Warung nasi Makpi nggak pernah ngiklan di medsos. Pembelinya, sejak saya masih SD, mulai sebelum keponakan saya sebelum lahir, sampai sekarang sudah menikah. Sering terlihat, nenek datang bersama cucunya, ada yang jalan kaki (dekat rumah) sampai bermobil (luar kota). Buka tidak lama, dari jam 17.00-21.30, setiap hari selalu “kelarisan”. Habis.
Hanya sedikit orang yang mengerti rahasia dapur Makpi. Sepertinya, orang nggak terlalu peduli itu. Mereka tidak peduli kalau salah satu rahasia dapur Makpi adalah.. masak di pawon, dengan kayu bakar, bukan di atas kompor.
Warung ini semacam keajaiban, yang menjadi penyelesaian untuk mereka yang “tidak bisa memasak”, “tidak sempat memasak”, dan ingin merasakan menu yang dimasak dengan cara tradisional.
Dan “tradisional” di sini berarti.. Proses khusus. Bukan kemasan instan. Organik. Higienis.
Kalau perhitungan dilakukan dari rumitnya cara masak tradisional dan hasil siap-saji yang sangat enak, beli di Makpi lebih murah daripada masak sendiri. Cocok untuk lidah dari anak-anak PAUD sampai kakek-nenek.
Yang lebih menarik, cara Makpi memperlakukan pembeli. Dia (dan anaknya) sangat tahu (dan ingat) selera pembelinya, satu per satu. Siapa yang suka soto, opor, urap, kadar kepedasan, seberapa banyak nasinya, dan mau minum apa, dia ingat semua.
Saya pernah rutin setiap jam 19.30 selama 30 menit makan dan berbincang-bincang di Makpi untuk mengamati beberapa hal. Bagaimana psikografi pembeli di warung Makpi? Seperti apa Makpi memperlakukan data konsumen? Akhirnya, saya mengerti, memang jenis warung seperti ini perlu perjalanan panjang untuk punya lapisan konsumen tersendiri.
Mari kita lihat fenomena lain.
Seorang anak kecil, berumur 6 tahun, memakai smartphone untuk menonton video kuliner di YouTube.
“Sepertinya sedap sekali. Ini namanya apa, ya?”. Roti berlapis sayuran, ada irisan daging giling pipih, dan pilihan saus asam dan keju. Video itu menceritakan cara membuatnya, bahannya apa saja, serta seni penyajian (gastronomi), dengan dukungan videografi yang mengundang selera.
Dia tahu, itu namanya “hamburger”. Anak ini sudah akrab dengan mobile learning. Dia mencari dari “Okay Google”, di mana ada hamburger di sekitar rumah tinggalnya. Aha! Ketemu.
Bisa pesan lewat ojek online.
Ada ratusan konsumen seperti ini: belum pernah datang ke penyedia makanan, namun sudah bisa membeli dari rumah. Dia bisa bercerita, mengapa memilih hamburger, ada apa di dalamnya, apalagi menceritakan bagaimana rasanya.
Terjadi setiap hari. Ojek online dapat data yang sangat berharga. Makanan apa yang paling banyak dibeli? Kamu boleh tanya ke beberapa pengemudi ojek online. Ayam geprek, termasuk “most wanted” di Rembang. Di Semarang Barat, lain lagi.
Singkatnya, data ini sangat berharga. Aplikasi ojek online sudah secara otomatis mencatat mana saja yang dikunjungi untuk antarkan pesanan konsumen.
Data yang sangat berharga. Seandainya data seperti ini “dijual”, kepada orang yang akan mendirikan warung yang paling diburu orang satu kota, pasti harganya mahal. Mungkin inilah yang membuat Makpi tidak mau menceritakan rahasia konsumen yang datang ke warungnya.
Promosi, zaman sekarang, terjadi dalam bentuk outsourcing. Tepatnya, menjual apa saja juga dalam bentuk outsourcing. Kamu tidak bisa memproduksi sendiri dan menjual sendiri, kalau masih butuh online dan promosi dari mulut ke mulut.
Semua pihak terlibat. Hanya untuk menjelaskan apa itu “hamburger”, banyak youtuber membuat video tentang hamburger (terutama jika jenis makanan ini ngehit). Untuk keinginan “makan”, seseorang bisa minta pesan-antar. Semua pihak dapat keuntungannya masing-masing. Ada yang dapat pay per click, ada yang dapat pembeli, ada yang dapat bonus dari ongkir, ada juga yang dapat tambahan Rp5.000,00 dari konsumen, dst.
Warung tradisional, seperti warung Makpi, sebenarnya memiliki data yang sangat berharga, seperti milik ojek online. Dia tahu apa selera pembelinya. Kita sedang bicara tentang penyajian “custom”, di mana seberapa pedas dan seberapa banyak benar-benar harus tepat.
Seandainya ada penyedia menu serupa, menggunakan data seperti ini, tentu mereka akan lebih mendatangkan pengunjung.
Tentang rasa dan bagaimana cerita membuat resep masakan unik, saya pernah tuliskan di Berburu Resep Bebek Resto. Bisnis aneh kawan saya dalam menjual resep bebek resto. Jalan panjang membuat brand.
Indonesia tidak seperti negara-negara Eropa. Indonesia bebas mendirikan warung dan tempat jajan, tanpa izin usaha. Tidak ada pantauan ketat tentang standar mutu, selagi masih berbentuk kuliner. Dan masih banyak warung tradisional, nasi goreng gerobak dorong, penjaja makanan keliling, yang di depan pasar, bebas merdeka berjualan.
Di balik seratus duaratus rupiah dari harga makanan online itu, terbayarkan untuk Instagram, Facebook, WhatsApp, karena mereka butuh ngiklan di sana. Sembari tanpa sadar para penjual memberikan data ke medsos.
Selagi tidak unik dan mengandalkan seperti apa yang orang lain punya, bisnis dapat dengan mudah tenggelam. Terutama, dalam menguasai data konsumen.
Siapa yang menguasai “data konsumen” mereka? Siapa yang tiba-tiba mendirikan warung baru dan mengambil-alih konsumen lain? Hari ini meledak es teh korea, besok tergantikan kopi a la kafe, dan semuanya bermuara pada satu hal: data konsumen.
Mereka yang menguasai data, yang akan menang dalam persaingan bisnis. [dm]