SEMARANG (jatengtoday.com) – Persoalan banjir dan rob tak terlepas dari pengelolaan sungai maupun sistem drainase. Bertahun-tahun hingga sekarang, Kota Semarang masih berusaha keras melepaskan dari permasalah banjir dan rob tersebut.
Sejumlah upaya seperti normalisasi sungai, pembuatan polder, drainase sejauh ini terus dilakukan. Namun persoalan banjir dan rob ini masih menghantui warga Kota Semarang. Terutama di Semarang bagian timur.
Ketua DPRD Kota Semarang, Supriyadi menilai sejauh ini upaya yang dilakukan oleh Pemkot Semarang cukup terlihat. Namun belum sepenuhnya tuntas. “Saya melihat, upaya penanganan masalah banjir dan rob ini cukup terlihat. Hal itu perlu diapresiasi. Namun masalah banjir dan rob ini masih menjadi ancaman bagi sebagian masyarakat Kota Semarang, terutama Semarang bagian timur,” katanya, Kamis (21/6).
Dikatakannya, penanganan banjir dan rob di Kota Semarang memiliki permasalahan kompleks. Tidak cukup hanya dilakukan dengan pembangunan baru. Mulai dari normalisasi sungai, pembuatan kolam retensi, pembendungan sungai, hingga memperbanyak pembuatan polder. Tetapi hal itu percuma apabila tidak diimbangi dengan perawatan dan pengerukan sedimentase drainase secara rutin.
“Persoalan sedimentasi di setiap saluran sungai maupun drainase harus dilakukan pengerukan secara rutin. Sistem drainase yang sudah ada ini banyak terjadi sedimentasi dan minim pengerukan,” katanya.
Akibatnya, sistem drainase tidak sesuai dengan fungsi awal. “Kalau saya lihat, hampir rata-rata terjadi sedimentasi cukup parah. Apalagi penurunan permukaan tanah di wilayah Semarang bagian utara setiap tahun mencapai 10 cm hingga 15 cm,” beber dia.
Menurutnya, sedimentasi ini menjadi masalah berbahaya dalam jangka panjang. Program penanganan pemerintah harus disesuaikan dengan kebutuhan yang terjadi di lapangan. “Jangan sampai nanti ketika air pasang, masih terjadi genangan rob. Ketika banjir turun, drainase harus lancar. Misalnya di wilayah Jalan Kolonel Sugiono, ada rel kereta api yang melintasi sungai. Nah, kondisi sedimentasi seringkali membuat air meluber,” katanya.
Sejauh ini, lanjut Supriyadi, penanganan untuk wilayah Semarang bagian timur belum seimbang dengan penataan dengan wilayah Semarang tengah, utara dan sebagian di wilayah barat. Memang, normalisasi sungai di wilayah timur ini juga belum selesai. “Sungai Tenggang, Sungai Sringin, Babon, dan Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) ini memang harus bertahap,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Wachid Nurmiyanto mengatakan, penanggulangan banjir dan rob selama ini baru bersifat reaktif dari kasus yang terjadi. Artinya, ketika ada kasus banjir dan rob, baru dilakukan penanganan.
Belum bisa disebut upaya penanggulangan banjir secara paripurna sesuai dengan konsep Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) secara rinci. “Memang butuh waktu bertahun-tahun, tetapi harus dilakukan secara simultan yang meliputi penanganan sementara dan penanganan jangka panjang,” katanya.
Secara jangka panjang penanganan banjir, lanjut dia, sebetulnya telah ada konsep sejak dahulu kala. Diantaranya, di wilayah dataran tinggi dibuatkan terminal air dalam bentuk bendungan. “Saat ini, sudah ada Waduk Jatibarang. Berikutnya, sungai-sungai dilakukan normalisasi semua. Luas, kedalaman, tanggul sungai dinormalkan. Di bagian dekat laut, dibuatkan polder yang berfungsi sebagai penampungan air ketika rob maupun banjir. Polder Banger itu sebetulnya belum rampung, belum bisa berfungsi sebagai polder semestinya,” kata dia.
Hanya saja untuk merealisasikannya perlu biaya besar. Sehingga konsepnya ada peran serta pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kota. “Prosentase anggarannya, pemerintah pusat 50 persen, pemerintah provinsi 25 persen, dan pemerintah kota 25 persen. Pembagian anggarannya seperti itu. Persoalannya, program itu sudah dirancang, ada kesepakatan bersama, tapi tidak dilaksanakan secara tuntas. Bukan tidak dikerjakan, sebagian sudah jalan. Tapi tidak paripurna,” katanya.
Dia meminta pemerintah tidak perlu kaku, berjalan sesuai dengan apa yang disebut di RPJMD. Tetapi perlu melihat perkembangan dinamika yang terjadi saat ini. “Misalnya Waduk Jatibarang dirasa belum bisa mewakili fungsinya, maka perlu dibuatkan lagi. Misalnya pembuatan embung-embung untuk penampungan air. Sebab, wilayah bagian atas berkembang pesat, pertumbuhan penduduk hingga menyebabkan banyak tanah resapan berubah menjadi perumahan,” katanya.
Apalagi banyak sungai yang ditutup diganti dengan sungai sintesis. Lebih celaka lagi, penggantinya itu tidak sesuai dengan kebutuhan aslinya. “Tentu ini akan menyebabkan banjir,” katanya. (abdul mughis)
editor : ricky fitriyanto