in

Gimmick Agus Noor, Teater Rakyat Terjaga dari Tidur Panjang

SEMARANG (jatengtoday.com) – Anita Kusumawardani (52) mengaku sengaja mengajak suami dan anaknya yang masih kecil datang di Taman Indonesia Kaya (eks Taman KB) Semarang, Sabtu (27/10/2018) malam.

Ia penasaran dengan pertunjukan Teater Rakyat berjudul ‘Misteri Sang Pangeran’ yang ditulis dan disutradarai Agus Noor. Pertunjukan teater kolosal ini terbilang langka karena sederet seniman sekelas Butet Kartaredjasa, Prie GS, Cak Lontong, dan Marwoto, turut bermain.

Selain itu, para pemain berbakat seperti Akbar, Susilo Nugroho, Sruti Respati, Sahita, Hargi Sundari, Novi Kalur, Rio Srundeng, Semarang Magic Community, Sanggar Greget Semarang, Jagoan Jagoan Jawa Tengah, Teater Djarum, serta iringan musik Kuaetnika pimpinan Gregorius Djaduk Ferianto, terlibat dalam satu panggung.

Naskah tersebut menceritakan sebuah negeri yang mengalami gangguan. Banyak perampokan, pencurian, dan kejahatan lain, hingga menyebabkan penduduk gelisah. Dua sosok pangeran misterius berupaya melakukan penyelamatan.

“Sengaja mengajak sekeluarga nonton teater. Menarik sekali, ini benar-benar membikin klangenan untuk ber-asyik ria di sebuah taman kota yang asri,” kata Anita.

Dengan adanya pertunjukan teater rakyat seperti ini, kata dia, suasana kota menjadi lebih merakyat dan ramah. Taman Indonesia Kaya menjadi ruang bagi masyarakat untuk melepas penat.

“Pertunjukannya asyik, ringan dan menghibur bagi orang awam. Biasanya pertunjukan teater itu cenderung sulit dicerna, karena membawa tema berat,” katanya.

Anita adalah satu dari ratusan penonton yang menikmati pertunjukan sembari duduk lesehan beralaskan tikar berbahan daun pandan di depan panggung di Taman Indonesia Kaya. Tikar tersebut disediakan panitia.

“Sudah lama tidak ada pertunjukan kesenian publik seperti kethoprak. Selama ini kesenian teater rakyat di Semarang seperti sedang tidur panjang. Adanya pertunjukan ini seperti sedang dibangunkan kembali,” katanya.

Senada, Dewi Wulandari (22) mengaku senang bila Semarang memiliki ruang pertunjukan untuk rakyat seperti Taman Indonesia Kaya. “Orang awan seperti saya kalau menonton teater di gedung pertunjukan agak takut. Karena di gedung kesenian, penontonnya banyak seniman. Materinya juga terlalu berat. Kalau panggung rakyat seperti ini lebih bisa diterima kalangan umum,” katanya.

Sementara itu, sutradara Agus Noor mengatakan, pementasan ini dipersiapkan dalam waktu cukup singkat. “Proses sejak awal hanya sebulan setengah. Mulai menggodog ide, mengontak para pemain, menyusun story, koordinasi dengan Mas Jaduk dan lain-lain. (Teater rakyat) Ini jadi metode bagaimana membuat pertunjukan dan menumbuhkan potensi para pemain,” katanya.

Menggarap pertunjukan berkonsep teater rakyat menurutnya memiliki tantangan tersendiri. “Saya memberi ruang permainan, bahkan Mas Prie GS dialognya bikin sendiri. Prinsipnya teater rakyat seperti kethoprak, ada cerita yang mereka pahami, diskusi dan membuat dialog sendiri. Ajaib memang, bahkan siang sebelum pentas baru lengkap,” katanya.

Ia mengaku tidak kesulitan untuk mengolaborasikan para pemain muda bermain bersama sejumlah tokoh seperti Prie GS, Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan lain-lain.

“Tapi sebagai sutradara, pertunjukan ini sudah jadi dalam imajinasi saya. Begitu ketemu tinggal diterapkan. Kayak Mas Djaduk dalam hal musiknya saya sudah percaya, kalau ada yang kurang tinggal ditambahin, itu aja. Itu memang metode pertunjukan teater rakyat,” katanya.

