in

Forensik Foto Digital

UJI KEASLIAN. Milyaran manusia bisa salah menilai, karena sebuah foto.

Menguji keaslian foto dan video itu tidak mudah. Kebiasaan buruk sering terjadi di medsos, menghilangkan keaslian foto. Artikel ini memberikan jawaban tentang forensik foto digital.

Foto original menjadi aset berharga bagi seorang fotografer profesional, traveler, pekerja [digital] forensik, dan aktivis media. Foto original bisa menjadi bukti (evidence) dalam kasus hukum.

Summary

  • Metode periksa exif/metadata dan reverse image (mencocokkan ke Google Image dan media sosial) itu bukan forensik).
  • Kebanyakan pemakai media sosial dan smartphone, tidak mengerti cara menjaga keaslian foto.
  • Anggapan Apollo 11 (NASA) tidak mendarat di bulan, berdasarkan pengamatan foto, membuktikan: 50 tahun orang bisa tertipu dengan foto. Fakta sebenarnya, dijelaskan dalam artikel ini.
  • Dalam banyak kasus, kesalahan uji forensik foto digital sering terjadi, dan dianggap benar.
  • Rekomendasi download aplikasi offline dan online untuk uji forensik foto digital.
  • Tutorial forensik foto digital dan link terkait, ada di artikel ini.

2 Metode ini Bukan Forensik Foto Digital

Berikut ini, beberapa metode menguji keaslian foto, yang sering beredar di internet, namun sebenarnya bukan forensik:

1. Memeriksa exif/metadata

Setiap foto memiliki “exif/metadata”, yaitu “rekaman aktivitas” foto.

forensik-foto-digital-android
CARA PLAYGROUP. Buka foto dari gallery > pilih “Details” > lihat info exif/metadata.

Jika foto itu asli, dari camera smartphone atau DSLR, maka akan ada informasi merk camera, pemakaian ISO, focal length, flash, dll. Jika geotag diaktifkan, bisa diketahui juga di mana foto tersebut diambil. Asalkan belum diedit.

Bisa menggunakan online tool “Jeffrey’s Image Metadata Viewer“.
Metode ini tidak berdaya pada foto yang beredar di media sosial, karena foto yang di media sosial sudah dianggap tidak asli.
Metadata dapat diubah dengan mudah, misalnya dengan Exif Tool untuk read, write, dan edit exif/metadata.

2. Reversing

Reversing berarti melacak-balik. Mencocokkan “foto ini” dengan foto yang sudah ada di website dan media sosial.

Ini artinya, mencocokkan foto ini dengan foto yang pernah diunggah di internet. Bisa dengan proses upload, bisa pula dari copy-paste URL yang langsung mengarah ke foto yang mau dibandingkan dengan foto yang sudah ada di internet.

TIDAK DISARANKAN. Google Image hanya mencocokkan foto dengan foto yang sudah ada, berdasarkan kemiripan bentuk, warna, dan lokasi. (Photo: Google).

Bisa memakai Google Image, bisa memakai TinEye untuk reverse pencarian gambar.
TinEye, sebagaimana Google Image, hanya bisa mencocokkan foto. TinEye tidak bisa menganalisis. Bahkan tidak tahu, di dalam foto ini ada “orang” ataukah “gunung”.

Forensik foto digital bukan hanya soal membaca exif/metadata dan mencocokkan foto dengan database foto yang sudah ada.

Mengapa saya tidak menyarankan kedua metode di atas?

Foto yang di-upload ke media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp) itu secara default menghapus “exif/metadata” foto. Selain itu, metode mencocokkan foto tidak bisa dilakukan jika foto tersebut belum pernah di-share di web atau media sosial.

Apa yang dituliskan dalam tutorial untuk melihat keaslian foto, jika hanya melihat “exif/metadata” dan mencocokkan foto, bukanlah bentuk forensik digital.

Analoginya begini: jika ada mayat, yang belum diketahui identitasnya, dan warnanya membiru, yang perlu dilakukan adalah “otopsi”, melihat organ-dalam, warna darah, dan apa yang menempel di tubuh korban. Bukan pergi ke toko racun atau menginterogasi semua orang dan meminta mereka mengaku.

Misalnya, saya memotret sebuah bangunan bersejarah, kemudian menambahkan sticker dan tulisan, “jalan-jalan sendirian”. Itu fotonya asli atau tidak? Kebanyakan orang menjawab, “Tidak asli, karena sudah diedit dengan menambahkan sticker dan tulisan.”.

