in

Pentingnya Punya Musuh

Punya musuh bisa untuk metode perbaikan diri, eksploitasi sumber daya, agenda bersama, sampai narasi sastra dan agama.

(Credit: rudal30)

Kita sering tidak akui kalau punya musuh. Sering mengatakan tidak ingin punya musuh. Tercatat pernah konflik, sering bertanding, pernah lewati banyak “perang”, masih saja bilang tidak suka bermusuhan.

Musuh Bisa Impersonal dan Temporer

Yang mengherankan, “musuh” sering dianggap personal: seseorang. Mungkin itu sebabnya, mereka bilang tidak ingin punya musuh. Padahal, musuh bisa impersonal: lembaga, ideologi, sikap politik orang lain, keyakinan, pengetahuan palsu, dll.

Kalau kamu bilang, “Saya tidak punya musuh. Saya tidak mau bermusuhan dengan siapapun” itu berarti kita punya konsep tentang siapa dan seperti apa itu “musuh”. Paling tidak, bisa jawab, siapa yang bukan-musuh kamu.

Terjadi konflik politik, namun sering mereka tidak menyebut musuh sebagai “musuh”. Apalagi kalau dibingkai “dinamika politik”, “pasang surut”, “pergolakan”. Dan bukan rahasia, dalam politik dan pekerjaan, bisa terjadi prinsip: “musuh sekarang, kawan besok” atau sebaliknya. Sekutu dan seteru bisa menjadi double-coin, seperti 2 sisi koin yang bernilai sama. Singkatnya, musuh tidak harus permanen.

Musuh dan konflik, sering dianggap sebagai lawan-dari “cinta”. Kata “enemy“, kalau kita cari dalam asal-kata, berasal dari “inimicus, in amicus“, yang berarti “teman yang buruk” atau orang yang secara aktif tidak kita mencintai.”

Memberi label “musuh” kepada seseorang, perlu usaha berat. Menunjukkan rasa hormat, kagum dalam sisi tertentu, dan mengakui baik-buruk musuh dalam beberapa hal. Musuh jadi pihak istimewa. Begitu namanya disebut, atau dilibatkan dalam pembicaraan, dengan cepat ombak kita berubah menjadi pasang atau surut.

Nietzsche: Musuh sebagai Metode

Nietzsche, memakai “musuh” sebagai “metode” untuk melihat kehebatan diri-sendiri.

Nietzsche punya sikap tegas dan gagah dalam hal ini.

“Betapa besar rasa hormat yang dimiliki seseorang terhadap musuh mereka — dan rasa hormat [terhadap musuh] inilah jembatan menuju cinta, karena ia inginkan musuh itu untuk dirinya sendiri, sebagai penanda perbedaan; ia tidak mau menanggung musuh-lain selain musuh yang tidak perlu dihina dan sangat dihormati”.

Kita memilih musuh dan musuh itu menjadi layak. Orang-orang besar tidak sembarangan cari musuh. Mereka hemat energi. Mereka tidak mudah marah, kecuali dalam moment dan kepada orang yang tepat. Marah mereka berharga, konflik mereka terawat dengan baik.

Orang mencari musuh yang tepat untuk mengalahkan mereka dalam kontes. Mereka mencari “penderitaan”, agar tumbuh lebih kuat dan belajar lebih banyak tentang diri mereka sendiri.

Sebentar. Apa yang bisa kita lihat ketika permusuhan terjadi di media? Apakah sekeren itu?

Saya bertanya kepada beberapa kawan, setelah menceritakan “metode” Nietzsche di atas, tentang sekeren apa permusuhan orang-orang di media?

Tidak keren. Kebanyakan sudah di-setting. Dia menunjukkan kalau Tokoh A dan B sebenarnya akrab sejak dulu dan beberapa kali melakukan “drama” di televisi dan berita online.

Benar atau tidak, acting atau tidak, mereka tidak bertambah dewasa seperti gambaran Nietzsche (kalau memang konflik itu tidak di-setting). Framing sana-sini. Kalimat yang “boleh disunting penulis berita”. Dan amplop untuk tayang.

Sebelum protes, ingat lagi: dibutuhkan rasa hormat kepada musuh untuk menentukan siapa musuh saya, dan kembali menjadi pembelajaran bagi diri sendiri.

Jadi, menurut Nietzsche, baru disebut berkonflik dengan musuh kalau setelah penderitaan dan pertarungan, kamu menjadi lebih kuat.

Mencari musuh untuk di-mention agar ngehit. Mencari musuh untuk menaikkan elektabilitas. Mencari musuh untuk mencari koalisi. Mencari musuh untuk “uji keadaan”. Mencari musuh untuk melihat soliditas lawan. Bukan. Semua itu tidak masuk dalam “metode” Nietzsche.

Tidak ada musuh berarti tidak ada emosi irasional? Mungkin mereka berpendapat demikian. Seolah-olah, argumentasi dalam perdebatan mereka itu rasional, konstruktif, positif, dan demokratis. Lawan dari irasionalitas, negatif, dan deliberatif.

Agar adil ada orang-orang yang berpendapat bahwa tidak adanya musuh adalah tidak adanya emosi irasional dalam debat kita, dan ideal kita harus menjadi demokrasi deliberatif di mana tidak ada musuh yang mungkin, karena bentuk argumen kita telah melampaui emosi dan kemarahan.

Demokrasi Habermasian dipahami seperti itu – tetapi ada alternatif yang diajukan oleh para ahli teori di kiri dan kanan: demokrasi agonistik di mana posisi jelas dan diperebutkan dan perjuangan itu sendiri adalah apa yang memungkinkan kita untuk mencapai lebih banyak dan lebih banyak kejelasan.

Plutarch: Musuh sebagai Manfaat

Bagi Plutarch, musuh itu cermin.

Plutarch menulis “How to Profit by One’s Enemies” (Cara Dapat Untung dari Musuh Seseorang). Plutarch menggali manfaat musuh dan bagaimana membingkai tindakan mereka sebagai keuntungan.

Memiliki “musuh” berarti kamu berpijak konsisten pada rencanamu. Ada “imajinasi” bahwa selalu ada musuh yang sedang merintangi rencana kamu.

“Musuh” dalam perspektif Plutarch adalah “model mental”, mirip tekanan yang menunggu kesalahan kamu.

Pandangan Plutarch tentang “musuh”:

.. musuh kita memberikan cermin agar kita melihat perilaku yang kita benci dalam diri kita. Musuh menjadi variasi pada model mental orang ketiga – seseorang yang berdiri di samping kita, menilai tindakan kita, dan berusaha memanfaatkannya.

Punya musuh, selain harus menentukan “siapa”, yabg habiskan energi, kita harus pikirkan tindakan kita. Ini alasan lain, mengapa kita tidak suka ide tentang “musuh”.

Memikirkan musuh memaksa kita memeriksa tindakan kita sendiri. Kita takut disamakan dengan musuh, tidak ingin tahu kalau ada beberapa hal di mana kita melakukan hal yang kita benci ternyata ada pada musuh.

Di film-film Hollywood, kita sering tonton plot film di mana seorang tokoh antagonis dan protagonis “saling menghormati”, selain itu, tokoh antagonis menegaskan bahwa antara dia dan Si Protagonis sebenarnya sama, dalam banyak hal.

Seseorang membutuhkan sahabat yang-mengingatkan dan musuh yang-menegur dengan terus terang. Dari musuh, seseorang mendengarkan “kebenaran”.

Kalau kamu menasehati kawanmu, mengatakan bahwa “memiliki musuh” itu penting, mungkin akan dianggap nasehat kasar dan berbahaya.

Kebenaran yang tak-nyaman, terjadi bukan ketika kita tahu ada banyak kelemahan kita. Yang paling tak-nyaman, ketika kita tahu, [sebagian dari] musuh kita ternyata benar.

“Jika gratisan, kamulah produknya.”. Partisipasi aktif kamu ikut membentuk pasar.

Umberto Eco: Musuh sebagai Agenda Bersama

Musuh mendorong kita untuk maju, setidaknya, itu benar dalam debat politik.

Umberto Eco, menuliskan esai “Menciptakan Musuh”, di buku Inventing the Enemy.

Umberto Eco pernah ditanya sopir taksi, dari mana ia berasal. Italia. Kemudian terjadi perbincangan standar: di mana Italia, berapa jumlah penduduknya, dst. Sopir taksi lalu ajukan pertanyaan berbeda, “.. Siapa orang-orang yang telah kita lawan selama berabad-abad atas klaim tanah, persaingan etnis, serangan perbatasan, dsb. Saya katakan kepadanya, kami tidak berperang dengan siapa pun. Dia jelaskan kalau dia ingin tahu siapa musuh sejarah kita, mereka yang membunuh kita, dan siapa yang kita bunuh.”

Cara sopir taksi dalam esai Eco itu, sangat mengerikan dan jujur, dalam memahami perjalanan suatu negara. Siapa yang mereka bunuh? Siapa yang membunuh mereka? Bisa tentang segala jenis serangan.

Pertanyaan itu membuat Eco berkesimpulan, salah satu kemalangan Italia selama 60 tahun terakhir adalah tidak adanya musuh nyata.

