in

Guru Besar Unud: Kebijakan PLN Batasi Kapasitas PLTS Atap Keliru

Kebijakan PLN itu dapat dipahami karena pendapatan perusahaan berpotensi turun jika ada peningkatan pemasangan PLTS atap oleh masyarakat dan industri.

Guru Besar Teknik Elektro Universitas Udayana Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari menjawab pertanyaan media usai memberi penjelasan mengenai PLTS atap saat sesi diskusi di Denpasar, Jumat (3/6/2022). ANTARA/Genta Tenri Mawangi

DENPASAR (jatengtoday.com) – Guru Besar Teknik Elektro Universitas Udayana (Unud) Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari menilai kebijakan PLN membatasi pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap 15 persen dari kapasitas terpasang keliru. Sebab, hal itu menghambat upaya transisi ke energi bersih.

Menurut dia saat sesi diskusi di Denpasar, Jumat (3/6/2022), kebijakan PLN itu tidak sejalan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap dan aturan pendahulunya Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018, serta beberapa regulasi di tingkat daerah khususnya Provinsi Bali, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, dan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2022.

Ia pun mengusulkan kepada PLN agar kebijakan pembatasan itu tidak mengacu pada kapasitas terpasang, melainkan pada kapasitas trafo agar tidak membebani pelanggan dan industri yang ingin beralih ke energi bersih.

“Kami sebagai akademisi memberi masukan kepada PLN bahwa kebijakan membatasi 15 persen (kapasitas PLTS atap kepada) pelanggan itu salah. Jadi, seharusnya 15 persen dari kapasitas trafo itu masih bisa diterima,” kata Prof. Dwi Giriantari.

Ia lanjut menyampaikan kebijakan PLN itu dapat dipahami karena pendapatan perusahaan berpotensi turun jika ada peningkatan pemasangan PLTS atap oleh masyarakat dan industri.

Namun, penggunaan PLTS atap merupakan salah satu program yang didukung pemerintah demi mempercepat transisi energi dan meningkatkan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk dari sinar matahari/tenaga surya.

“(Polemik) itu seharusnya dicarikan jalan keluar oleh pemegang kebijakan (pemerintah). Jika itu risikonya, harus ada mitigasi,” kata Guru Besar Teknik Elektro Universitas Udayana.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga menyampaikan pendapat yang sama.

Ia menilai kebijakan pembatasan itu justru membuat pemasangan PLTS atap jadi mahal sehingga tujuan masyarakat yang ingin berhemat dengan beralih ke energi surya tidak terpenuhi. “Ini jadi kendala. Jelas, aturan (PLN) ini membuat PLTS jadi tidak ekonomis,” kata Fabby saat sesi diskusi.

Ia menambahkan kebijakan pembatasan itu juga menghambat penerapan Pergub Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2022.

Padahal, potensi PLTS atap di Bali mampu memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Dewata, kata Fabby yang merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Ia menyebut kebutuhan listrik di Bali kurang lebih 1 Gigawatt (GW), yang dipasok dari beberapa pembangkit listrik di Pulau Bali dan Pulau Jawa.

BACA JUGA: Kisruh Pengadaan Batu Bara, DPR Minta PLN Lakukan Audit Menyeluruh  

Sementara itu, potensi PLTS atap di Bali mencapai 3.200 Megawatt peak (MWp)—10.900 MWp atau sekitar 3,2 Gigawatt—10,9 Gigawatt.

Data itu diperoleh dari kajian IESR, yang merupakan lembaga think tank untuk isu energi dan lingkungan, termasuk di antaranya energi bersih. “Kalau semua rumah di Bali pakai PLTS atap, maka itu sudah bisa memasok kebutuhan se-Bali,” kata Fabby Tumiwa. (ant)