SEMARANG (jatengtoday.com) – Hakim Pengadilan Niaga Semarang dilaporkan ke Badan Pengawas (Bawas) Hakim Mahkamah Agung (MA) atas dugaan pelanggaran kode etik hakim. Laporan juga ditujukan ke Komisi Yudisial dan KPK.
Pelapornya adalah Dody Ariadi, pengacara dari seorang pengusaha di Semarang berinisial BD. Saat ini, BD sedang menjadi termohon dalam perkara permohonan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) nomor 32/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga.
Pada kasus itu, majelis hakim yang terdiri Bakri (ketua), Asep Permana dan Eko Budi Supriyanto (anggota) menolak eksepsi BD. Sebaliknya, hakim mengabulkan permohonan pailit dari pemohon.
Dody selaku pengacara BD menilai putusan tersebut janggal. “Kami laporkan majelis hakimnya karena putusannya memperlihatkan adanya kepentingan,” ujarnya, Selasa (2/3/2021).
Kejanggalan bisa dilihat karena sebelumnya telah ada dua gugatan PKPU dengan subjek dan objek yang sama. Yaitu perkara nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Smg dan nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Smg yang amar putusannya menolak permohonan pemohon.
“Putusan kedua perkara sebelumnya itu telah berkekuatan hukum tetap. Anehnya, muncul gugatan ketiga dan majelis hakim malah mengabulkan gugatan itu,” kritik Dody.
Padahal, katanya, anggota hakim pemutus juga terlibat pada putusan dua perkara sebelumnya. Seharusnya, hakim melihat dan mempertimbangkan hal itu pada saat memutus gugatan yang ketiga.
Disamping itu, Dody menyebut majelis hakim telah mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Di antaranya keterangan para saksi yang dihadirkan dari pihak termohon.
Saaat ini kasus tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Sebab, pihak Dody juga sedang mengajukan upaya hukum kasasi di MA.
Dikonfirmasi terkait pelaporan hakim, Humas PN Semarang Eko Budi Supriyanto mengaku belum tahu. Menurutnya, kalau ada pelaporan biasanya dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan majelis hakim atas perkara yang disidangkan.
“Ya biasa kalau hakim itu mesti jadi objek pelaporan karena ada yang tidak puas,” ujarnya.
Eko mengatakan, putusan hakim tidak bisa memuaskan semua pihak. “Kalau fair tentunya yang kalah akan menggunakan upaya hukum yang telah disediakan oleh undang-undang,” tandasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto