in

Foto Jurnalistik Melawan Ilustrasi

Media online butuh kecepatan. Begitu ada berita, 10 paragraf sudah memadai untuk berita-singkat (straight news). Kalau butuh penjelasan lebih lanjut, dilakukan berita berkelanjutan (running news). Dengan satu catatan: sebaiknya ada foto.

Kalau tidak ada foto, halaman depan (home) website, seperti kehilangan “sesuatu”. Jadi, secara teknis, kebanyakan website mengharuskan adanya “gambar utama” (featured image) yang bisa ditampilkan di slider atau sebagai gambar kecil (thumbnail) di halaman depan dan hasil pencarian.

Apalagi pembaca punya prinsip, “no photo is hoax“. Tanpa foto, tingkat kepercayaan (trust) pembaca bisa menurun. Foto menjadi faktor penting. Nggak keren kalau nggak ada fotonya. Pembaca bisa ragu. “Keharusan” ada foto, sudah menjadi bagian dari kode etik tersendiri.

Foto adalah berita. Bukan berita bagus kalau tidak ada fotonya. Singkatnya, berita “harus” ada fotonya. Apa yang terjadi kalau redaksi tidak punya foto?

Pilihannya ada 3 (tiga). Pertama, tidak pakai foto. Kedua, pakai foto lama. Inilah pentingnya stok foto lama, hanya saja, “kebaruan” dalam nilai berita sudah jelas terkurangi. Ketiga, memakai ilustrasi.

Media online, bukan hanya mengandalkan kecepatan. Media online juga bisa menyisipkan postingan dari tempat lain, seperti status Facebook, foto atau galeri foto Instagram, twit, dokumen pdf, sampai video YouTube. Belum disebut media online kalau suatu postingan belum berkemampuan menyisipkan “apa saja” ke dalam postingan.

Sayangnya, dalam workshop jurnalistik dan pelatihan menulis, tidak jarang “foto jurnalistik” dihadapkan secara diametral dengan “ilustrasi”.

Foto jurnalistik berpijak pada kejadian sungguhan, fakta, aktual, bukan rekaan. Sedangkan ilustrasi sudah dipengaruhi imajinasi redaksi, menampilkan sudut-pandang editorial, dan rekaan.

Tidak ada salahnya. Ilustrasi, sebenarnya bukan unsur yang enteng dalam sebuah berita. Coba lihat cover majalah cetak. Perhatikan, bagaimana majalah-majalah cetak yang punya laporan utama, terkait isu sosial, ekonomi, dan politik. Mereka lebih sering memakai ilustrasi. Dalam hal ini, ilustrasi, menampilkan sudut berita (angle), atau sikap redaksi (editorial).

Ini bukan perkara mudah. Butuh estetika, manipulasi foto, kalau perlu dengan sentuhan komikal, karikatural, yang bisa “bercerita”, “berdialog”, dan menampilkan pemandangan wacana. Ilustrasi, menjadi jembatan pengantar bagi pembaca tentang suatu isu hangat, terhadap “sikap” dan “sudut-pandang” redaksi.

Dalam peperangan, bukan politik dan penguasa yang meraih kemenangan abadi, melainkan para seniman. Perbincangan bisa abadi, kalau masuk ke ranah seni (art). Seni lebih permisif dalam menampilkan muatan politik, melalui ilustrasi foto. Donald Trump, Vladimir Putin, dan Jokowi, misalnya, tampil berbeda kalau sudah menjadi ilustrasi.

Pada jenis berita selain sosial dan politik, ilustrasi sangat mendukung keterbacaan suatu isu. Misalnya, ini berbentuk infografik, di mana data yang rumit bisa ditampilkan dengan mudah. Atau data yang sebenarnya berasal dari media lain, dengan sedikit modifikasi, diklaim sebagai “riset redaksi” atau “dari beberapa sumber”.

Jadi, sebenarnya problem mempertentangkan “foto jurnalistik” dengan “ilustrasi” itu lebih sering terjadi pada “berita-singkat” yang rajin adu cepat, selain persoalan teknis di media online. Kalau pada laporan mendalam (in-depth), ilustrasi tidak bisa ditinggalkan.

Kalau ada orang menuliskan “5 spot foto retro di Kota Lama Semarang”, apa yang muncul di awal postingan: foto jurnalistik atau ilustrasi? Atau “hasil survey elektabilitas calon gubernur Jawa Tengah”? Atau “pendapat netizen tentang pelanggaran pemasangan banner MMT di Kota Lama Semarang”? Fifty-fifty. Tidak menutup kemungkinan, ilustrasi masuk di situ, dan mendapatkan tempat yang layak dalam liputan mendalam. Kalau saya menyisipkan foto mbak-mbak yang lagi ngehit dari Instagram, dengan tampilan foto apa adanya (maksudnya, langsung dari akun mereka masing-masing, tetapi biasanya dapat yang wajahnya penuh tepung, kayak chicken, hasil editan pakai aplikasi gratisan), itu termasuk foto jurnalistik atau ilustrasi? Tergantung.

Yang jelas, berita harus faktual dan berdasarkan data. Namun, fakta saja, tidak cukup.

Orang butuh sesuatu yang “melampaui fakta”. Infografik, analisis redaksi, cover bergaya komikal, meme, screenshot, chirpstory yang tak tersusun selayaknya sebuah pemberitaan standar, adalah sederet contoh yang bukan-foto-peristiwa, kadang faktual kadang tidak, namun bisa sangat dipercaya pembaca.

Orang memprotes Ahok karena video hasil editing dan memicu gelombang protes. Orang mencintai kota, salah satu faktornya, karena melihat foto-foto tempat bagus dari Instagram, yang tidak disertai “keterangan foto” (caption) yang jelas.

Setidaknya, yang dianggap “ilustrasi” dan “nggak jelas” itu, bisa mengantarkan pembaca ke depan pintu gerbang kemerdekaan membaca suatu berita atau laporan mendalam. [dm]

Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.