Eco sejalan dengan Plutarch:

Memiliki musuh penting tidak hanya untuk definisikan identitas kita, tetapi juga untuk beri kita hambatan dalam mengukur sistem nilai kita dan, dalam upaya atasi hambatan itu, untuk menunjukkan nilai kita sendiri. Jadi ketika tidak ada musuh, kita harus menciptakannya.

Jadi menurut Eco, musuh harus kita ciptakan.

Gagasan ini – bahwa kita harus menciptakan musuh – pada awalnya tampak menggelikan. Mengapa kita ingin melakukan itu – jika kita tidak memiliki musuh, yah, maka itu adalah hal yang baik – bukan?

Kalau saja itu negara, mungkin mudah kita cari musuh. Bagaimana kalau internet?

Siapa musuh internet? Semua orang suka internet. Mereka yang bilang “internet itu berbahaya” mengatakan itu di internet dan mereka sebarkan sendiri. Internet nyaris tidak punya musuh. Sampai-sampai kita kehilangan “nilai” internet yang penting. Dulu sekali, kita suka internet karena kecepatan, kualitas informasi, keterbukaan, konektivitas global, dan kebebasan bicara. Sekarang?

Pertimbangkan Internet. Siapa musuh Internet? Tidak ada seorang pun yang akan berdiri dan menyatakan secara langsung bahwa mereka menentang Internet, dan mungkin inilah salah satu alasan mengapa Internet perlahan-lahan kehilangan kualitas keterbukaan, konektivitas global, dan kebebasan berbicara yang dulu dipuji sebagai miliknya. manfaat terbesar?

Mungkin inilah sebabnya, orang-orang melihat Web 2.0 menyimpan dosa tak terampuni dalam hal monetisasi dan monopoli platform.

Orang hanya belum tahu dan menyadari teknologi Web 3.0 yang sudah mengubah dunia sekarang.

Musuh sebagai Narasi Sastra dan Agama

Musuh menciptakan narasi agar “sastra” dan “agama” sedikit menegangkan dan memancarkan daya tarik.

Sherlock Holmes menceritakan Moriarty, musuh besarnya, kepada Dokter Watson, sahabat Holmes, dengan deskripsi yang mencekam:

”Dia adalah Napoleon kejahatan, Watson. Dia adalah pengatur dari separuh kejahatan dan hampir semua yang tak-terdeteksi di kota besar ini. Dia adalah seorang jenius, filsuf, pemikir abstrak. Dia punya otak tingkat pertama. Dia duduk tak bergerak, seperti laba-laba di tengah jaringnya, tetapi jaring itu memiliki seribu pancaran, dan dia tahu betul setiap getarannya. Dia melakukan sedikit sendiri. Dia hanya berencana. Tapi agennya sangat banyak dan terorganisir dengan baik.”

Holmes menjadi detektif hebat karena musuh hebatnya, Moriarty.

Orang membenci kekosongan antagonis.

Begitu mata melihat pertandingan “live” sepak bola, insting bertanya, “Siapa melawan siapa?”.

Ketika baliho kampanye partai dipasang, orang bertanya, “Besok calon presiden siapa saja?”. Mereka bicara tentang “siapa lawan siapa”.

Di podium pengajian yang dihadiri ribuan emak-emak, musuh selalu disebutkan, “Jadi, musuh kita sebenarnya adalah setan.. yang membujuk kita untuk berbuat jahat, dan cara mengatasinya adalah..”.

Bayangkan, dalam forum seperti olah raga, politik, agama, tidak ada musuh. Akan seperti apa?

Agama membutuhkan “setan” sebagai pihak antagonis dalam narasi besar. Seperti Batman dan Joker.

Jika tidak ada musuh, maka musuh akan ditemukan, seperti kata Eco. Jika kamu tidak tahu siapa musuhnya, kamu mungkin menjadi musuhnya.

Musuh adalah..

Perangkat berpikir untuk membuat model keputusan yang lebih baik. Pencipta ketegangan dan narasi. Cermin untuk melihat “kelemahan” diri sendiri. Pihak yang membuat kita mengerti bahwa kontestasi tidak identik dengan kebencian. Narasi yang menghidupkan sastra, mitos, bahkan agama.

Mungkin, musuh kita impersonal. Sekalipun tidak bersosok, musuh seperti ini sangat nyata. Musuh impersonal mungkin lebih berbahaya.. Inefisiensi, defisiensi, kepercayaan lama, model mental yang tidak diperbarui, tidak mau “open mind”, bekerja terlalu sibuk, dll.

Punya musuh menjadi energi, bergantung pada cara kita kelola konflik itu.[dm]

Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis, konsultan media, tinggal di Rembang dan Semarang.