SEMARANG (jatengtoday.com) – Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi penyebaran wabah virus corona dinilai tidak tegas. Di satu sisi, pemerintah “meliburkan” atau dikenal dengan istilah “Work From Home” bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Non ASN, mengimbau masyarakat “di rumah saja”, physical distancing, mengeluarkan larangan mudik, dan lain-lain. Namun di sisi lain para buruh tetap dipekerjakan oleh perusahaan.
Pemerintah dinilai tidak memiliki sikap tegas terhadap perusahaan yang tetap mempekerjakan karyawannya. Sedangkan penyebaran virus Covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari hari ke hari. Hal itu membuat para buruh khawatir.
“Maka dari itu, kami menuntut liburkan para buruh, karena mereka dan keluarganya rentan terhadap penularan Covid-19,” ungkap juru bicara buruh di Kota Semarang, Aulia Hakim, Senin (30/3/2020).
Dikatakannya, sejak ditetapkan menjadi bencana nasional tanggal 15 Maret 2020 oleh pemerintah, kasus positif Covid-19 terus mengalami kenaikan. Berdasarkan www.covid19.go.id, pada 15 Maret 2020 tercatat 117 kasus, hingga 30 Maret 2020 pukul 15.32 WIB, di Indonesia tercatat 1.414 positif, 75 sembuh, dan 122 meninggal. Secara global, penyebaran virus corona ini meliputi 199 negara/kawasan, terkonfirmasi 738.562 kasus, dengan kematian total 35.006 orang.
“Melihat tingginya angka kematian akibat kasus Covid-19, mau nggak mau membuat pemerintah harus berjuang ekstra keras untuk mengatasi pandemic covid-19 ini,” ungkapnya.
Sejauh ini pemerintah mengeluarkan imbauan “kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah”, harapannya dapat mengendalikan penyebaran covid-19. Bahkan diperkuat dengan keluarnya Maklumat Kapolri No: MAK/2/III/2020 Tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Covid-19 pada 19 Maret 2020.
“Namun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah masih setengah-setengah melaksanakannya,” ungkapnya.
Ketidaktegasan pemerintah bisa dilihat ketika para perusahaan tetap dibiarkan mempekerjakan karyawannya di tengah pandemi global seperti sekarang ini. “Pemerintah diam saja ketika buruh masih tetap bekerja. Padahal mereka juga merupakan golongan yang rentan terhadap penularan covid-19,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi dan Umum (FSP KEP) Jawa Tengah, Ahmad Zainuddin mengatakan buruh sangat rentan terhadap penyebaran virus corona ini. “Tetapi dengan alasan menjaga stabilitas ekonomi nasional, buruh ‘dipaksa’ untuk terus bekerja. Sekali lagi buruh menjadi ‘korban’ dari kebijakan pemerintah. Mereka berpotensi menularkan virus kepada keluarganya di rumah,” katanya.
Lebih lanjut, kata Zaenudin, di tengah gencar-gencarnya bangsa Indonesia melawan virus covid-19, DPR RI malah secara sembunyi-sembunyi menggelar rapat paripurna dengan tatap muka. “Ini sangat menciderai demokrasi dan pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan oleh rakyat. Rakyat dipaksa untuk tetap berada di rumah dan dilarang berkumpul,” katanya.
Dikatakannya, virus covid-19 sekarang memang menjadi momok menakutkan bagi buruh, namun sebetulnya yang hal paling menakutkan bagi buruh adalah bayang-bayang pengesahan Omnibus Law dalam sidang paripurna DPR RI.
Pihaknya khawatir, di tengah pandemic covid-19 ini, justru dimanfaatkan untuk mengesahkan RUU Omnibus Law. Tentu hal tersebut patut diwaspadai. “Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ketabrak pula. Lagi-lagi buruh dikorbankan,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto