SEMARANG (jatengtoday.com) – Perjuangan ilmuwan asal Kota Semarang, DR dr Budi Laksono, begitu tak kenal lelah. Sejak tahun 2000 silam, ia menjadi salah satu sosok yang getol dan konsisten mengampanyekan gerakan pembangunan jamban atau septic tank.
Bahkan profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah ia tinggalkan dengan mengajukan pensiun dini. Dia kemudian memilih intens bergelut dengan persoalan Water Closet (WC) di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
Aktivitasnya telah menginspirasi banyak pihak untuk terlibat. Bahkan berbagai negara turut serta mengikuti jejaknya untuk bergerak melakukan pembangunan WC bagi masyarakat kurang mampu.
Mengapa Budi Laksono begitu dalam menghibahkan sebagian hidupnya hanya untuk WC? Sebab, kepedulian masyarakat hingga pemerintah terhadap jamban hingga sekarang masih sangat minim.
Padahal banyak orang terbunuh akibat penyebaran siklus virus biologi akibat pengelolaan feses yang tidak sehat. Penyakit paling berbahaya dan mengancam sejak zaman penjajah hingga sekarang.
“Nomor satu menyebabkan penderita masuk rumah sakit, yaitu penyakit tipus dan diare. Penyakit tersebut disebabkan adanya siklus penularan dari orang ke orang melalui kotoran manusia,” ungkap Sekjen International WC For All Organization ini kepada jatengtoday.com, Rabu (11/7).
Bahkan Indonesia paling buruk nomor dua di dunia setelah India. “Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 tercatat sebanyak 24 juta keluarga di Indonesia tidak memunyai jamban. Di 2017, berangsur berkurang menjadi 21 juta keluarga yang belum punya jamban. Tidak hanya di desa, bahkan di kota besar pun banyak warga yang tidak memiliki jamban,” kata dia saat koordinasi memersiapkan kegiatan jambanisasi ‘Caring For Nation 2’ yang dihelat Ikatan Alumni (IKA) Undip dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Yogyakarta.
Saat ini, ia sedang memersiapkan gerakan 20 juta WC For All di seluruh Indonesia. “Saya terlanjur malu, Indonesia ini terburuk nomor dua di dunia masalah sanitasi. Sebagai dokter, saya malu sekali,” ujarnya.
Sejak tahun 2000 silam, Budi telah aktif melakukan kerja sosial mengenai pengadaan jamban untuk masyarakat miskin. “Tesis saya 2001 di Australia juga tentang jamban. Polusi biologi yang paling berbahaya adalah polusi kotoran manusia. Polusi itu yang selama ini membunuh saudara-saudara kita akibat penyebaran virus,” katanya.
Ada beberapa faktor utama mengapa masyarakat masih minim memiliki jamban. Yakni kurangnya kesadaran, pendidikan, dan ekonomi. Tetapi, menurut dia, hal yang lebih penting adalah social environment.
“Maksudnya adalah peran birokrasi politik. Bagaimana mengentaskan masalah jamban ini tergantung pemerintahnya,” kata dia.
Lihat saja, sama-sama orang Melayu, Indonesia dan Malaysia, mengapa di Malaysia mereka memiliki jamban? Sedangkan di Indonesia masih banyak yang tidak memiliki jamban. “Tentu saja, ini karena minimnya kepedulian pemerintah. Maka yang seharusnya bergerak Pak Jokowi, Pak Ganjar, Pak Hendi, dan seterusnya,” katanya.
Ia bersama yayasannya telah banyak melakukan eksperimen pengadaan jamban di Semarang, Wonosobo, Kendal, Ungaran, Kudus dan lain-lain. Hasilnya menemukan konsep lebih murah, kemudian program ini diadopsi oleh TNI AD sehingga salah satu program TMMD di seluruh Indonesia adalah membuat jamban.
“Sejak 2015 hingga saat ini hampir 1 juta jamban dibangun oleh bapak-bapak tentara di seluruh Indonesia. Program ini masih akan terus berlanjut, kami sedang menuju gerakan 20 juta jamban. Ini menjadi bagian program ‘WC For All’ sebagai nomenklatur kami,” katanya.
Bahkan pada 2016 lalu, Budi Laksono nekat melakukan aksi jalan kaki dari Kota Semarang menuju ke Jakarta demi mengampanyekan gerakan jambanisasi. “Saat itu gerakannya bernama Walk For Toilet. Di Kendal, saya sampaikan ke Bupati mengenai data di Kendal yang belum memiliki jamban, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan seterusnya. Saya memberikan solusi ini-ini. Bukannya masyarakat disalahin karena nggak punya jamban. Tetapi negara harus memimpin keluarga itu agar mempunyai jamban,” paparnya.
International WC For All Organization yang ia dirikan saat ini telah menginspirasi para aktivis sosial di berbagai negara. “Kami memiliki perwakilan di Australia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Jepang dan Republik Mozambik Afrika Selatan,” imbuh dia. (abdul mughis)
editor : ricky fitriyanto