in

Sebab Mendasar Mengapa Indonesia Tidak Pernah Raih Hadiah Nobel

Kondisi dosen dan kampus jika masih seperti sekarang, mungkin Indonesia raih nobel seabad lagi. Indeks IQ kita nomor 2 terburuk di di Asia Tenggara, nomor 130 di Dunia.

Kampus di Indonesia masih di ranking bawah Dunia. Dosen sebagai ilmuwan-peneliti dibingkai menjadi ASN reguler.

 

Mengapa Indonesia tidak pernah raih hadiah nobel?

Hanya Indonesia yang belum pernah meraih hadiah nobel, jika dibandingkan 3 negara lain yang berpenduduk terpadat di dunia: China, Amerika, dan India. Bangladesh juga sudah pernah meraih hadiah nobel.

Melihat dunia akademik kita sebagai standar dalam hadiah nobel, selain di bidang sastra dan juga perdamaian, kita memang masih carut-marut.

Mari kita lihat fakta yang ada di dunia akademik kita.

Kampus Indonesia di Ranking 231 Dunia

Kampus-kampus top dan bonafide yang ada di Indonesia berada di ranking 231 dunia, dalam ranking QS World yang menjadi rujukan DIKTI. Kita belum satupun mencapai ranking 100. Tentu saja hal ini menjadi tamparan untuk pendidikan tinggi. Sementara negara tetangga kita, Singapura, bahkan Malaysia, kampus mereka berada di ranking 70 dunia.

Publikasi jurnal internasional, kita menang hanya dari segi kuantitatif. Kemenangan ini tidak bisa kita banggakan.

Indeks IQ Terburuk Kedua di Asia Tenggara, Nomor 130 di Dunia

Indeks IQ negara Indonesia sangat tragis. Menurut World Population Review tahun 2022, Indeks IQ Indonesia berada di peringkat 130 dunia. Nomor 2 terendah di Asia Tenggara, setelah Timor Leste dengan skor yang sama yaitu rata-rata 78,49.

1 dari 1000 Orang di Indonesia Baca Buku, 8 Jam Sehari Internetan

Tidak mengherankan. Menurut penelitian UNESCO, hanya 1 dari 1000 orang di Indonesia yang membaca buku. Sedangkan waktu rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu di Internet di angka tertinggi, yaitu 8 jam sehari, untuk Instagram dan WhatsApp. Waktu baca buku rata-rata orang Indonesia hanya 9 jam per minggu.

Angka ini berbanding terbalik dengan angka rata-rata orang di negara maju dalam membaca buku.

Mental Inferior di Hadapan Barat

Kishore Mahbubani menulis buku Can Asian Think mengulas dan membandingkan sikap inferior masyarakat Asia terhadap Barat. Hal in adalah akibat penjajahan yang dilakukan selama ratusan tahun dan hingga saat ini masih banyak masyarakat Asia yang berjuang untuk keluar dari belenggu pemikiran tersebut. Hal ini juga mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa mental kebanyakan masyarakat kita masih silau dengan kemampuan masyarakat Barat. Kita belum bisa keluar dari kolonialisme di bidang ilmu pengetahuan sehingga hampir segala teori hingga saat ini, masih dihasilkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat meskipun dalam konteks lokal ke Indonesiaan.

Mungkin suatu saat jika ilmuwan-ilmuwan Indonesia sudah selesai bergulat dengan dirnya sendiri akan ada ilmuwan kita yang bisa mendapat hadiah nobel.

Kurang Bisa Melihat Realitas

Sebenarnya Indonesia terhubung secara acak dengan satu penerima hadiah nobel. Tahun 2019, nobel ekonomi dimenangkan oleh Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer. Ketiga ilmuawan AS itu, memenangkan penghargaan tertinggi atas penelitian mereka terkait kemiskinan global. Esther Duflo ternyata pernah meneliti tentang SD Inpres Indonesia dan peranannya dalam mengentaskan kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan.

Terbitlah hasil penelitian mereka di tahun 2000 dengan judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment”. Judul itu artinya “Sekolah dan Konsekuensi Pasar Tenaga Kerja dari Pembangunan Sekola di Indonesia: Bukti dari suatu Eksperimen Kebijakan yang Tak-Biasa”.

Dia mengupas peran SD Inpres dengan mendalam termasuk kaitannya dengan pengentantasan kemiskinan.

Banyak potensi yang bisa dilirik untuk Indonesia memengkan hadiah nobel namun terlewati begitu saja.

Faktor-faktor yang sudah saya sebutkan di awal, masih lagi ditambah permasalahan akademik di Indonesia.

Dosen sebagai Peneliti Dibingkai sebagai ASN Reguler

Dunia akademik kita cenderung hingar bingar. Dosen yang sebenarnya memiliki status “ilmuwan”, di kampus terkesan dipaksa untuk menjadi ASN reguler. Kemerdekaan mereka dalam Tridharma Perguruan Tinggi menjadi terdegradasi dengan pemaksaan untuk menumpukan waktu kerja-kerja administrasi yang tidak ada habis-habisnya. Kurang waktu meneliti dan mengabdi kepada masyarakat. Untuk mengajar saja, mereka harus melengkapi persyaratan akademik yang sangat banyak. Administrasi semua berbasis bukti yang harus diupload setiap hari. Dosen-dosen tidak punya waktu memikirkan penelitian bermutu untuk kontribusi perguruan tinggi.

Yang terjadi di negara maju, sebaliknya. Dosen dan kampus adalah tulang punggung untuk meraup hadiah nobel.

900 Penerima Nobel adalah Dosen-Peneliti

Siapa para penerima nobel itu? Sekitar 900 lebih penerima hadiah nobel dari seluruh bidang di seluruh dunia, hampir sebagian besar adalah dosen di perguruan tinggi. Hal ini lumrah karena kampus adalah center for exellence.

Kebijakan birokrasi yang menyamakan dosen dengan fungsional ASN reguler akan semakin membuat dosen teramputansi dalam berkarya di bidang akademik.

Tidak heran, banyak dosen yang memakai jasa joki ketika membuat karya ilmiah walaupun tidak dapat dibenarkan mungkin saja mereka saudah ruwet dengan segala persyaratan administrasi.

Permenpan RB No 1 tahun 2023 yang meratakan semua pejabat fungsioanal dalam kapasitas dan pemenuhan angka kredit jelas saja membuat dosen makin terpojok. Konversi angka kredit dalam kinerja organisasi bisa saja disalah gunakan oleh atasan untuk membuat dosen lebih banyak berkutat di urusan adminsitrasi ketimbang Tridharma Perguruan Tinggi.

Hal ini berpotensi menggerus nalar ilmuwan dan fungsi periset di perguruan tinggi.

Jalan Indonesia untuk meraih nobel masih membutuhkan waktu sekian dekade lagi, atau bahkan sampai 1 Abad ke depan.

——-

Waode Nurmuhaemin
Doktor manajemen pendidkan, peneliti pendidikan, penulis buku dan artikel pendidikan