SEMARANG (jatengtoday.com) – Seperti tahun-tahun sebelumnya, penentuan UMP oleh Kementerian Ketenagakerjaan selalu sarat polemik. Buruh meminta kenaikan upah disesuaikan dengan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sementara pihak pengusaha mengikuti keputusan pemerintah yang menggunakan formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, sesuai PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan jika kenaikan sesuai PP 78, rasanya tidak fair karena pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota di Jateng berbeda.
“UMP kalau tidak memperhitungkan kondisi ekonomi kabupaten atau kota kita, akan menjadi gap. Kita lihat saja, contoh Kota Semarang yang paling tinggi, dengan Kabupaten Banjarnegara yang paling rendah, jauh bedanya,” terangnya, Kamis (18/10/2018).
Dia khawatir, akan terjadi negosiasi politik oleh para buruh dan pengusaha. Yaitu ada yang setuju dan tidak setuju dengan aturan tersebut. “Maka dari kami sedang menyiapkan untuk membuka informasi keluar, kenapa angkanya yang keluar 8,03 persen. Publik harus tahu, buruh harus tahu, pengusaha harus tahu, pemerintah juga harus tahu,” jelasnya.
Karena itu, dia menyarankan, sistematis pengupahan bisa dihitung berdasarkan survei perekonomian yang ada di kabupaten atau kota masing-masing. Dengan begitu, besaran kenaikan upah bisa mendekati rasa keadilan dengan pertumbuhan ekonomi sekitar.
“Biar adil perhitungannya dibuat rayon, atau karesidenan, yaitu bisa dilihat realita di masyarakat sekitar. Adanya PP sebenarnya bisa mengenakan kita, namun apakah sesuai realitanya. Nah ini kita mengusulkan formulanya saja,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Buruh Berjuang (Gerbang) Jateng, Nanang Setyono, menyatakan kenaikan upah berdasarkan PP 78 yang besarannya 8,03 persen tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak.
“Kami tetap meminta agar mekanisme kenaikan upah tetap dilakukan melalui survey KHL,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto