SEMARANG (jatengtoday.com) – Kasus dugaan korupsi PD BPR Bank Salatiga dengan terdakwa Retnaningtyas Herlina Prananta dan Jatmiko Nurcahyo kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (15/9/2020). Kedua terdakwa adalah mantan AO atau marketing di bank milik pemerintah tersebut.
Jaksa penuntut umum Kejari Kota Salatiga mendatangkan empat orang saksi. Salah satunya mantan Kasubbag Kas dan Pembukuan Bank Salatiga, Theodora Nina Riahta. Dia menjadi saksi atas pencairan dana nasabah oleh terdakwa yang ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi.
Menurut Nina, perbuatan culas kedua terdakwa mulai terendus pada 2016 lalu. Yaitu saat pihak SMAN 2 Salatiga selaku nasabah mempertanyakan jumlah saldo dan buku tabungan yang dibawa terdakwa. Ada indikasi dananya berkurang.
Pasca itu, Dirut Bank Salatiga memberi instruksi untuk melakukan audit tabungan SMA tersebut. Kesimpulan dari Satuan Pengawasan lnternal (SPI-sekarang audit internal) justru menunjukkan kelebihan saldo sekitar Rp50 juta, tetapi bukan uang milik bank.
Setelah diusut, ternyata tabungan milik nasabah atas nama Golge jumlahnya tidak sama dengan data di bank. Ada dugaan uang Golge digunakan untuk menutupi kekurangan tabungan SMAN 2 hingga terjadi kelebihan. Keduanya sama-sama nasabah yang diprospek oleh terdakwa.
Menurut Nina, Golge saat itu memiliki tabungan deposito sekitar Rp750 juta. Lalu ada pencairan sekitar Rp500 juta menggunakan slip penarikan. Oleh terdakwa didepositokan lagi. Lalu, ada penarikan lanjutan untuk kepentingan terdakwa dan sebagian didepositokan ke rekening nasabah lain.
Administrasi Tak Tertib
Berdasarkan prosedur di Bank Salatiga, penarikan deposito bisa dilakukan dengan cara nasabah datang langsung ke bank menemui customer service (CS). Atau bisa meminta bantuan petugas marketing yang dulu memprospek.
“Kalau syarat teknisnya biasanya ngisi formulir penarikan dan ditandatangani di atas materai. Kalau nasabah tidak bisa hadir, harus dilampiri surat kuasa. Ada batasan juga, jika mengambil lebih dari Rp100 juta harus ada persetujuan dari Kabag Operasional Bank,” paparnya.
Namun, saat itu tidak semua prosedur dilakukan. Sayangnya, sistem administrasi bank saat itu belum terlalu tertib. Persetujuan dari atasan juga hanya dengan lisan, tidak harus tertulis. “Dulu saya yang melayani pencairan tersebut dan sudah minta approval dari atasan juga,” ucap Nina.
Dalam kesempatan ini, Ketua Majelis Hakim Arkanu mempertanyakan form penarikan yang hanya ditandatangani terdakwa dan tidak dilampiri surat kuasa, kenapa bisa dicairkan?
“Ya itu tadi, Yang Mulia, karena dulu administrasi kami memang belum tertib. Saya percaya aja karena marketing kan memang yang berhubungan langsung dengan nasabah. Kalau soal surat kuasa biasanya bisa disusulkan hari lain,” jawab Nina.
Bobol Rp3,25 Miliar
Berdasarkan hasil audit dari Inspektorat Kota Salatiga, perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp3,25 miliar. Jumlah itu merupakan akumulasi dari penggelapan tabungan beberapa nasabah.
Selain menggelapkan tabungan SMAN 2 dan Golge, kedua terdakwa disebut melakukan modus serupa pada nasabah Rahmawati, Umi Hanik, dan Talita. Talita ini disebut mengalami kerugian hingga Rp2,2 miliar.
Jaksa penuntut umum Hadrian Suharyono mengungkapkan, pengusutan terdakwa Retnaningtyas dan Jatmiko merupakan pengembangan dari kasus awal yang telah menjerat mantan Direktur Utama Bank Salatiga M Habieb Sholeh.
Kasus Habieb Sholeh ini sudah divonis majelis hakim Tipikor Semarang dan sekarang statusnya sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, modus operandi yang dilakukan Habieb dengan kedua terdakwa tidak sama. (*)
editor: ricky fitriyantoÂ