in

7 Hiburan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang di Tahun 1990-an

Di dekade 90-an, “nakal” menjadi jalan mengatasi keterbatasan, menuju pintar dan bahagia.

(Credit: AzuAya25)

Generasi mahasiswa UIN yang masih aktif kuliah sekarang, mungkin kesulitan membayangkan, seperti apa hiburan mahasiswa UIN di pertengahan dekade 90-an, karena daftar “hiburan” ini sebagian sudah hilang, berganti kemasan, atau mungkin ada yang masih.

Zaman sudah berubah, namun orang-orang yang pernah kuliah di UIN Walisongo Semarang (dulu bernama IAIN Walisongo Semarang) di dekade 90-an, bisa ikut bernostalgia. Siapa tahu, kalau anak atau keponakan mereka sekarang berada di almamater sama, bisa menjadi bahan perbincangan asyik. Saya ingin memperlihatkan zaman yang sudah berubah jauh, di mana semua orang tetap “survive” dan “adaptasi”.

Kata “asyik”, mungkin mewakili suasana kuliah di dekade 90-an. Keadaan yang sebagian besar tinggal kenangan.

Apa saja 7 hiburan mahasiswa UIN Semarang di dekade 90-an?

1
Mendengarkan Radio dan Kaset

Di zaman itu, radio memutar lagu. Segmen acara radio, kebanyakan berisi lagu, berita, dialog, dan diselingi salam-salaman. Misalnya, Joni dapat salam dari Shinta. Joni request lagu, untuk Shinta, kemudian lagu itu didengarkan bersama. Rasanya, keadaan menjadi uwaow. Melayang seketika. Sekalipun ucapannya hanya semisal, “Besok ketemu di kampus, ya.. Jangan lupa tidur siang.”. Ucapan ini tidak bisa panjang.

Kalau di zaman sekarang, mirip nge-twit kemudian mention seseorang, tetapi yang menayangkan adalah stasiun radio, dalam bentuk audio. Tentu saja penuh sensor karena yang kirim salam kadang nakal.

polytron bazzoke dekade 90-an
Polytron Bazzoke, kawan setia mahasiswa UIN dekade 90-an. Bisa dengar radio, putar kaset, dan merekam audio.

Acara Radio Semarang yang Ngehit di Dekade 90-an

Acara yang sangat disukai, “Nightmare on the Air” dari Radio Imelda FM, sampai sekarang masih, setiap Kamis jam 22.00 (pm) – 01.00 (am). Isinya, penelepon diberi kesempatan menuturkan cerita horror. Penyiar radio memberikan pancingan dan efek suara yang mencekam.

Asyiknya, dengar acara ini tidak sendirian. Kadang berlima atau bertujuh, di kamar kos, dalam keadaan pintu ditutup dan lampu dimatikan. Biar ada efek dramatis selama mendengarkan. Serunya lagi, setelah acara selesai, biasanya cerita itu akan dibahas sebelum tidur dan sesekali ada yang terbawa mimpi.

Horor memang bisa menjadi terapi mental, agar kita sadar tidak hidup sendirian di dunia ini, lebih awas ketika melintasi jalan sendirian, dan tidak sembarangan berperilaku di tempat yang angker.

Acara lain yang disukai, tentu saja “Happy Slow Rock” di Radio Gajahmada FM, setiap malam minggu. Acara siar ini sekarang setiap Minggu dini hari jam 01.00-03.00 am. Mungkin karena sekarang banyak anak muda nongkrong sampai pagi, jadinya disiarkan jam segitu.

kaset pita
Kaset pita. Ada type C-60 dan C-90, untuk durasi putar 60 dan 90 menit. (Credit: Tenor)

Beli Kaset Kalau Uang Lebih

Kalau ada duit lebih, dengarkan lagu lewat kaset.

Beli kaset berisi lagu dan group kesukaan itu sesuatu yang tersendiri. Dekade 90-an itu zaman ngehitnya Dewa 19, band Ahmad Dhani. Dewi Lestari, dulu masih di trio (group bertiga) bernama RSD (Rida, Sita, dan Dewi). Dewi Lestari pernah diundang di acara bedah novel di UIN, tahun 2001, waktu itu masih bernama IAIN Walisongo Semarang.

Sita Nursanti kita kenal sebagai pemain dan penyanyi lagu “Donna Donna” di film “Gie” yang bisa kita dengarkan di sini:

Kalau mau lihat lagu apa saja yang ngehit di tahun itu, buka saja channel YouTube.

Ada banyak playlist musik tahun 1990-an dengan genre rock, dangdut, dll. Musik liakal masih eksis dengan kekuatan live show, tour keliling kota, serta festival yang kelak membawa para pemenang ke major label.

“Merekam” Berarti Merekam Audio

Di zaman itu, kaset adalah aset yang sangat berharga. “Merekam” identik dengan “merekam audio dalam bentuk pita kaset”. Kawan-kawan yang pernah aktif di pers mahasiswa, sangat suka merekam dan transkrip wawancara dengan narasumber atau acara seminar. Bisa merekam, transkrip, dan menghapus rekaman lama, itu suatu kesenangan tersendiri.

2
Menonton Bioskop

Pernah menonton film di gedung bioskop? Menonton di gedung bioskop, zaman sekarang, identik dengan gedung bioskop bagus. Tahun 1990-an adalah tahun berakhirnya masa keemasan gedung bioskop.

Mengapa Bisnis Bioskop Down?

Faktor apa saja yang membuat bisnis gedung bioskop down? Pertama, sudah datang era persewaan CD/DVD yang lebih portable dan murah. Bisa menonton sambil rebahan (untuk meraih gelar juara rebahan tingkat kecamatan) dan lebih bebas ngakak bersama kawan-kawan. Kedua, biaya perawatan gedung itu mahal. Mikir bayar listrik untuk lampu-lampu yang mahal, kebersihan, dan membayar ticket girl yang sobek karcis dan mengantar penonton masuk. Selain itu, biaya sewa-putar film itu mahal karena film import. Ketika film sudah berformat digital, pembajakan mulai ramai.

Gedung Bioskop Favorit Mahasiswa UIN Dekade 90-an

Dulu saya dan kawan-kawan paling suka menonton di Atrium21. Lokasinya, sekarang menjadi Superindo Swalayan, sebelah Timur toko “Balad” dan “Balad Elektrik” (sekarang, 2022). Di seberang Atrium21 ada gedung bioskop Anjasmoro21. Alamat Jalan Siliwangi (karena ada dealer Siliwangi) lebih dikenal daripada Jl. Sudirman (kalau kita lihat di Google Maps). Ada lagi bioskop Studio21, lokasinya di PRPP Semarang.

Atrium21 paling disukai karena dekat dengan UIN Semarang (Ngaliyan). Selain itu, tiket masuk murah. Studio21 disukai karena paling tenang, sepi, dan privasi lebih terjaga. Kepala kita tidak kelihatan dari belakang, karena sandaran kursinya tinggi.

Zaman itu, tidak ada pelapak masuk gedung bioskop. Kalau mau beli Coca-cola atau popcorn ya ketika beli tiket.

“Mushola” di Bawah Tangga dan Nonton Sendirian di Atrium21

Saya dan kawan-kawan pernah mengalami masa beberapa semester hampir “setiap hari” menonton film di Atrium21, karena sangat suka nonton film. Banyak judul yang saya tonton lebih dari sekali. Atrium21 punya keunikan: sajadah di bawah tangga. Biasanya, di situ ticket girl sholat dan penonton yang ingin sholat bisa pakai tempat di bawah tangga itu. Biarpun hanya sajadah dan tempat 2×2 meter, kalau fungsinya hanya untuk sholat, itu sudah bisa kami sebut “musholla” (tempat khusus untuk sholat).

Kenangan paling menyenangkan di Atrium21 adalah keramahan pegawainya. Mereka tidak terlalu banyak aturan, mau ngobrol dengan penonton (sebelum film mulai). Saya pernah menjadi penonton satu-satunya yang duduk menyaksikan suatu pemutaran film, sendirian. Itu rekor yang hanya bisa dilakukan sedikit orang.

Tarif 5K per Film dan 3.5K di Hari Senin

Berapa tarif karcis waktu itu? Rp5.000,00 (limaribu rupiah). Itu sama dengan makan siang 2 kali, pakai lauk telur ceplok dan esteh. Kalau hari Senin, di Atrium 21 (yang sekarang menjadi dealer mobil di Puspanjolo) tiketnya cuma Rp3.500,00 (tigaribulimaratus rupiah). Bisa ajak kawan atau sir-siran dan ke bioskop naik bis Damri Ngaliyan Pucang Gading (yang ini, jauh dekat Rp350,00 alias tigaratuslimapuluh rupiah). Rute Ngaliyan – Pucang Gading lumayan jauh, duduknya nyaman, dan bisa lihat suasana sepanjang jalan, jadinya banyak mahasiswa UIN yang sengaja naik Damri Ngaliyan – Pucang Gading pulang-pergi.

Datang ke bioskop lebih awal biar bisa lama ngobrol, karena zaman itu orang belum pegang hape dan Android.

Poster alternatif film “Titanic” (1997). (Credit: Alaexei Kot)

Rose Dawson di film “Titanic” Versi 90-an Bisa Terlihat Jahat, karena..

Film yang ngehit di zaman itu, jelas Titanic. Film ini mengisahkan fiksi tenggelamnya kapal Titanic, yang kelak mengangkat nama Leonardo de Caprio dan Kate Winslet.

Saya nonton film ini di bioskop sampai 7 kali, karena mau berbagi kesenangan dengan kawan lain, saya ajak mereka menonton.

Awalnya, agak sedih campur terharu melihat kisah cinta Jack dan Rose di film “Titanic” (1997). Lama-lama, saya baru sadar kalau Rose itu jahat sekali..

Bayangkan, dia ke Amerika bersama ibu dan tunangan Rose, awalnya sudah mau, tetapi begitu kenal Jack, dia malah cinta Jack. Mau dilukis tanpa baju. Setelah dia terima berlian besar dari tunangan Rose, dia malah berencana melarikan diri. Ketika Titanic menabrak gunung es, Rose diselamatkan Jack (akhirnya Jack mati tenggelam), Rose berjanji cinta-mati kepada Jack. Kenyataan: Rose kemudian menikah 4 kali. Di depan Tim Pemburu Harta Titanic, dengan egois ia ceritakan kisah cinta di balik tenggelamnya Titanic, pura-pura tidak tahu di mana berlian yang ia bawa. Endingnya, berlian itu malah dilemparkan ke laut. Jahat sekali, kan?

Menyesal rasanya saya terharu pas nonton film itu. Hahaha.. Just kidding.

Begitulah asyiknya tahun 90-an. Dekade ketika orang masih cenderung “bersih” dalam menilai tontonan. Tidak terlalu dijejali iklan dan BTS, apalagi fandom website film di mana-mana seperti sekarang. Dan ketika di televisi film itu ditayangkan, saya masih menonton lagi.

Nonton Bioskop Zaman Sekarang?

Nonton bioskop zaman sekarang, lebih mirip menghadiri resepsi. Terakhir, saya menonton “Mission Impossible – Rough Nation” hanya untuk lihat aksi Rebecca Ferguson. Nonton bioskop anak milenial, sudah mirip resepsi. Mereka berpakaian bagus, pakai baju mahal, kaos branded, dan bersama pacar. Harga tiketnya juga terbilang mahal untuk ukuran mahasiswa.

3
Bergantian Main Game di Komputer

Mahasiswa UIN Semarang sekarang sudah jauh berbeda. Hampir semua orang punya sepeda motor, laptop, ATM, smartphone. Mereka bisa nge-date (janjian ketemuan) kapan saja, bisa nongkrong di kafe dari jam 21.30 sampai pagi untuk rapat, diskusi, bermain, dan mengerjakan makalah. Mereka bisa nge-game dari Android, jauh lebih memuaskan pengalaman sebagai pemakai.

Cukup bayangkan kebalikannya, kalau mau tahu seperti apa kami bermain game di dekade 90-an. Main game bergantian, dari 1 PC (personal computer). “Bergantian”  berarti yang kalah (game over) mundur, diganti kawan yang antri mau bermain. Harus bergantian karena memakai komputer kampus dan jumlah komputer terbatas.

Spek Komputer Dekade 90-an yang Tidak Bisa Kamu Bayangkan

Sebelum menceritakan tentang game dekade 90-an, saya mau cerita tentang komputer di masa itu.

Berapa kecepatan komputer atau laptop yang kamu pakai? RAM berapa? Pasti sudah pakai satuan gigabyte, kan?

Di dekade 90-an, saya sudah terbiasa layout majalah dan tabloid untuk pracetak. Mulai dari Windows 3.11, Windows 95, sampai Windows XP. Ini Windows tahun 90-an. Memakai PC (personal computer) dengan RAM 8MB. Memakai satuan Megabyte, bukan Gigabyte.

Dengan kekuatan yang nggak super sama sekali, PC dengan RAM 8MB sudah bisa untuk pekerjaan pracetak yang menghasilkan majalah dengan suara kritis dan sering kena sensor dari kampus. Bukan rahasia lagi, pers mahasiswa punya andil dalam suara kritis yang menentang pemerintahan Orde Baru waktu itu.

Saya menyaksikan evolusi aplikasi yang populer dalam desain cetak dan grafis. Mulai dari Aldus Pagemaker, berganti menjadi Adobe Pagemaker (dibeli perusahaan sama yang membuat Photoshop) sampai akhirnya bernama baru sampai sekarang, menjadi Adobe In Design. Seperti halnya dalam desain, saya mengikuti sejak Photoshop versi 4.0 sampai Photoshop CC 2021 (sekarang saya pakai).

Ini penampakan perubahan yang bisa kita tangkap:

Jika sekarang kamu pakai Android atau laptop dengan RAM 8GB, kamu menjadi dewa yang punya kekuatan 1000 kali lipat, melampaui komputer di zaman itu. Punya HDD (hardisk drive) 32GB itu sudah mantap sekali.

Game Retro DOS yang Kami Suka

Game apa saja yang kami mainkan waktu itu?

Game yang seru kami mainkan waktu itu adalah Supaplex dan Pre Historik 2. Kamu bisa ikut main Supaplex dari browser.

Game ini punya prinsip mudah: mencari infotron (segitiga berpendar yang tersusun dari 3 lingkaran), menghindari batu jatuh (nanti ada level yang antigravitasi), dan gunting yang mengejar. Isinya akal-akalan dan merancang rute pelarian menuju pintu Exit (huruf “E”) dan mengumpulkan semua infotron.

Ada game favorit lagi, namanya “Pre Historik 2”. Semacam style manusia purba, mirip Flintstone versi garang, melawan kera-kera purba. Game Pre Historik 2 bisa kamu mainkan di browser. Sedangkan di dekade 90-an, biasanya kamu mainkan game itu dari disket seperti ini:

Kapasitas floppy disk ini 1.44MB dan bisa dinaikkan menjadi 2.44MB pakai DriveSpace. Untuk operasikan permainan ini, memakai DOS (disk operating system). Memang ada hardisk, tetapi biasanya “dilarang” menempatkan file berisi permainan di komputer publik, akhirnya, pakai floppy disk tadi.

Tolong, jangan bandingkan dengan Mobile Legend dan PubG.

4
Main ke Kosan Cewek Tak-Dikenal

Bagian ini, kamu akan tahu seperti apa rasanya tanpa media sosial.

Motivasi main ke kosan cewek, belum tentu ingin “pendekatan”. Bisa jadi karena diajak makan bersama, rujakan, atau diminta benerin sanyo.

Pada awalnya, kamu mengantar kawanmu (cewek) ke kosan. Kadang duduk sebentar, kemudian bicara ini-itu. Kalau ada maksud, tentu bicaranya agak panjang. Sampai di situ, pelan-pelan kamu kenal siapa kawannya. Artinya, “tidak ada rahasia”. Orang lain tahu, kamu sedang naksir siapa, karena infonya pasti dari kawan dekatnya. Tidak seperti pendekatan dari Android atau media sosial seperti sekarang.

Lebih seru lagi, kalau main ke kosan cewek yang kamu sama sekali tidak kenal. Misalnya, kita sedang datang di acara live music, atau makan di warung. Ini harus sedikit agresif, kenalan, dan bertanya dia kos di mana. Barulah kemudian main ke kosnya. Persaingan terjadi kalau kamu datang ke sana di Sabtu malam (atau malam-Minggu). Kalau yang apel bawa motor, kita bisa segera mendeteksi, “Ada pesaing di sana, jadi mampir atau tidak?”. Kalau malas, ya terus saja, nggak usah berhenti. Kalau ada pesaing tetap mampir? Segala resiko harus berani kita tanggung.

Bagian paling asyik dari main ke kosan cewek yang belum kita kenal itu, kalau ada perasaan deg-degan, jaga image, dan bercerita tentang apa saja. Kita bisa mendeteksi karakter cewek ini dari caranya menerima tamu. Kalau dia punya banyak jajan, apalagi sampai ngasih pinjaman uang buat makan, berarti dia mahasiswi berkecukupan. Kalau dia menemui tamu masih berjilbab, berarti dia penerima tamu yang baik, cocok untuk jadi wedding organizer. Kriteria yang dicari, yang penting pantas untuk diajak ke acara resepsi pernikahan. : )

Tidak jarang, kawan-kawan saya, yang apel di kosan sama, menjadi lebih kompak. Mereka yang kelihatannya tidak pernah bersama, ternyata pacaran. Banyak yang kemudian berlanjut ke jenjang pernikahan.

5
Mimbar Bebas, Debat, dan “Pembantaian” di Forum

Salah satu kemampuan yang diasah ketika di kampus UIN Semarang adalah kemampuan berbicara dan bebas menyampaikan ekspresi secara ilmiah. Berani dan bisa orasi itu harus.

Dekade 90-an masih di bawah Orde Baru (sampai Mei 1998). Jika ada kebijakan kampus atau berita yang meresahkan mahasiswa, atau peringatan momen bersejarah, mereka bebas menggelar mimbar bebas.

Orasi dan Menggelar Mimbar Bebas

Tujuan mimbar bebas adalah “menyampaikan issue”, “membahas polemik”, dan “menyatakan sikap”.

Seperti apa bentuknya? Yang penting ada “konsep awal” dan “pengeras suara”. Biasanya, kami keluarkan overdrive dan mikrofon, tenor drum dan simbal, serta mengajak beberapa kawan untuk merapat. Akan ada seseorang yang memberikan intro, menyatakan bahwa “ini mimbar bebas”. Siapa saja berhak berbicara. Dosen kemahasiswaan, kalau dia mau memberikan hak jawab, juga ikut bicara. Mau mendukung, menyanggah, atau elaborasi, bebas. Kritik pedas, no problem. Kata-kata kasar, tidak boleh. Semua masih dalam frame menyampaikan pendapat secara “ilmiah”. Kesalahan berbicara, demam panggung, atau pidato berapi-api, baca puisi, semua bebas karena ini mimbar bebas. Kalau hari sudah mulai panas dan aktivitas lain menunggu, mimbar bebas ditutup, semua bubar. Malamnya, atau besoknya, bisa menjadi pembahasan seru.

Gaya mimbar bebas, tergantung pada fakultas masing-masing.

Mengapa saya masukkan ini sebagai “hiburan”? Karena “perubahan” yang diinginkan mahasiswa di IAIN Semarang waktu itu, bukan sesuatu yang menegangkan. Ideologi kita tetap Pancasila, tetap beragama Islam, dan selalu happy menghadapi apresiasi politik dan tekanan keamanan.

Semarang tercatat sebagai kota yang “damai” ketika Reformasi 1998 terjadi. Tidak ada kerusuhan sekalipun semua mahasiswa turun ke jalan, konvoi dari Ngaliyan sampai Simpang 5 dan Mahasiswa IAIN Semarang termasuk rajin demonstrasi.

Topik Ngehit di Medsos Sekarang Hanya Diskusi Kecil di Dekade 90-an

Sinergi antarfakultas masih sangat kuat. Misalnya, Fakultas Ushuluddin (sekarang bernama Fakultas FUHUM (Fakultas Ushuluddin dan Ilmu-ilmu Humaniora) mengadakan diskusi kecil, kemudian datanglah mahasiswa dari fakultas lain. Tema yang diangkat, yang sekarang masih ngehit, seperti topik para “quranis” (istilah sekarang, yang ngehit di Quora) tentang status al-Qur’an dan hadits, sejarah Islam, represi acara seni, dll. Masalah-masalah yang sekarang dianggap sensitif, sebenarnya bukan sensitif sama sekali, terutama mahasiswa AF (Aqidah-Filsafat), ketika mereka berbicara tentang Keadilan Tuhan, mengapa manusia harus beragama, perilaku penguasa yang tidak manusiawi, dll. Diskusi mereka ini asyik-asyik saja. Semakin belajar, orang bisa semakin toleran. Semakin mengerti filsafat dan tafsir, semakin orang tidak arogan dalam memahami “Kebenaran”.

“Pembantaian” di Forum dan Baca Buku

Tidak jarang, terjadi “pembantaian” (istilahnya begitu) ketika seorang presenter tidak menguasai materi yang ia sampaikan, atau terjadi perdebatan antarpeserta. Ini semacam “olahraga” dan tidak sampai kepada tingkatan kebencian. Tema-tema “estetika”, sastra, masih menjadi materi “wajib” waktu itu. Anak-anak teater, identik dengan anak-anak yang suka baca buku dan memakai “seni sebagai tindakan sosial”. Banyak terlihat mahasiswa menenteng buku dari perpustakaan, kemudian membicarakan isinya. Dalam taraf belajar, mendapatkan hinaan dan diuji oleh mahasiswa yang lebih pintar, itu sesuatu yang tidak menyurutkan mereka untuk membaca buku. Yang terjadi kalau tidak membaca buku, akibatnya fatal. Di kelas, akan menjadi bahan pembantaian, apalagi di hadapan dosen pintar.

Menginvasi Kelas Orang

Bicara tentang “perdebatan”, saya pernah sedang latihan mempersiapkan pertunjukan seni, kemudian melewati sebuah kelas. Mata kuliah filsafat modern. Saya melihat kawan-kawan lain kelas, sedang duduk, sebagian mengantuk, dan kurang antusias mendengarkan uraian dari dosen mereka. Saya terusik, lalu mengetuk pintu dan masuk, meminta izin kepada dosen itu, “Maaf, Pak. Setahu saya, filsafat Descartes tidak seperti itu.” Dosen itu baik hati, memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan. Kemudian saya hapus papan tulis, saya jelaskan dengan bikin skema ini itu tentang Cartesianisme, setelah selesai, beberapa mahasiswa bertanya dan saya menjawab. Kelas kembali saya serahkan kepada dosen itu, setelah sama-sama berterima kasih. Saya keluar dari kelas yang bukan kelas saya tadi.

Kejadian seperti itu, perlu keberanian dan rencana. Akhirnya sempat menjadi tren, ikut kelas orang lain, demi “mempersiapkan” pertanyaan yang susah dijawab.

Alasan Mahasiswa UIN Tidak Mau Terlibat Debat Masalah Agama

Sampai sekarang, saya sering bertanya kepada para mahasiswa aktif tentang tema-tema agama yang ngehit di YouTube. Rupanya, tipikal para mahasiswa ini masih sama. Mereka memilih diam, padahal mereka lebih tahu dan lebih bisa menjelaskan. Alasannya hanya satu, “Untuk apa berdebat di media sosial, lagi pula, tema seperti itu sudah menjadi materi tugas kuliah kami.”. Jadi, mahasiswa UIN lebih suka bicara hal lain, di luar masalah-masalah agama.

6
Menelepon

Menelepon dari wartel, dari telepon koin, telepon kartu, telepon yang digembok, semua menyenangkan di dekade 90-an.

“Wartel” singkatan dari “warung telekomunikasi”. Ketika saya search “wartel di Semarang”, di Google Maps, kebanyakan terdapat keterangan: “Temporarily closed”. Tutup sementara. Mungkin karena sudah tidak zaman lagi menelepon di wartel. Sampai tahun 2018, masih ada wartel beroperasi di Krapyak, Semarang. Masih beroperasi karena request dari orang-orang yang mau teleponan dengan saudara mereka di luar negeri (Mekkah dan Hongkong).

Wartel Kampus

Kampus UIN Semarang dulu punya “wartel kampus”, di Kampus 3 (atas), Ngaliyan.. Dekade 90-an, menelepon di wartel itu keasyikan tersendiri. Terutama untuk pasangan yang sudah janjian mau teleponan. Berbekal uang receh, melakukan panggilan lokal. Dulu ketika kuliah, nomor telepon di Semarang masih 5 digit, lalu menjadi 6 digit. Kalau ada 4 KBU (bilik), ada 1 KBU yang dipesan untuk melakukan panggilan lokal. Warnet kampus dijaga pengurus Kopma (koperasi mahasiswa), jadi sudah kita kenal. Jam 18.30-21.00 biasanya ramai sekali. Di atas itu, terjadilah teleponan berlama-lama.

Bawa Receh untuk Telepon Koin

Selain itu, di mana-mana ada telepon koin. Memasukkan 2 uang koin pecahan 100 rupiah, bisa untuk panggilan telepon. Inipun sering diakali pemakai, agar bisa melakukan panggilan interlokal (antarkota) dan internasional. Tidak terdeteksi siapa yang melakukan, karena belum marak CCTV dan tidak tahu siapa yang menelepon. Ke mana-mana bawa receh, itu biasa, agar bisa menelepon orang sewaktu-waktu. Pergi membawa catatan nama dan nomor telepon itu sudah biasa.

Ketika menceritakan telepon koin, ada anak sekarang yang bertanya, “Telepon dengan kabel, tanpa layar, bagaimana caranya main game?”. Tentu saja tidak ada game yang dimainkan di layar waktu itu. Nokia telepon seluler pertama yang punya game Snake, jauh sebelum Android datang.

Mengakali Telepon Kartu

Kemudian, marak pemasangan telepon kartu. Di depan kos saya, kebetulan ada 1 box telepon kartu.

Kita beli kartu, dengan harga mulai 10 ribu sampai 100 ribu, kemudian kartu itu kita masukkan di box telepon kartu tadi. Pulsa berkurang sesuai durasi pemakaian. Kartu yang pernah terpakai, akan berlubang. Sampai lubang di titik terakhir.

Baru saja terjadi pemasangan telepon kartu massal, sudah ada trik untuk mengakali.

Yang pertama, memakai kartu yang tidak bisa bolong. Ada jasa “underground” untuk menukar kartu yang sudah terpakai (pulsa tinggal 10, misalnya) agar tidak bolong. Bayangkan, kamu punya kartu untuk menelepon yang “unlimited”. Tidak bisa bolong. Bisa untuk panggilan interlokal dan internasional. Ini cara jahat yang membuat kami bisa bicara, belajar, dan bertemu orang-orang dari kota lain.

Ada lagi, pakai trik ini: melakukan panggilan ke nomor darurat, kemudian kabelnya dikonsletkan. Awalnya, akan ada jawaban dari nomor darurat, “Selamat malam, dengan .. ada yang bisa kami bantu?”. Kemudian langsung putar nomor yang kamu ingin panggil. Setelah layanan darurat tadi menutup telepon, nomor yang kamu panggil akan menjawab, dan kamu bisa telepon sepuasnya.

Cara yang terakhir, memakai teknik yang agak sengsara. Caranya, pakai kartu yang pulsanya tinggal sedikit, misalnya tinggal 5. Gunakan untuk menelepon. Jika pulsa sudah habis sama sekali, kartu akan keluar. Jangan tutup teleponmu. Segera masukkan kembali kartu itu. Kalau keluar lagi, masukkan lagi. Biasanya, kalau kurang lihai dan tidak terbiasa sengsara, memerlukan bantuan kawan lain.

Kamu yang bicara, dia yang memasukkan kartu yang sudah keluar.

Pastikan kawanmu ini bisa jaga rahasia, mendengarkan percakapanmu dengan orang yang di seberang sana. Harus sekompak Sponge’s Bob dan Patrick.

Bisa Pakai Pesawat Telepon yang Dikunci

Cara yang paling klasik dan “work” untuk mengakali telepon yang dikunci, sudah bukan rahasia lagi.

Angkat gagang telepon, kemudian putar nomor. “Sebentar, kan nomernya dikunci?”. Tekan bagian “dengar” yang ada di pesawat telepon (bagian atas) yang mirip pengungkit itu. Untuk memutar angka 1, tekan 1 kali. Untuk angka 2, tekan 2 kali dengan cepat. Untuk angka 3 sampai 9 juga sama, tekan sejumlah angka yang mau kamu putar.  Khusus angka 0 (nol), tekan 10 kali. Masing-masing angka, beri jeda setengah detik.

Dengan cara itu, kami bisa menelpon dari pesawat telepon yang digembok. Paling habisnya nggak sampai 500 rupiah sekali panggilan. Kami memakainya hanya pada saat darurat dan lokal. Karena kalau tagihan telepon tinggi dan pemilik kos mencetak log panggilan, akan terjadi pemanggilan pada semua orang. Interogasi terjadi. Sungguh memalukan.

Paralel Kabel Telepon Kampus

Semua cara di atas masih belum “keras”. Ada lagi cara yang lebih keras: membuat sambungan paralel telepon kampus.

Pada suatu hari, seorang kawan mengaku memiliki pesawat telepon rumah yang sudah tidak terpakai.

Bermodal kabel panjang dan peniti, jalur telepon kabel bisa kita bajak dengan menusukkan 2 peniti yang kita sambungkan ke 2 kabel telepon rumah tadi. Masukkan pesawat telepon tadi ke dalam tas. Telepon koin juga bisa di-paralel dengan cara sama. Dulu kami lakukan ini untuk request lagu di radio. Dengan ucapan yang dibuat-buat, tanpa tertawa ketika menelepon. Selain itu, untuk bicara dengan narasumber seminar. Agar bisa bicara lama.

7
Membaca Buku-buku Terlarang

Dulu ada larangan berkumpul lebih dari 5 orang untuk berdiskusi tema-tema yang mempertanyakan Orde Baru. Selalu ada intel yang datang mengawasi, dengan menyamar, atau dari jauh.

Jangankan diskusi memanggil tokoh yang eks-tapol (bekas tahanan-politik). Membaca buku tertentu saja kita dilarang.

Tidak Boleh Baca Buku Karl Mark dan Pramoedya

Membaca buku-buku yang mempertanyakan sejarah versi Orde Baru, termasuk buku-buku komunisme. Buku Das Kapital Karl Marx dan novel-novel Pramoedya Ananta Toer sudah pasti dilarang. Apalagi buku-buku dari partai komunis.

Namanya juga mahasiswa, tentu penasaran, mengapa buku-buku ini dilarang. Dari jaringan “underground” (bawah tanah), pemerintah manapun tidak bisa membungkam semangat membaca. Bahkan kami meluruskan pemahaman yang salah. Artinya, membaca suatu teks, bukan berarti kita mengikuti teks itu. “Menyelami” dan “mengikuti” teks, jelas beda arti. Ada saja kecurigaan bahwa mahasiswa terpengaruh ideologi komunisme.

Membaca Sambil Sembunyi

Akhirnya, tidak ada cara lain, selain sembunyi-membaca.

Pada malam hari, ketika mahasiswa lain sudah tertidur, dibukalah kotak rahasia berisi bacaan terlarang. Kamu harus baca dengan teliti, pahami, dan ingat gagasan di buku atau novel itu. Lanjutkan pada malam berikutnya.

Literatur belum melimpah, bebas-akses, dan sebagus sekarang.

Kadang setelah membaca buku, dengan kawan yang terpercaya (yang tidak akan melaporkan aktivitas kami), terjadi diskusi.

Misalnya, membahas Das Kapital. Kami mengulas lebih dalam, dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: Apa bentuk revolusi industri sekarang? Apa yang tidak dibahas Marx? Mengapa komunisme memiliki wajah berbeda di setiap negara?

Membaca BIsa Semakin Cinta pada Indonesia dan Pancasila

Justru kami semakin mencintai negara Indonesia dan ideologi Pancasila, karena lebih mengerti sejarah dan bagaimana bersikap menghadapi ideologi apapun.

Topik seperti itu untuk memupuk semangat mempelajari ideologi dan mengerti seperti apa aslinya. Bukan sekadar membaca komentar atau komentar dari komentar pemikiran yang kita baca. Sekalipun di perkuliahan kami ada pembahasan tentang aliran-aliran filsafat, namun itu tidak mencapai pembahasan ideologis, dan kebanyakan interpretasi atas teks asli. Ketika jaringan aktivis memiliki sistem pertukaran dan diskusi literatur, barulah akses ke “literatur pertama” terjadi lebih gencar.

Saya mendapatkan buku-buku Nietzsche (terjemahan bahasa Inggris) di tahun 1999. Sebelumnya, saya membaca buku-buku dari para filosof dan pemikir Barat, Arab baru, bukan dari perkuliahan.

Sampai sekarang, saya masih heran, bagaimana orang-orang bisa melarang buku, hanya karena khawatir terhadap dampak negatif suatu pembacaan, padahal yang melarang ini tidak memahami teks aslinya. Yang lebih parah lagi, pelarangan ini “disetujui” oleh orang-orang yang belum membaca bukunya juga. Apalagi sampai menggunakan kekerasan: menghujat, membakar buku, dll.

Sebenarnya, masih banyak keasyikan lain di Dekade 90-an.

Selain Itu..

Saya suka ketika menjadi delegasi atau mengikuti seminar ke luar kota. Misalnya,  ketika bisa mendengarkan Gus Dur bicara tentang Marxisme dan kekuatan Indonesia, ketika beliau seminar dan berlanjut dengan wawancara. Atau sampai Jakarta, kota yang sangat riuh dan berderap itu.

Semangat yang terlalu tinggi, semacam “Kaizen” (istilah ini berarti: menjadi lebih baik daripada kemarin) mendasari pergerakan kami. Jangan inferior di hadapan mahasiswa universitas lain. Jangan bersemangat unggul dan mengalahkan, apalagi menganggap yang-lain tidak lebih baik. Kalau semangat kita selalu untuk Indonesia yang lebih baik, dan adik-adik angkatan yang lebih baik, tidak akan ada pertikaian demi keunggulan.

Semakin bergerak, semakin belajar, dan bermanfaat bagi orang lain.

Saya punya setumpuk blocknote dengan kop bermacam-macam seminar, masih dengan tulisan asli ketika acara terjadi. Banyak pula yang masih kosong. Selain seminar, berpergian untuk menulis, menonton teater di TBJT Surakarta (dulu kami menyebutnya TBS Solo), juga pengalaman luar biasa yang membentuk karakter kami dalam berkesenian. Bertemu dan belajar dari Mbah Leak (Sosiawan Leak), ketemu om Murtijono, serta orang-orang yang biasanya hanya kami baca dari buku atau berita. Agak panjang kalau menceritakan ini. Menyanyi dan bermain gitar bergantian juga sangat asyik.

Satu hal yang asyik lagi, pulang ke kampung kawan kita. Kalau mau ngerti seperti apa Purwokerto, kamu bisa pulang bersama kawan yang rumahnya di Purwokerto. Kalau mau tahu budaya Cirebon, pulang bersama kawan yang rumahnya Cirebon. Beberapa hari beradaptasi dan mengenal background kawan kita. Menginap dan liburan bisa menjadi terapi ampuh, kalau nanti kita menyadarinya.

Zaman mungkin berubah, tetapi manusia terus beradaptasi. Sampai sekarang, saya masih sering berdiskusi dengan kawan-kawan baru, dengan mahasiswa yang sudah berjarak terlalu jauh dengan saya.

Dan andai saja, orang-orang yang tidak saya sebutkan namanya, namun menjadi pelaku bersama saya, dapat membaca tulisan ini. [dm]

5 Comments

  1. Bravo Kang
    Pelaku Sejarah Kampus IAIN Walisongo Era 90 an. Senior METAFISIS Kala Itu SeNior MIMBAR Kala Itu.
    Jadi Teringat Masa 90an Di UIN WALSONGO….