Naskah ini, kata Agus Noor, sejak awal berupaya dibuat agar bisa memancing misteri, open public dan mengandung teka-teki. “Dipancing dari awal siapa sih sesungguhnya pangeran yang diceritakan. Itu gimmick, dengan struktur cerita rakyat seperti kethoprak. Teater rakyat tetap menggunakan skenario, meskipun pemain bebas mengeksplorasi dialog dan improvisasi,”

Hal itulah, lanjut dia, perbedaan antara teater rakyat dengan pertunjukan komedi lain—yang begitu dilepas saling “memakan”. Di teater rakyat, ada bagian-bagian kapan aktor tersebut harus masuk.

“Mereka harus sabar menunggu momen, tidak saling memotong. Karena itu perlu latihan dan dialognya tersusun. Tetapi tetap ada spontanitas sebagai magic panggung,” katanya.

Jogja Pun Tak Punya Tempat Seperti ini

Seniman senior, Butet Kartaredjasa, memberi apresiasi atas dibangunnya panggung terbuka untuk melestarikan kesenian teater rakyat di Taman Indonesia Kaya Semarang.

“Saya berinteraksi dengan Kota Semarang sejak 1980-an bersama Teater Gandrik. Tempat (panggung terbuka) seperti ini belum pernah ada. Dulu pernah ada tempat pertunjukan tertutup di Auditorium RRI Semarang. Saya kalau perform di sana. Tapi sekarang saya tidak tahu nasibnya,” katanya.

Dia mengaku sering mendengar keluhan dari kawan-kawannya sesama pelaku kesenian, bahwa kalau mau masuk ke Semarang tidak memiliki tempat pertunjukan yang representatif.

“Ini mungkin memang bukan panggung teater tertutup yang bisa untuk panggung pertunjukan secara ideal. Tapi ini satu ruang yang menurut saya sangat memungkinkan untuk berproses dan sebagai media presentasi bagi kawan-kawan seniman,” katanya.

Boleh saja, lanjut Butet, kalau sekarang ini Semarang belum memiliki gedung pertunjukan kesenian yang representatif. Tetapi setidaknya Semarang telah memiliki tempat pertunjukan terbuka seperti ini.

“Ini panggung terbuka sederhana dan lebih akrab, serta memiliki tantangan tersendiri dibanding dengan gedung pertunjukan tertutup,”.

Sehingga pekerja kesenian di Kota Semarang bisa memaksimalkan Taman Indonesia Kaya. “Jogja yang konon kota budaya pun tidak mempunyai yang seperti ini,” ujarnya.

Taman Kota dan Statistik Kriminalitas Menurun

Menurut Prie GS, memanfaatkan taman ini sebagai ruang kesenian sebetulnya sebagai salah satu opsi saja. Kota semakin banyak taman, maka ada ruang untuk mensublimasikan sumbatan-sumbatan energi bagi masyarakat.

“Semakin banyak publik space berupa taman kota, statistik mengatakan kriminalitas cenderung menurun,” katanya.

Menurutnya, ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Kota Semarang. “Soal keseniannya nanti belajarlah sama Mas Butet, Mas Agus Noor, dan lain-lain. Kalau kita tidak bisa bermain baik ya kita tinggal bayar mereka saja,” ujarnya menyentil.

Ilustrator musik, Djaduk Ferianto, mengatakan timnya melakukan proses penggarapan setelah dikirimkan skenario oleh sutradara. “Kami latihan sesuai kebutuhan skenario. Diskusi, menyusun lagu, rekam, serahkan sutradara, lalu dilemparkan ke para penyanyi. Baru kemudian semuanya ketemu di Semarang siang sebelum pentas. Sambil cek sound, kami latihan berulang-ulang,” katanya.

Pentas kali ini, kata dia, mengandung misteri menarik sekali. Sebab, proses latihan sangat pendek. “Tapi setiap pertunjukan selalu ada misteri-misteri yang muncul tanpa diduga. Kesannya, kayak latihan lama. Saya memercayai mereka merupakan pemain yang sudah jadi semua. Cepat, cekatan dan cerdas dalam menangkap desain dari Mas Agus Noor. Tidak ideal (proses singkat), tapi terasa energinya. Itulah spirit pembelajaran dari kesenian tradisi,” ungkapnya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis