SEMARANG (jatengtoday.com) – Pertumbuhan Industri Kecil Menengah (IKM) di Kota Semarang belum dibarengi dengan kesadaran para pelakunya untuk melakukan pengurusan perizinan. Salah satunya adalah pengurusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Sehingga hingga kini masih banyak produk industri kreatif berbasis rumahan belum memiliki legalitas. Pelaku industri banyak yang tidak menyadari dampaknya bisa berakibat fatal. Sebab, produk hasil inovasi warga masyarakat tersebut rentan dicaplok pihak lain.
Tidak hanya itu, dampak lain apabila produk industri tersebut tidak memiliki hak kekayaan intelektual tidak bisa melakukan ekspor karena tidak memiliki perlindungan hukum.
Anggota Komisi VI DPR RI, Juliari P. Batubara meminta pelaku industri kecil dan menengah di Kota Semarang melakukan pengurusan hak kekayaan intelektual. Sebab, hak kekayaan intelektual ini berguna untuk melindungi pengusaha dari kemungkinan penggunaan hak miliknya tanpa izin.
“Sebetulnya persyaratannya normatif saja. Untuk merek, segera didaftarkan dan ada badan hukumnya. Apakah itu PT, CV atau koperasi,” katanya saat meninjau pelatihan dan pengembangan IKM Kampung Hasta Karya, Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jumat (14/9/2018).
Dikatakannya, pengurusan hak kekayaan intelektual memang membutuhkan proses lama. Sehingga produk industri tersebut mendapat sertifikat merek tersebut. “Memang membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun. Itu normal. Kemenkumham itu menunggu periode sanggahan. Misalnya ada sanggahan merek A, lho ini merek kami,” katanya.
Proses tersebut harus dijalankan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan dari pihak lain. Apabila berganti merek juga memiliki pengaruh luar biasa. “Semua persyaratan mengacu Undang-Undang (UU), baik UKM maupun IKM. Sehingga mendapatkan sertifikasi,” katanya.
Menurut Juliari, sejauh ini kesadaran para pelaku usaha kecil dan menengah masih terbilang rendah. Sehingga para pelaku industri merasa hak kekayaan intelektual tidak perlu. “Saya seringkali mengingatkan tentang hak kekayaan intelektual itu. Sebetulnya untuk informasi tinggal nyari di Google aja selesai. Saya justru lebih tertarik dengan industri rumahan yang digeluti kaum perempuan, ibu-ibu rumah tangga,” katanya.
Sebab, lanjut dia, negara bisa bertambah lebih sejahtera dan maju apabila kaum perempuannya bisa berperan serta aktif dalam pembangunan ekonomi. “Disamping menjalankan tugas kodratnya sebagai perempuan mengurus rumah tangga, saya kira kalau memang masih ada waktu luang ya berwirausaha lah. Apakah sendiri atau berkelompok,” katanya.
Selama berdialog, kata dia, keluhan yang disampaikan warga hanya seputar kendala minimnya peralatan. “Saya kira hal seperti itu tidak masalah. Dari Kementerian Perindustrian juga ada bantuan peralatan, termasuk ada pelatihan-pelatihan,” katanya.
Dalam hal pajak, sejauh ini pemerintah juga telah mengurangi pajak dari 1 persen menjadi 0,5 persen. “Maunya tidak ada pajak sama sekali. Cuman negaranya ya bangkrut kalau tidak ada yang bayar pajak. Prinsipnya pemerintah membantu,” katanya sembari sedikit bercanda.
Kepala Dinas Perindustrian Kota Semarang, Nurjanah, mengatakan saat ini para pelaku industri kecil dan menengah di Kota Semarang sudah mulai melakukan pengurusan hak kekayaan intelektual.
“Batik disini sudah ada yang ber-SNI. Terdiri atas batik tulis, batik cap dan batik campuran tulis dan cap. Selanjutnya untuk pembinaan peningkatan SDM, kami juga melatih para pelaku IKM agar mereka memiliki sertifikasi, termasuk HKI,” katanya.
Tentunya, pengurusan HKI tersebut untuk melindungi agar produk mereka tidak diakui milik orang lain. “Mereka sudah berinovasi dan berkreativitas, kalau kemudian diakui oleh orang lain kan kasihan. Oleh karena itu, kami telah mengusulkan sebanyak 250 produk IKM di Semarang untuk pengurusan HKI produknya,” ungkap Nurjanah. (*)
editor : ricky fitriyanto