SEMARANG (jatengtoday.com) – Gedung Monod Diephuis, Kota Lama, Semarang, diresmikan sebagai pusat berkesenian Semarang. Pencanangan dilakukan Direktur Kesenian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Restu Gunawan, Sabtu (10/11/2018), sekaligus memeringati Hari Wayang Sedunia yang jatuh pada tanggal 7 November.
Agus Suryo Winarto, pemilik gedung Monod Huis menuturkan, selama ini bangunan tua yang terletak di Jalan Kepodang 11-13 ini telah menjadi gedung dengan kegiatan terbanyak di kawasan Kota Lama. Di samping itu, Gedung Monod secara rutin digunakan sebagai tempat latihan berkesenian.
Di tempat itu tersedia seperangkat gamelan dan wayang. Perkumpulan karawitan dan pedalangan Monod Laras yang biasa menggunakannya. “Semoga gedung tersebut bisa menjadi penyeimbang di antara kafe-kafe yang mulai bertebaran di kawasan Kota Lama ini,” tandasnya.
Lebih jauh Agus berharap, kawasan Kota Lama bisa menjadi sebuah sanggar seni yang sangat besar. Kawasan ini memiliki luas 45 hektar dengan 130 bangunan cagar budaya. Dirinya yakin, apabila seluruh bangunan tersebut diisi dengan berbagai kegiatan positif, ke depannya akan berdampak luar biasa. “Jika semuanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kebhinekaan, kesenian, dan kebudayaan, saya rasa Kota Lama akan menjadi daerah yang tak terkalahkan,” ujarnya.
Karena itu, peresmian Gedung Monod sebagai tempat berkesenian dipandang tepat, untuk kemudian diikuti gedung-gedung lain di kawasan Kota Lama.
Direktur Kesenian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Restu Gunawan sangat mengapresiasi dengan digelarnya acara ini. Dirinya mengungkapkan, pemerintah seringkali diminta untuk membuatkan gedung kesenian. Setelah dibuatkan dengan anggaran yang tak sedikit, ternyata pengelolanya mengeluh karena dana yang diberikan dirasa tak cukup untuk membayar biaya perawatan, gaji, listrik dan lainnya. “Ternyata, permintaan tersebut tidak dibarengi dengan upaya yang serius,” keluh Restu.
Kemendikbud mendorong agar setiap daerah memanfaatkan gedung-gedung bersejarah sebagai tempat berkesenian, aktivitas pendidikan dan lainnya, yang bertujuan untuk memajukan kebudayaan yang ada di negeri ini. “Saya kira ini bisa menjadi model, ini loh kita
memanfaatkan gedung lama dengan arsitektur lama tidak diubah sesuai kaidah cagar budaya, kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas berkesenian,” ucapnya.
Kaitannya dengan undang-undang pemajuan budaya, intinya adalah membangun ekosistem.
Ekosistem itu, kata Restu, meliputi pemerintah pusat, daerah, masyarakat atau komunitas. Jika mengandalkan pemerintahan, 5-10 tahun paling ganti karena sistem demokrasinya begitu.
Namun, ketika masyarakat atau komunitasnya kuat, tidak akan ada kekhawatiran hilangnya
suatu kebudayaan.
“Saya kira, dengan diresmikannya tempat berkesenian ini sangat penting dalam rangka memperkuat basis ekosistem dalam pemajuan kebudayaan ini. Karena tanpa bantuan komunitas, pemerintah tidak menjadi siapa-siapa,” ungkapnya. (baihaqi)
Editor: Ismu Puruhito