SEMARANG (jatengtoday.com) – PT Pura Nusapersada dan PT Pura Baturama sebagai anak perusahaan PT Pura Group, digugat atas dugaan pelanggaran hak cipta hologramisasi atau kinegramisasi pita cukai rokok oleh Kasim Tarigan (87) selaku pencipta.
Kuasa hukum PT Pura, Dr Pramudya berpendapat sepertinya undang-undang tentang hak cipta perlu diperbaiki agar lebih detail. Sehingga, ketika ada yang bersinggungan tentang hal itu, implikasi hukumnya juga akan jelas.
Kasus tersebut berawal ketika Kasim Tarigan menciptakan suatu pengaman untuk cukai rokok. Seiring berjalannya waktu, ciptaan tersebut ternyata banyak dipalsukan.
Lantas, Kasim Tarigan membuat karya tulis tentang ciptaannya itu yang berjudul ‘Hologramisasi atau Kinegramisasi Pita Cukai Tembakau atau Rokok’ yang selanjutnya didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI Kemenkumham dengan nomor 021812 sejak tahun 2001.
Dalam hal ini, PT Pura Nusapersada disebut mencetak dan menggabungkan cukai rokok dengan hologram sejak tahun 1996. Namun, Kasim Tarigan yang mengklaim sebagai pemegang hak cipta, tidak diberi imbalan apapun meskipun karyanya sudah dipakai.
Karena itu, Kasim Tarigan kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Semarang. Saat ini sidang sudah memasuki tahap penggalian keterangan saksi ahli.
Terakhir, ada dua ahli yang dihadirkan. Yakni dosen Universitas Diponegoro Semarang, Budi Santoso dan dosen Universitas Airlangga Surabaya, Rahmi Jened.
Kuasa hukum tergugat, Pramudya menyatakan bahwa teknik hologram yang dipermasalahkan ini sebenarnya sudah ada dalam skala internasional sejak tahun 1948. Hal tersebut didasarkan pada keterangan ahli di persidangan.
“Lalu pada tahun 1993 ada orang yang bercerita bahwa hologram baik untuk pita cukai. Tapi kan tulisan itu klaim. Padahal sebelum tahun 1990 kami sudah produksi,” tegas Pramudya.
Kecuali jika PT Pura menggandakan karya tulis dari Kasim Tarigan yang 30 lembar tersebut, Pramudya memaklumi jika kelak perusahaan kliennya digugat.
Lebih jauh dijelaskan, kerancuan ini salah satunya disebabkan ketidakjelasan Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Maka dari itu, sejak awal Pramudya mengusulkan agar undang-undangnya direvisi.
Dia mencontohkan terkait sesuatu apakah menimbulkan hak atau tidak. Sifatnya deklaratif. Orang mendaftarkan untuk sementara dia punya hak. Tapi perlu diingat, hal itu bisa dibatalkan jika terbukti tidak asli.
“Akibatnya kalau tidak kan seperti ini, orang cuma ngimpi, nulis sesuatu yang nggak dijelaskan bagaimana bisa diaplikasikan, lalu ada perusahaan yang sudah jalan, kemudian digugat, kan repot,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Pramudya bahkan menantang pihak penggugat. “Nanti akan kami buktikan, siapa kami. Kami ini perusahaan besar. Nah penggugat siapa? Punya perusahaan saja nggak!” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Kasim Tarigan, Andreas menjelaskan, sebelum perkara ini bergulir di pengadilan, pihak penggugat sudah berusaha menyelesaikan baik-baik dengan menemui pimpinan Pura Barutama.
Upaya itu sudah dilakukan sejak 2005. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada tanggapan sama sekali, apalagi mendapat royalti atas ciptaannya.
Bahkan, kata Andreas, penggugat justru kehilangan hak ciptanya yang sudah didaftarkan di Ditjen HKI. “Penggugat sudah mengajukan blokir ke Ditjen HKI, namun tetap terjadi pengalihan hak atas nama Feybe Fince Goni,” katanya.
Oleh sebab, itu, selain menggugat dua anak perusahaan PT Pura Group, Kasim Tarigan juga menggugat Ditjen HKI Kemenkumham dan Feybe Fince Goni.
Dalam gugatannya, penggugat menuntut uang ganti rugi sebesar Rp 500 miliar.
Uang tersebut sebagai pengganti royalti yang harus dibayarkan oleh PT Pura selama periode 2005 hingga 2019. (*)
editor : ricky fitriyanto