SEMARANG (jatengtoday.com) – Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Semarang Barat memiliki dokumen-dokumen hak kepemilikan atas lahan gereja di Jalan Lamongan Barat VI Sampangan Semarang. Artinya, Yayasan Dana Jetun (YDJ) tidak memilik hak atas lahan seluas 8.684 meter persegi tersebut.
Apul P Simorangkir dari Kantor Hukum “Pariadin Law Firm” yang bertindak atas nama Gereja HKBP Semarang menyampaikan hak jawab atas pemberitaan jatengtoday.com berjudul “Kalah di Pengadilan, HKBP Ngotot Pertahankan Lahan di Sampangan” yang dipublikasikan pada 10 April 2022.
Pihak Gereja HKBP Semarang Barat mengaku kecewa dengan YDJ yang mengklaim kepemilikan lahan tersebut atas dasar putusan pengadilan. Sebab, tidak ada pihak yang dimenangkan dari proses persidangan.
Apul menjelaskan, gugatan perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri Semarang pada November 2014 silam bukan tentang kepemilikan.
“Kami keberatan karena surat dari YDJ yang berdiri 2007 melakukan pemblokiran atas pengajuan sertifikat dari Gereja HKBP Semarang kepada BPN. Itu pokok gugatannya,” ucapnya kepada Jateng Today, Rabu (27/4/2022) malam.
Saat dilakukan banding pada 2015, keputusan sidang menyebut Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima. Sama halnya tahun 2018 di Mahkamah Agung (MA) yang juga menyebut NO.
“Tidak ada putusan pengadilan yang menyebut lahan tersebut sah milik YDJ. Jadi kami tidak kalah di pengadilan. Kalahnya dari mana? PN Semarang tidak mengeluarkan putusan eksekusi terhadap objek tanah karena status perkara adalah NO. Dan kami sebagai penggugat tidak lagi mengambil upaya hukum karena kembali seperti tidak ada gugatan pada 2014,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, pemblokiran pendaftaran sertifikat tanah di BPN yang dilakukan YDJ sudah tidak berlaku. Pasalnya, status pemblokiran tidak berlaku permanen.
HKBP Semarang Barat kembali melakukan pendaftaran sertifikat tanah dengan menyertakan bukti kepemilikan berupa dokumen-dokumen asli. Seperti akta asli pendirian yayasan milik Gereja HKBP Semarang Barat, surat keterangan tidak sengketa, surat penguasaan tanah, surat keterangan rencana kota dari pemerintah kota semarang dan beberapa dokumen penting lain.
Surat keterangan tidak sengketa dan surat penguasaan tanah sudah dimiliki HKBP Semarang barat sejak 2006 silam. Sementara dokumen Peta Situasi Bidang Tanah dari Pemkot Semarang sudah ada sejak 1976.
“Pemkot Semarang sudah menyebut bahwa tanah tersebut milik Gereja HKBP Semarang Barat lewat KRK tahun 1976. Waktu itu namanya bukan KRK tapi Situasi Bidang Tanah,” jelasnya.
YDJ Sudah Bubar
Apul menegaskan jika YDJ sudah bubar. Dia pun memaparkan kronologinya. Pada tahun 1952 silam, belasan orang Batak di Semarang sepakat untuk membangun gereja dengan membentuk Yayasan Dana Gereja HKBP Semarang. Mereka menghimpun dana dari persembahan untuk membangun gereja.
Sekitar tahun 1960-an, yayasan tersebut berubah nama menjadi Yayasan Dana Jetun dengan kepengurusan yang masih sama dengan Yayasan Dana Gereja HKBP Semarang. Yayasan tersebut kemudian mampu membeli lahan di Jalan Veteran 7A untuk dibangun tempat ibadah.
“Tahun 1974 sempat dilakukan peletakan batu pertama. Tapi tidak jadi dibangun karena ada kendala dan tanah tersebut dijual. Hasilnya dibagi karena ada jamaah yang memisahkan diri. Ada yang di Kertanegara dan Semarang Barat. Yang harus diingat, uang tersebut merupakan hasil dari hasil jemaat, bukan milik pribadi,” tegasnya.
Uang hasil penjualan tanah di Jalan Veteran tersebut, digunakan YDJ untuk membeli dan membangun gereja di Jalan Pamularsih Raya no 110. Sisanya untuk membeli lahan di Jalan Lamongan Barat VI Sampangan. Lahan di Sampangan kemudian dibangun gedung pertemuan dan tempat ibadah.
“Tapi ada perintah dari pimpinan HKBP, suruh pindah ke Pamularsih. Di sana (Sampangan) hanya untuk kegiatan saja,” katanya.
Kemudian sekitar tahun 1980-an, YDJ berubah nama menjadi Yayasan Jetun HKBP Semarang Barat.
“Karena tujuan yayasan sudah selesai yakni mencari lahan dan membangun gereja, akhirnya disepakati yayasan ini menyerahkan diri ke pimpinan Gereja HKBP dengan seluruh harta bendanya. Itu ada naskah aslinya dan masih kami simpan. Artinya, pada saat itu juga yayasan sudah bubar,” paparnya.
Masalah muncul sekitar tahun 2003. Saat itu ada bekas pengurus yayasan yang menganggap YDJ masih punya lahan di Sampangan.
“Jadi ada YDJ reinkarnasi yang lahir tahun 2007. Karena sebenarnya YDJ sudah bubar tapi ini lahir lagi,” imbuhnya.
YDJ tahun 2007 inilah yang mengajukan pemblokiran pengajukan sertifikat tanah di Sampangan yang dilakukan Gereja HKBP Semarang Barat.
“Tidak mungkin gereja mengakui yang bukan tanahnya. Tapi kami tetap mempertahankan hak gereja karena itu tanah umat. Itu didapat dari uang persembahan, bukan uang pribadi,” tegasnya.
Salinan Ulang Akta
Apul menerangkan, YDJ yang lahir 2007 coba merebut lahan di Sampangan yang belum bersertifikat. Yayasan tersebut melakukan salinan ulang akta yang disimpan di Kelurahan Sampangan.
“Kami baru tahu Februari kemarin jika ada satu bundel akta gereja yang dulu, dilakukan salinan oleh notaris pengganti. Dari temuan ini, kami menganggap ada orang yang memanfaatkannya untuk mengakui lahan,” katanya.
Hal itu menjadi dasar Apul untuk melaporkan YDJ. “Ini sudah masuk ranah pemalsuan akta. Pasal 263-264 mengatakan, barang siapa yang melakukan pemalsuan surat yang seolah-olah sesuai dengan aslinya dan mempergunakan untuk mengakui dan menimbulkan hak, kan mereka mengakui sehingga menyatakan lahan itu milik mereka. Ini sudah kami laporkan dan sedang proses pemeriksaan,” paparnya.
Pimpinan Gereja HKBP Semarang Barat Pendeta Patuan Hotman Simatupang menambahkan, gereja sudah menyerahkan masalah kepada Apul P Simorangkir dari Pariadin Law Firm sebagai kuasa hukum. Dengan semua bukti yang dimiliki, dia optimistis proses hukum yang sedang berlangsung akan segera selesai.
“Sudah kami serahkan kepada kuasa hukum untuk sepenuhnya mengurus proses hukum dengan bukti yang jelas, asli suratnya bahwa tanah tersebut asli milik Gereja HKBP Semarang Barat,” terangnya.
Dia juga berharap pengajuan sertifikat atas lahan di Sampangan yang diajukan Maret 2022 kemarin diharapkan bisa segera diterbitkan BPN.
“Saya sebagai pimpinan juga meminta kepada seluruh jemaah untuk tidak terpancing kerusuhan karena di tanah Sampangan ini terjadi pemagaran. Selama ini kami diam saja. Bahkan ada jemaah kami yang tinggal di sana sebagai bukti telah menguasai lahan tersebut,” tuturnya. (*)