SEMARANG (jatengtoday.com) – Distribusi bantuan sosial (bansos) sembako di Kota Semarang masih dipertanyakan sejumlah pihak. Pasalnya, menyeruak kejanggalan data yang sempat ditampilkan di website bappeda.semarangkota.go.id.
Data di situs resmi pemerintah tersebut mencatat ada atas nama perseorangan yang menerima bansos sembako hingga 13 kali sejumlah 4.250 paket sembako dalam kurun waktu empat bulan.
Data yang tidak wajar tersebut juga mengindikasikan adanya praktik penyalahgunaan bansos. Peran orang-orang yang tertulis di daftar penerima bansos tersebut justru menyerupai penyalur bansos.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang Muthohar menyatakan bahwa tidak ada istilah penyalur bansos. Proses distribusi bansos melalui mekanisme dan verifikasi data secara ketat.
“Tidak ada istilah penyalur bansos. Bahkan ketetapannya harus by name by address. Yang bisa mengaudit adalah pihak kelurahan. Misalnya ada warga yang sudah meninggal mendapat bantuan, itu kelurahan yang harus aktif untuk mengupdate data tersebut. Dinsos tidak berhak untuk itu,” katanya, Kamis (10/12/2020).
Dia menjelaskan, bedanya bantuan sosial tunai (BST) dan Bansos APBD Kota Semarang adalah BST berdasar Surat Keputusan (SK) Kemensos, sedangkan Bansos Pemkot Semarang SK Wali Kota. “Atas dasar apa? Usulan dari RT RW. Tidak mungkin Dinsos tahu alamat si A si B dan seterusnya,” ungkap dia.
Muthohar memastikan, data penerima bansos adalah by name by address. Maka apabila ada keterlibatan tokoh tertentu yang berperan sebagai penyalur bansos adalah tidak sesuai aturan. “Kalau memang ada tokoh tertentu, panjenengan silakan tunjukkan, saya malah matur nuwun. Nanti saya akan mengecek di lapangan,” ujarnya.
Penentuan warga penerima bansos, lanjut Muthohar melalui mekanisme yang ketat. “Daftar penerima bansos itu harus melalui musyawarah kelurahan. Unsurnya ada LPMK, RT, RW, Lurah dan lain-lain, apakah warga tersebut pantas atau tidak untuk dimasukkan. Dinsos mengubah data itu tidak bisa. Yang bisa adalah IT kelurahan,” terangnya.
Sejak September, Oktober, November dan Desember, konsep penyaluran bansos berbeda dari sebelumnya, yakni menggunakan sistem kartu rekening. Warga yang berhak akan menerima dalam bentuk kartu.
“Mulai September beralih ke kartu bekerjasama dengan BNI. Uang APBD diserahkan ke bank, kemudian dibagikan ke masyarakat yang membutuhkan. Nilai isi rekening tersebut Rp 100 ribu. Kalau sembako yang pertama dulu nilainya Rp 80 ribu. Kemudian naik menjadi Rp 100 ribu setiap paket sembako. Tahap pertama berasnya dua setengah kilogram, kemudian bertambah menjadi 5 kilogram,” katanya.
Dinsos, lanjut dia, tidak mempunyai warga. Pendataan warga dilakukan di lingkup RT, RW dan Kelurahan. “Jadi, yang tahu skala prioritas adalah Pak RT. Data masuk, setelah itu baru kami olah. Pengajuan dari RT harus disesuaikan dengan NIK. Sehingga gampang kalau dicari,” terang dia.
Dulu, lanjut dia, pada bansos tahap pertama yakni Maret, berfokus pada data warga yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Selanjutnya ada surat edaran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa diperbolehkan mengambil di luar dari DTKS. “Karena data dampak covid itu kan bisa berasal dari PKL, karyawan yang kena PHK, ojek online dan lain-lain,” katanya.
APBD Kota Semarang untuk bantuan melalui kartu ini per bulannya senilai Rp 13 miliar. Dimulai sejak September, Oktober, November, Desember. “Per orang Rp 100 ribu, dengan jumlah 130 ribu warga by name by address berdasarkan usulan dari RT RW,” katanya.
Warga bisa saja menerima berturut-turut selama warga tersebut memang masuk kategori membutuhkan. “Yang tidak boleh itu kalau menerima dua-tiga kali di bulan yang sama. Kalau tiga bulan berturut-turut boleh,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto