan. bukan copy-paste metode sekolah kreatif dari luar. pendidikan baru bisa melawan penindasan, jika siswa bermental produksi dan bernalar dagang. bukan menghafal, pameran, dan lomba.

Homeschooling Bukan (hanya) untuk Anak

Sama halnya, “bekerja dari rumah”. Yang harus siap bukan orangnya, tetapi siapa yang ada di sekitarnya.

Anak sekarang, yang kenal internet lebih lama daripada generasi sebelum tahun 2000, sudah terbiasa belajar di rumah. Tahapan mereka bukan lagi e-learning, tetapi sudah mobile learning.

Orang tua, lebih banyak gaptek daripada anak. Orang tua, lebih sering tidak siap ketika menghadapi anak-anak sekarang belajar.

Saya sering menghadapi anak pengidap ADHD. Penyakit gangguan-perhatian. Mereka sulit fokus bagi orang lain, namun sebenarnya mereka fokus. Saya sering berbeda pendapat dengan guru, dalam menilai sikap pembelajar, ketika pembelajaran sedang berlangsung. Keluhan para guru, “Anak sekarang sering tidak memperhatikan ketika diberi pelajaran. Mereka lebih suka mengamati layar Android.”.

Sayang sekali, menurut saya, banyak orang kreatif memiliki ADHD bawaan. Saya sering berkumpul dalam satu ruangan, bersama orang-orang kreatif yang dianggap mengabaikan sekelilingnya. Amati seorang penari ketika mendengarkan orang lain berbicara. Mereka mencari “musik” di sekitarnya, adakah suara yang bisa membuatnya bergerak. Amati seorang olahragawan, mereka cenderung aktif bergerak.

Atau lihatlah fotografer. Mereka melihat sekeliling, melakukan location scouting, melihat sudut-pandang dan mencari view bagus. Amati seorang penulis, pemikir, seniman, mereka adalah orang-orang yang pembosan, mencari kebaruan, dan membaca apa yang ada di balik sesuatu. Perhatian hanya terjadi, ketika orang-orang yang saya sebutkan ini tertarik.

Orang tua dan sekolah, sering memilih jalan-aman, dengan cara menerapkan peraturan. Dan bentuk yang paling mudah (serta disepakati sebagai jalan-tengah) adalah dengan penugasan (assignment). “Kerjakan ini. Dilarang begini. Jadilah anak yang baik. Kerjakan tugas berikutnya. Jadilah dirimu sendiri, tetapi jangan diri yang itu. Bersikaplah patuh dan normal.”.

Sejak SD sampai perguruan tinggi, saya lebih sering melihat mereka tertekan dalam menyelesaikan tugas. Dalam perbincangan di warung kopi, orang dengan bangga menceritakan betapa nakalnya mereka, dan kawan-kawan sekelas mereka, namun mereka tidak pernah mengutip rumus matematika atau pelajaran agama, yang mereka pelajari di sekolah. Dalam lomba teater, saya pernah membaca catatan salah seorang juri, yang mempertanyakan, bagaimana bisa anak-anak SMA ini menampilkan pementasan di atas panggung, namun tidak satupun yang berbicara tentang pelajaran sekolah mereka.

Dan ketika “sekolah dari rumah” diterapkan, secara terpaksa (karena keadaan), yang lebih sering terjadi adalah.. ketidaksiapan orang rumah dalam menemani anak belajar.

Sebelum COVID-19 terjadi, dengan kebutuhan bandwith internet seperti sekarang, saya sering melihat betapa sukanya orang tua melihat anaknya punya akses WiFi di rumah. Orang tua hanya membatasi jam, “Kamu boleh internetan jam sekian sampai sekian”, tanpa banyak tahu mereka mengakses apa, tidak mendiskusikan roadmap yang bisa mempercepat anaknya dalam mempelajari sesuatu.

Orang tua tidak mau beradaptasi demi anaknya, padahal anak membutuhkan kedekatan dan kepedulian orang tuanya.

Mereka tenang sekali menyatakan bahwa dirinya gaptek, padahal anaknya tidak mendiskreditkan kegaptekan orang tua mereka. Padahal, kalau waktu 3 jam bebas berinternet bisa dimanfaatkan untuk belajar, mereka bisa menjadi ahli dalam bidang tertentu.

Jangan terlalu mendewakan e-learning kalau konsep e-learning masih dipahami sebagai “pemindahan ruang kelas” (dari sekolah ke rumah) dan pemakaian piranti dan perangkat digital. Itu artinya, belum homeschooling. Masih ada penugasan setiap hari, bahkan lebih banyak, dan sangat merepotkan orang tua siswa. Masih ada kewajiban memakai seragam serta bukti kehadiran (dibuktikan dengan foto dan video).

Anak-anak itu lebih siap. Orang tua mereka, belum sepenuhnya siap. [dm]