Anggap saja, foto itu seperti mayat korban dari orang bernama X. Apakah kalau ia memakai gelang di tangan, atau tanpa gelang di tangan, identitasnya menjadi berubah? Tidak.

Daftar Kebiasaan Buruk yang Menghilangkan Keaslian Foto

  • Upload foto ke media sosial ke Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dll.
    Untuk membuktikan hal tersebut, silakan jalankan sebagaimana cara di atas: buka Instagram, buka Story, pilih “Focus”, lalu simpan.
  • Termasuk SS (screenshot). Keaslian foto hilang jika pakai screenshot, nggak bisa dipakai sebagai bukti. Jadi, percuma berantem dengan mengandalkan screenshot.
  • Memotret lalu langsung dikirimkan melalui chat WhatsApp.
    Misalnya, saya chat dengan seseorang, kemudian saya tekan gambar “camera”, ambil gambar, dan langsung mengirimkan kepadanya. Benar, itu dianggap tidak asli.
  • Upload foto ke Blogspot. Sebaliknya, jika memakai WordPress.com (ini versi blog, free, namun banyak batasan) file foto tetap di-upload sebagaimana adanya, bahkan dengan plugin Jetpack bisa menampilkan exif/metadata foto.
  • Membuka file dan menyuntingnya dengan Windows Photo Viewer. Apa saja, asalkan bentuknya sempat membuka, dan sempat menyunting, akan dianggap sudah memodifikasi.
  • Menyunting file foto menggunakan aplikasi di smartphone.

Jangan marah, memang begitulah kenyataannya. Jika kamu sering lakukan itu, ingatlah selalu: originalitas foto itu berharga. Simpan selalu foto asli.

Saya memotret dengan Instagram Focus di Story, kemudian saya simpan di folder /Instagram di Android Mi 6x. Foto tersebut dalam kondisi tidak saya beri filter sama sekali dan tanpa sticker. Setelah saya buka dengan tool exif/metadata, hasilnya: tanpa keterangan camera, spesifikasi pengambilan foto, dll.

Ini berarti bahwa foto tersebut, dianggap tidak-asli, walaupun sebenarnya asli.

Kasus Apollo Mendarat di Bulan

Saya akan tunjukkan, bagaimana sebuah foto bisa membuat orang percaya pada teori konspirasi.

Sebagian orang percaya, NASA mendarat ke bulan itu fiktif, ada yang bilang NASA meminta sutradara Stanley Kubrick untuk membuat “film dokumenter” tentang Apollo mendarat di bulan.

Ini mereka buktikan dengan pseudosains tentang teori konspirasi, bahwa tidak ada teori gravitasi, dan bumi itu datar. Saya tidak tertarik membahas ideologi mereka.

Ini ada video berisi pendapat pakar forensik foto dan video yang membuktikan bahwa NASA mendarat di bulan itu tidak mungkin “fake”.

Tahun 1969, teknologi video dan televisi belum canggih untuk mengakali publik. NASA belum punya CGI atau Photoshop. Jika dibandingkan dengan camera keluaran 2017, dengan kemampuan rekam HD sampai 5K dan perspektif 360, maka teknologi foto waktu itu sangat primitif. NASA membawa batu bulan sebesar 842 pound dan di-share kepada ilmuwan di seluruh dunia. Russia sudah lebih dulu naik ke bulan, pada tahun 1960, dan melalui satelitnya mereka tahu Apollo mendarat di bulan. Yang menguji, bukan hanya NASA. Jarak dari bumi ke bulan itu diukur dengan tembakan laser. Ada rumus dan perhitungannya, seberapa tepat jarak itu antara bumi ke bulan. Foto jejak di bulan, sampai sekarang masih ada, dan bisa dilihat detail dan penjelasannya di website NASA. Apollo dikerjakan selama lebih dari 1 dekade oleh 400.000 ilmuwan. NASA mengunjungi bulan sebanyak 6 kali, tidak hanya sekali.

Jadi, siapa yang bohong?

Masalahnya, di media sosial dan di pengadilan, forensik foto bukan soal berapa banyak orang percaya, tetapi bagaimana cara membuktikan fakta.

Pertanyaan mudah. Silakan analisis, apakah foto ini asli?

UJI KEASLIAN. Milyaran manusia bisa salah menilai, karena sebuah foto.

Boleh menebak, tetapi pengamatan mata masih kalah awas jika melawan piranti dan pemrograman yang canggih. Piranti digital fotografi dan pemrograman komputer, bisa mengenal milyaran warna dan menampilkan selisihnya. Bisa membaca jejak digital, walaupun exif/metadata sudah dihapus.

Kalau mau dibuktikan dengan “cari infonya di medsos”, pasti banyak informasi dari sekte bumi-datar yang mengiyakan bahwa NASA tidak pernah mendarat di Bulan. Jadi, banyak foto yang sama dan beredar, bukan berarti foto itu faktual.

Mata manusia, tidak memadai untuk menyingkap detail foto, tepatnya pada faktor-faktor perhitungan yang tak-terlihat, seperti: ELA (error analysis level), hidden pixel, tingkat kompresi .jpeg, dll.

Sebelum saya upload foto di bawah ini, saya telah meminta 15 kawan untuk menebak, apakah foto ini sudah mengalami manipulasi digital, atau belum. Ini fotonya.

15 orang itu menjawab, “Foto ini tidak asli”. Terlalu banyak yang kelihatan nggak nyata, seperti: warna pesawatnya, apinya, dan 3 pemadam di sebelah kanan itu seperti santai-santai saja. Sayangnya, menilai foto seperti ini, jelas mengabaikan fisik foto.

Kesalahan dalam Uji Forensik Foto Digital

Forensik foto digital itu pekerjaan rumit. Tidak ada 1 tool sekali klik lalu bisa memberikan hasil: “ini original”, atau, “ini sudah dimodifikasi”.

Kesahan yang sering terjadi dan cara mengurangi kesalahan berikut ini, dalam forensik foto digital:

1. Salah Bertanya

Orang sering bertanya, “Foto ini nyata atau tidak?”, atau “Apakah foto ini sudah dimodifikasi?”

Algoritma dan alat analisis hanyalah mengevaluasi gambar, terutama pada aspek yang tidak bisa dilihat dengan mata-telanjang manusia. Bukan menganalisis content fotonya.

Jika kamu memotret dokumen palsu, artinya: kamu memiliki foto asli yang berisi dokumen palsu. Algoritma dan pemrograman hanya mengidentifikasi perubahan digital pada gambar. Bukan “bagaimana” isinya.

Sesuaikan “fungsi” masing-masing fitur (error level analyis, hidden pixels, rate kompresi jpg, exif/metadata, dll.) dengan “pertanyaan teknis” terkait fitur itu. Misalnya, untuk melihat kompresi .jpg, pertanyaannya adalah: “seberapa tingkat kompresi foto ini”? Atau ketika melihat exif/metadata, pertanyaannya: “Apakah saya bisa melihat foto ini diambil dengan camera apa?”

Gunakan selalu metode berikut ini: amati, buat hipotesis, prediksi hasil, lakukan pengujian berkali-kali, kemudian evaluasi, dan laporkan hasilnya.

Forensik foto digital harus bisa menunjukkan bagian mana yang dimodifikasi; memberikan jawaban spesifik, bukan “penyimpulan”.

Setelah menjawab, cobalah mengujinya dengan bertanya, “Apakah ini satu-satunya jawaban yang bisa saya sediakan?”

2. Memaksakan Jawaban

Memaksakan jawaban di sini berarti menjawab tanpa pengujian. Yang umum terjadi: langsung mengatakan bahwa ini pasti editan (hasil penyuntingan), atau ketika diperiksa dari Explorer terlihat: pernah dibuka di PhotoShop.

Tugas analis forensik foto digital sebatas melihat terjadinya modifikasi, secara spesifik, atau memperlihatkan tingkat keaslian. Kamu boleh tidak menjawab, jika tidak bisa menjawab.

Kuasai apa yang sedang kamu kerjakan. Ini bagian terpenting. Sekalipun menggunakan tool canggih, tanpa tahu peristilahan dalam fotografi dan editing, tetap saja forensik bisa gagal.

Misalnya, analis amatir sering menganggap bahwa menurutnya banyak titik putih pada pengujian ELA (error level analysis) berarti foto sudah dimodifikasi. Padahal tidak demikian. “Putih” pada ELA berarti potensi “error level” yang lebih tinggi harus dibandingkan dengan tepi yang sama dan permukaan yang serupa dalam gambar.

Gambar rambut yang kontras dengan warna kulit dan telah mengalami penajaman (diatur dari kamera), bisa menampilkan area putih. Bukan berarti kepala itu dipasangkan ke tubuh orang ini.

Jika sebuah gambar pernah dibuka dengan PhotoShop, hanya untuk melihat exif/metadata, statusnya “telah disunting pakai aplikasi” Photoshop. Dianggap terjadi modifikasi, namun tidak mengubah gambarnya.

Bagaimana kasusnya jika foto ini berasal dari pengambilan RAW (mentah) dan pencahayaannya diubah melalui Adobe Lightroom CC?

3. Mengabaikan Ukuran dan Kualitas

Seorang analis forensik foto digital harus bertanya, “Dari mana gambar ini berasal?”.

Kualitas simpan gambar di media sosial (walaupun mereka punya fitur “HD” dan “high resolution”) itu rendah. Apalagi gambar itu di-share ulang memakai Android dengan resolusi di bawah 4K.

Media sosial hanya mendistribusikan. Artinya, dalam hal ini, sebuah foto berkemungkinan telah berkali-kali disimpan, berubah ukurannya, terkompresi, dll. Foto menjadi “rusak dalam pengiriman”.

Skenario kasus “rusak dalam pengiriman” dalam kebiasaan kirim-foto dari Android:

  • Orang memotret kawannya, kemudian ia share melalui aplikasi Facebook. Kita tidak tahu, apakah ia mengaktifkan modus “hemat quota” dari setting pemakaian data-internet di Android (ini berarti terjadi penurunan kualitas ketika mengirimkan), atau apakah di aplikasi Facebook ia mengaktifkan “upload dengan resolusi tinggi” atau tidak.
  • Singkat cerita, kawannya yang lain melihat gambar itu. Lalu ia save (simpan). Kita tidak tahu cara ia menyimpan foto ini. Apakah dengan “screenshot”, atau simpan begitu saja, atau ia simpan dari “tampilkan ukuran penuh”.
  • Setelah orang ini menyimpan foto tadi, ia kirimkan ke kawannya yang lain, melalui WhatsApp. Seperti kita tahu, WhatsApp juga punya pengaturan tentang resolusi gambar. Dan setahu saya, lebih banyak orang yang memilih mengirimkan foto sebagai foto (dari icon bergambar lensa-kamera di chat WhatsApp), #bukan sebagai “file” (yang berarti mengirimkan file foto ini sebagaimana adanya).
  • Setelah gambar ini diterima kawannya di sana, gambar ini dikirimkan-ulang ke Facebook miliknya, dengan cara entah seperti apa.
  • Kemudian, foto ini “bermasalah” dan mau diuji dengan forensik foto digital.

Intinya, modifikasi digital sering terjadi karena pemakai tidak tahu bagaimana menjaga keaslian foto.

Mereka upload foto tetapi belum tentu menyimpan aslinya. Mereka menyimpan aslinya tetapi belum tentu tahu bagaimana caranya mengirimkan file itu dalam bentuk asli.

Jika masih bisa mendapatkan aslinya, dapatkan aslinya.

4. Mengubah Konten (Menyimpan-Ulang, Editing, dan Anotasi)

Buat copy-an, jangan usik file asli selain hanya meng-copy.

Jika ingin membuat presentasi untuk pembuktian dan analisis, jangan pernah memodifikasi barang-bukti (evidence). Seorang analisis harus menjaga integritas dan keaslian barang-bukti.

Anotasi (seperti menambahkan teks di atas foto), sorotan (diberi lingkaran merah seperti thumbnail video alay di YouTube, dan modifikasi (misalnya, menerapkan filter), tidaklah membuat orang lebih bersimpati. Polisi menutup TKP dan petugas kehakiman tidak membeberkan bukti pada kasus-aktif, salah satu alasannya, karena menjaga integritas dan keaslian barang-bukti.

Pengubahan konten juga terjadi ketika fotografer atau media berita online menambahkan watermark atau anotasi di foto.

Kantor Berita Antara menerapkan watermark, banyak blog juga berlaku demikian.

5. Menangkap Screenshot

Foto “bermasalah” yang ditempatkan di dalam screenshot, juga berarti modifikasi, tanpa keaslian.

Bagi yang suka chat sambil bikin “screenshot”, dan menjadikannya sebagai “bukti”, perlu diketahui bahwa “screenshot” tidak bisa dijadikan bukti yang kuat. Sekali lagi, gambar yang dikirimkan sebagai gambar, melalui chat dan media sosial, tidak bisa dianggap asli.

Kalau misalnya kesulitan menyimpan gambar dari suatu website (misalnya, dari web Instagram dan Flickr), kemudian kamu potret, maka potretnya asli dan isinya belum tentu dianggap asli.

Content di web, sebagai tampilan, bisa dimanipulasi dengan cara mudah.

Jika kamu meminta orang lain untuk menunjukkan bukti, dalam bentuk foto, pastikan ia tahu bagaimana caranya memotret dan mengirimkan file asli. Bukan melalui screenshot.

Saya masih banyak menemui di chat orang malas menulis-ulang dan malas belajar menggunakan smartphone mereka. Dan mereka lebih suka screenshot.

Screenshot menghapus metadata dan ini berarti menghapus seluruh dimensi analisis forensik foto digital.

Simpan selalu foto dalam format jpeg. Kalau sangat penting dan benar-benar mau asli dan berkualitas, gunakan format file RAW.

Jangan menyimpan file dalam format .tiff karena beberapa file .tiff menggunakan enkripsi jpeg, kecuali untuk bikin desain.

Aplikasi yang ditangkap oleh screenshot, dapat mengubah gambar dengan menerapkan profile warna atau gamma correction. Apapun yang mengubah warna atau ukuran gambar, berarti modifikasi gambar.

Sebelum mempelajari cara forensik foto digital, ini dia hasil analisis kelas playgroup foto pemadam kebakaran di atas.

MELIHAT EXIF/METADATA. Disarankan sebagai langkah awal, namun tidak selalu bisa diterapkan. Media sosial menghapus data ini.

Foto di atas ada di berita “KCC’s Air Rescue Firefighter Trainer to train firefighters in Flint” (14/5/2013). Berdasarkan “fisik” foto dan informasi, silakan forensik foto digital dan lihat sejauh mana modifikasi terjadi.

Cara Ahli Forensik Foto Digital

Forensik foto digital bukan pekerjaan sekali klik. Biarpun ada tool atau aplikasi, bagian terberatnya adalah mengerti pengertian istilah yang berhubungan dengan forensik foto digital.

Berikut ini, tool dan tutorial forensik foto digital yang bisa kamu pakai.

1. .jpeg Snoop

Aplikasi .jpeg Snoop bisa decode file yang memuat gambar .jpeg tersemat, seperti: .jpg (foto jpeg), .thm (thumbnail dari foto atau video raw), .avi, .dng (digital negative raw), .psd (file PhotoShop), .mov, .pdf, dan tipe file raw.

Video seperti .avi dan .mov sebenarnya merupakan container, yang menyertakan video stream dalam codec. Aplikasi .jpeg Snoop hanya bisa membaca footage vide ini jika codec yang dipakai berbasis pada .mjpg.

.jpeg Snoop bisa mengidentifikasi foto yang sudah diedit dan memberikan informasi lengkap dari foto: quantisasi matriks tabel, chroma subsampling, perkiraan kualitas jpeg, tabel Huffman, exif/metadata, histogram RGB, dll.

Melalui website, .jpeg Snoop punya koleksi artikel tutorial forensik foto digital dengan komentar panjang berisi kasus-kasus menarik dari para ahli forensik foto digital.

2. Forensically

Saya sangat rekomendasikan Forensically. Tanpa register, punya fitur banyak, gratis sepenuhnya. Tinggal upload foto kemudian amati bagian mana yang dimodifikasi.

Tutorial Forensik Foto Digital

Biasakan memotret dan menyimpan file aslinya. Seminggu sekali, ada baiknya membackup foto-foto dari smartphone dan digital camera ke HDD external atau ke cloud (bisa di Flickr atau Google Photo) dalam kondisi foto masih asli. Akan saya tuliskan pada tutorial terpisah, tentang penyimpanan foto unlimited (tanpa-batas) di cloud.

Hindari kebiasaan buruk yang merusak keaslian foto, apalagi jika foto itu sangat berharga.

Foto asli bisa kamu buat dengan memotret menggunakan camera, bukan memakai aplikasi (yang berfungsi untuk mempercantik dengan presets dan filter). Jika mau mengirimkan melalui chat, kirimkan sebagai file, dengan klik icon “clip” (bukan icon kamera).

Sampai sekarang, saya jarang upload foto, namun memotret sudah metode untuk mendokumentasi kegiatan dan catatan harian saya. Dan selalu menyimpan foto-foto penting di HDD dan cloud, tanpa-batas (unlimited). [dm] 

Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.