SEMARANG (jatengtoday.com) – Hingga 2019, Dinas Perdagangan Kota Semarang mengeklaim telah merevitalisasi sebanyak 35 pasar tradisional dari total 52 pasar di Kota Semarang. Sehingga saat ini masih menyisakan sebanyak 17 pasar tradisional belum direvitalisasi.
Sebanyak 17 pasar tradisional yang belum direvitalisasi tersebut akan dituntaskan hingga 2021 mendatang.
“Saat ini, totalnya sudah ada 35 pasar (direvitalisasi). Sisanya ada 17 pasar akan dilanjutkan 2020, karena 2019 ini memang tidak ada pembangunan atau revitalisasi pasar tradisional. Kami fokus untuk proses pembongkaran PKL Banjir Kanal Timur dan penataan Blok C Pasar Johar,’’ kata Kepala Dinas Perdagangan Kota Semarang, Fajar Purwoto, Selasa (19/3/2019).
Dikatakannya, biaya revitalisasi pasar tradisional ini memang cukup besar. Maka tidak cukup hanya mengandalkan APBD Kota Semarang yang terbatas. “Kami juga akan mengajukan anggaran ke pemerintah pusat melalui dana alokasi khusus (DAK) dan dana bantuan tugas pembangunan (BTP). Targetnya, 2021 mendatang semua pasar tradisional selesai direvitalisasi,” terangnya.
Fajar mengaku setiap pembangunan pasar melibatkan pedagang dalam perencanaan. Namun fenomena yang terjadi justru setelah pasar dibangun, pedagang malah tidak mau menempati.
“Kami sudah komunikasi dengan pedagang. Idealnya, memang pembangunan pasar tradisional di Kota Semarang maksimal berlantai dua,” katanya.
Terkecuali pada pembangunan Pasar Wonodri, pihaknya terpaksa membangun tiga lantai karena keterbatasan lahan. Sedangkan jumlah pedagang cukup banyak. “Ini sebagai upaya agar bisa mengakomodasi semua pedagang,” katanya.
Salah satu pedagang, Nur Hamidah (45), mengaku senang pemerintah melakukan penataan pasar tradisional. Namun hal yang disayangkan, revitalisasi pasar kerap tidak sesuai kebutuhan pedagang. “Tidak usah saya sebut bisa dilihat sendiri, banyak contohnya, pasar setelah selesai dibangun malah sepi. Kenapa tuh?” katanya.
Menurutnya, pedagang pasar tradisional memiliki ciri khas khusus, aktivitasnya berbeda dengan pasar modern, bahkan desain pasar tidak bisa disamakan dengan mal berlantai tingkat. “Pasar tradisional bisa ditata rapi, tapi jangan dipaksa untuk di-modern-kan layaknya mal,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi C DPRD Kota Semarang, Wachid Nurmiyanto sebelumnya menilai, manajemen pengelolaan pasar tradisional kurang profesional. Sehingga muncul adanya fenomena pasar mangkrak setelah direvitalisasi.
“Ini menjadi persoalan serius apabila tidak mendapat penanganan. Pemkot, dalam hal ini Dinas Perdagangan Kota Semarang, harus memiliki terobosan untuk menyiasati agar tidak terjadi pasar mangkrak,” kata Wachid.
Menurut dia, fenomena tersebut terjadi bukan persoalan salah desain. “Bukan persoalan salah desain. Saya melihatnya hanya butuh terobosan agar pedagang tetap mampu menyedot masyarakat melakukan aktivitas ekonomi di pasar tradisional,” ujarnya.
Salah satu pasar tradisional yang telah direvitalisasi tapi hingga kini mangkrak adalah Pasar Rejomulyo atau “Pasar Kobong”.
Pemkot Semarang telah membangun gedung baru yang berlokasi tak jauh dari Pasar Kobong. Namun pedagang Grosir Ikan Basah menolak pindah di bangunan baru tersebut.
Alasannya, bangunan baru tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi pedagang grosir ikan basah, atau tidak cocok untuk operasional kerja pedagang grosir ikan basah. Pada saat proses pembangunan, pedagang grosir ikan basah tersebut merasa tidak pernah dilibatkan. (*)
editor : ricky fitriyanto