SEMARANG (jatengtoday.com) – Koalisi berbagai organisasi yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) mendesak Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah membentuk Majelis Etik untuk mengusut tuntas kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh salah satu anggotanya yang berinisial SH.
Pelaku diduga melakukan perselingkuhan dan aksi kekerasan terhadap istrinya pada Maret 2021 di depan kedua anaknya yang masih dibawah umur. Kasus dugaan KDRT tersebut telah dilaporkan oleh Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah di kantor Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah pada Kamis (8/4/2021) lalu.
“Hal ini merupakan tindakan yang tidak pantas dan tidak etis sekaligus melanggar hukum. Terlebih yang bersangkutan adalah pejabat publik yang masih aktif di lingkungan Komisi Informasi Jawa Tengah,” ungkap salah satu juru bicara Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FoINI), Widi Nugroho, Selasa (13/4/2021).
Dijelaskan, Pasal 6 huruf a Peraturan Komisi Informasi Nomor 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Anggota Komisi Informasi Pusat mengamanatkan bahwa Anggota Komisi Informasi harus senantiasa menjaga diri dari segala perilaku yang tidak patut atau tercela dari sudut pandang norma hukum, norma kesusilaan maupun norma kesopanan.
Selain itu, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (Pasal 5), bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 11), dan Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana.
“Termasuk memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan sebagaimana Pasal 15,” ujarnya.
Maka dari itu, Koalisi FOINI, mendesak Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah membentuk Majelis Etik secara profesional, memiliki perspektif gender, akuntabel dan transparan untuk menangani laporan yang masuk sebagaimana diatur dalam PERKI Kode Etik.
“Kami meminta Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia untuk melakukan supervisi ketat atas laporan pelanggaran etik yang ditangani Komisi Informasi Jawa Tengah,” tegasnya.
Pihaknya juga meminta Komisi Informasi Pusat dan Provinsi agar berkoordinasi dengan Kepolisian, agar menangani laporan dugaan kekerasan yang masuk dengan segera dan bebas dari tekanan. “Komisi Informasi Pusat dan Provinsi agar berkoordinasi dengan Komnas Perempuan, melakukan supervisi atas laporan pelanggaran etik yang ditangani Komisi Informasi Jawa Tengah terutama pada aspek perlindungan terhadap perempuan,” tutur dia.
“FoINI merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR agar mempertimbangkan dan menerapkan nilai-nilai keadilan dan gender dalam proses seleksi Komisi Informasi dan pengawasan kinerja baik di tingkat pusat maupun daerah,” imbuhnya lagi.
Kepala Divisi Bantuan Hukum KJham, Nihayatul Mukharomah mengatakan, kasus tersebut sebetulnya telah berlangsung sejak lama, pertama dilakukan pelaku pada kurun waktu 2010 silam, dan pada April 2016. Puncak kekerasan terjadi pada Maret 2021. Pelaku menampar pipi korban, memukul kepala korban dengan botol minum ukuran 800 mililiter hingga botol tersebut terpental.
Dalam salah satu kejadian kekerasan tersebut, awalnya korban mendapati percakapan pelaku dengan perempuan lain di dalam handphone pelaku. Isi percakapan layaknya sepasang kekasih, hingga memicu cekcok.
Kasus tersebut sebelumnya pernah dimediasi oleh Komisi Penyiaran (KI). Waktu itu pelaku sebagai asisten komisioner dan difasilitasi oleh Ketua KIP Jawa Tengah waktu itu, Rahmulyo Adi Wibowo. Saat itu, korban ingin mempertahankan rumah tangganya.
Namun pelaku tetap saja melakukan kekerasan fisik terhadap korban.
Aksi kekerasan pelaku dilakukan dengan mendorong korban dan memukul hidung korban sebanyak 2 kali. Akibatnya korban berdarah hingga tercecer di lantai, pakaian serta sofa. “Ironisnya, kejadian itu dilakukan di hadapan anak-anaknya,” imbuh dia.
Tindakan tersebut, lanjut Nihayatul, melanggar Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. “Pelaku seharusnya memberikan contoh baik, karena dia sebagai komisioner KIP dan tentu saja paham hukum. Seharusnya dia menegaskan HAM dan demokrasi,” katanya.
Dia meminta agar KIP Jawa Tengah segera melakukan tindakan dengan memanggil dan memeriksa pelaku, membentuk dewan etik yang berperspektif gender. “Hasil pemeriksaan segera diserahkan kepada Komisi Informasi Pusat, serta Gubernur Jawa Tengah memberhentikan dengan tidak hormat pelaku sebagai anggota Komisioner KIP Jawa Tengah,” tegasnya.
BACA JUGA: Cegah KDRT di Tengah Pandemi, Warga Diminta Tak Takut Melapor
Sementara Ketua Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Sosiawan menyampaikan akan membawa permasalahan tersebut ke dalam rapat pleno komisioner. “Kami berharap permasalahan ini segera terselesaikan dan jangan sampai terulang lagi,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto