Fyodor Dostoevsky menuliskan ini dalam Brothers Karamazov, “Yang terpenting, jangan berdusta pada diri sendiri. Orang yang berdusta pada dirinya sendiri dan mendengarkan kebohongannya sendiri, sampai pada titik di mana dia tidak dapat membedakan kebenaran di dalam dirinya dan kebenaran di sekitarnya, dan dengan demikian kehilangan semua rasa hormat untuk dirinya sendiri dan orang lain.”.
Ernest Hemingway mengaku tidak bisa selesaikan satupun buku Dostoevsky karena penulisannya buruk.
Dostoevsky memang bukan prosais penuh kata-kata berbunga. Dostoevsky bercerita tentang manusia, bagaimana manusia menghadapi diri mereka sendiri, pikiran mereka, akibat negatif dari tindakan mereka, dan menampilkan ekspresi rasa bersalah, kesendirian, dan isolasi.
Dostoevsky menawarkan kegelapan, perincian yang berat, eksplorasi tentang kemungkinan-kemungkinan, dan pikiran gelap manusia.
Dostoevsky bicara tentang “kesepian”. Kata yang ingin diatasi manusia modern, disanggah seni maupun media, sehingga banyak sekali artikel yang bicara tentang bagaimana membunuh sepi, mengatasi sepi, bahaya kesepian, dst. Ilmu pengetahuan modern mengidentifikasi pelaku kesepian. Smartphone untuk membuatmu selalu-terhubung, mengikis nostalgia, tidak ada “kemarin” lagi karena selalu ada proses refurbish terhadap realitas, apa-apa mudah terekam, tersimpan.
Kita hidup di kompleksitas budaya yang meningkat. Diri kita sosial melulu. Keluar dari rumah, menjawab pesan, menulis sesuatu, beribadah (yang penuh konsensus dan sejarah), perbincangan 2 orang, melihat feed media sosial, semua sosial melulu. Hanya di kamar mandi, kita sejenak tidak terlalu sosial.
Kita kehilangan interaksi sederhana dengan diri kita sendiri, sampai akhirnya menerapkan hampir semua norma sosial ke dalam diri sendiri.
Apakah wajar jika saya bertanya, tentang sistem kepercayaan? Apa yang terjadi dengan pikiran negatif saya ketika selalu saya damaikan secara sosial? Bagaimana suatu kata bisa saya perlakukan untuk diri sendiri, yang berbeda dari orang lain?
Kita terfragmentasi karena dominasi aspek sosial dan melupakan diri. Kita terfragmentasi karena jarang melakukan interaksi paling alami: mendengarkan kemauan diri.
Dostoyevsky menceritakan dunia sosial yang tidak menghukum.
Yang pertama kali menghukum adalah jiwa orang-orang yang merasa melakukan kejahatan. Mereka terpukul dengan kesadarannya sendiri. Mereka menyembunyikan kejahatan mereka dari orang lain. Kesadaran bahwa mereka tidak pernah bisa jujur sepenuhnya kepada seseorang, hasilnya adalah kegagalan melihat diri mereka sendiri. Mereka sendirian, terisolasi, bahkan ketika berada di dekat orang-orang yang tidak curiga kepada mereka.
Kita mengalami peralihan identitas. Beda di dunia kerja, beda di rumah ketika sendirian. Seringnya, kita bermain petak-umpet di dunia sosial, agar bisa bermain aman, untuk mendamaikan anggapan negatif, agar merasa tentram.
Cobalah menyelami kesepian. Bangun di malam hari. Sendirian. Buka dan tuliskan apa yang paling negatif dari pikiranmu. Bangun ketidaksetujuanmu terhadap norma-norma yang tidak perlu diterapkan pada dirimu.
Kamu punya waktu di mana dirimu bukanlah sepenuhnya produk dari kombinasi budaya yang sangat kompleks dan bersatu pada dirimu setiap saat. Tanpa berbicara dengan diri sendiri, kamu tidak tahu apa maumu.
Bagi saya, kesendirian adalah pencapaian. Saya tinggal di rumah sendirian, lebih banyak waktu tanpa bicara sepatah-katapun di dalam rumah, sampai saya keluar rumah. Saya punya waktu lebih dari 6 jam tidak membuka Android. Mandi 30 menit, kebanyakan merenung. Berjemur lama, sambil mendengar kicau burung di pepohonan (bukan di dalam sangkar!). Membuat drawing dengan pensil. Waktu di mana saya berbicara kepada diri sendiri.
Itulah waktu di mana saya terbebas dari penilaian sosial. Tidak mempedulikan penampilan. Tidak menilai orang lain. Mempertanyakan ide. Bicara dengan pikiran-pikiran negatif saya. Jujur kepada diri sendiri.
Tidak ada penangkal kesepian. Jika tindakan saya jujur, saya tidak punya ketakutan kepada siapapun. Saya bisa menikmati -100 Years of Solitude- karena mengalami perbincangan dengan nenek dan orang tua saya di rumah itu. Saya memahami hukuman mental yang diceritakan Dostoyevsky dengan menjalani kesendirian semacam itu.
Saya tidak membutuhkan penangkal untuk kesepian. Hasil terbaik dari kesepian dan kesendirian adalah melihat diri sendiri. Suatu tindakan yang sangat lama dilupakan kebanyakan orang ketika mereka selalu bersosial.
Blaise Pascal, matematikawan yang pernah diulas dalam buku Drunkard’s Walk, pernah berkata, “Semua masalah umat manusia berasal dari ketidakmampuan manusia untuk duduk-diam di suatu ruangan, sendirian.”. Benar, saya selalu heran, kepada orang-orang yang takut kesendirian dan kesepian.
Banyak kawan saya yang sedang mendekati perempuan yang ia sukai, melakukan “serangan” agar selalu terhubung. Texting, minta foto pap, video call untuk memastikan “sedang apa”, bercerita, mencari referensi dari kawan yang lain agar punya bahan pembicaraan. Semua itu ketakutan pada kesendirian dan kesepian. Cinta sudah direduksi menjadi hubungan seseorang dengan “obyek kasih-sayang” mereka, demi membuat dunianya tidak sepi dan tidak sendiri lagi. Padahal, Tuhan menciptakan perempuan tidak hanya sebagai pacar seseorang.
Kita membutuhkan satu kemampuan baru bernama mengatasi kesendirian.
Ketakutan pada keheningan wujud, takut bosan, menyeret orang kepada gangguan tanpa-tujuan. Kita tidak terlatih lagi mengatasi emosi, pikiran negatif, dan masalah dalam hidup, tetapi sebaliknya kita memilih zona nyaman sekalipun itu salah. “Saya begini saja. Saya mau seperti yang lain. Saya tidak kuat sendirian.”. Masalahnya, bukan siapa pacarmu. Masalahnya, bagaimana kamu mengatasi kesendirian.
Tidak pernah berhenti, iklan yang melintasi bawah-sadar kita, untuk selalu terhubung. Counter menjual paket data dan bonus telepon dan sms gratis. Media sosial menawarkan jasa untuk membuatmu terhubung, asalkan mereka boleh mengakses daftar kontakmu. Setiap kali belajar dan mengadakan acara, selalu ada kebutuhan untuk berjejaring. Buat jaringan. Kita bisa menjual jika dalam jaringan. Kita bisa diakui dengan internet. Terlepas dari aspek positif negatif di balik itu, cobalah renungi, bagaimana cara kamu menghadapi kesendirian.
Kesendirian bukanlah zona nyaman. Bukan sesuatu yang harus kamu capai, walaupun saya selalu bangga bisa menikmati waktu sendirian. Yang terpenting, apa yang kamu lakukan dengan kesendirian itu.
Kesendirian memancing kebosanan. Saya sangat senang ketika bisa bosan. Itu berarti, insting saya “jalan”. Bawah-sadar saya sedang mengatakan, “Keluarlah dari zona nyaman yang ini..”. Saya membutuhkan jelajah dan kedalaman baru. Bosan, dialami semua pekerja kreatif. Bosan adalah rangsangan untuk bertanya, melompat, dan berbeda. Bosan bisa kamu raba dengan kesendirian. Kita tidak kecanduan kalau kita bisa beralih dari keadaan “yang ini” berganti “ke sana”. Jangan sampai kita berkata kepada diri sendiri bahwa kita terpaksa menikmati kesendirian ini, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kesendirian ini.
Sendiri, sepi, tempat kamu menghadapi diri sendiri. Itulah waktu kita “menjadi”. Ketika “menjadi” (becoming), kamu bisa menjadi siapa. Kamu sedang ingin menjadi siapa itulah becoming. Bukan kamu ingin apa.
Sendiri, mengabaikan penilaian sosial. Artinya, bukan demi penilaian sosial. Sendiri, adalah waktunya. Sendiri kamu bisa mempertajam senjata, memperbaiki skill, berkarya. Saya sendiri untuk menyelami aspek “kebinatangan” (animality) dan menjelajahi pikiran negatif saya. Sendiri bisa membuatmu menemukan “angsa hitam”, sesuatu yang di luar pola dan mengubah hidupmu. [dm]