in

Cerita Nyata, Bagaimana COVID-19 Menghapus Kecerdasan Anak

Pandemi COVID-19 tidak lagi membuat siswa berurusan dengan absensi dan ujian dari rumah. Mari gali lebih dalam. COVID-19 membawa pendidikan ke kondisi “darurat”. Banyak kecerdasan hilang, berurusan dengan koneksi internet yang dikuasai swasta luar-negeri.

8 Kecerdasan, Mana yang Hilang?

Ada banyak kecerdasan. (1) Kecerdasan linguistik, berkaitan dengan bahasa, kosa-kata baru, kemampuan bercerita, membaca, dan memberikan instruksi detail kepada orang lain. (2) Kecerdasan matematika, berhubungan dengan angka, penerapan rumus, riset saintis, cara-kerja sesuatu, dan permainan yang melibatkan strategi. (3) Kecerdasan visual-spasial, berkaitan dengan pandang-ruang, desain, kemudahan mengenali tempat-tempat baru, “membaca” gambar, dan permainan 3 dimensi. Ketiga kecerdasan itu, selalu ada di tes IQ. (4) Kecerdasan kinestetik, berkaitan dengan gerakan, bahasa tubuh, aktivitas fisik, dll. (5) Kecerdasan audio-musikal, berkaitan dengan kesukaan memainkan alat musik, mendengarkan, bernyanyi, mengingat “sonic profile“, dan chapter dari suatu lagu. (6) Ada lagi, kecerdasan interpersonal, yang dicirikan dengan kesukaan aktivitas “permainan” dengan anak-lain, memberikan nasehat, mendengarkan keluhan, empati, dan memimpin kawan-kawannya. (7) Berikutnya, kecerdasan intrapersonal, dideteksi orang tua dan guru: anak suka menyepi, jarang berbicara, punya koleksi tertentu, bisa mengingat mimpinya, memiliki kemampuan keras, mandiri, dan dapat mengukur nilai kurang dan lebih dirinya. (8) Kecerdasan naturalis, sering terlihat menyatu dengan lingkungan-hidup, senang menyelidiki dan menemukan hal baru dari alam dan belajar dari alam.

Identifikasi: “Normal” itu Tidak Ada

Tidak ada anak yang sepenuhnya normal. Semua anak pasti unik. Jangan memaksa anak menjadi normal, hanya karena berurusan dengan 3 jenis kecerdasan pertama. Tenang, anak Anda sebenarnya cerdas. Hanya di bagian mana saja dan bagaimana orang tua dan sekolah mengembangkan kecerdasan ini.

Sepenuhnya, bukan ada di tangan internet. Anak tidak bisa cerdas hanya dengan mengakses WiFi penuh, tanpa pengawasan orang tua dan sekolah.

Anak bisa memiliki lebih dari 1 kecerdasan dominan dan tidak harus diarahkan hanya ke 1 jenis kecerdasan. Misalnya, seorang anak yang selalu suka menari, sebenarnya memiliki kecerdasan audio-musikal dan kecerdasan kinestetik.

Cara mendengar bagi anak yang suka menari, berbeda dari anak pada umumnya. Ingatan dan cara mereka mengisi waktu, sangat berhubungan dengan dua hal: suara dan gerak. Mereka bisa mengingat serangkaian gerakan panjang, bahkan menghubungkan apa yang pernah mereka dengar dengan suatu kejadian. Mereka kebanyakan mengalami ADHD (gangguan hilangnya-perhatian). Selalu ingin bergerak ketika diajak berbicara, sangat aktif, dan “seperti” tidak mendengarkan ketika diajak berbicara. Ia hanya mau memperhatikan dengan cara “bergerak”. Begitu pula, mereka yang ingin traveling dan pandai bercerita setelah berpergian, atau tidak pernah bermain ketika di pantai. Bisa jadi, mereka ini memiliki kecerdasan naturalis yang kuat.

Pelajaran untuk Kecerdasan

Kecerdasan ini sudah diterjemahkan sekolah menjadi subject (mata pelajaran) yang membuka pintu-bakat siswa. Bukan hanya 1 kecerdasan dominan. Pelajaran menggambar, menyanyi, olahraga, matematika, bahasa, semua itu memiliki “peringkat” yang sebenarnya sama. Begitu pula ekstrakurikuler fotografi, menari, marching band, memiliki peluang sama baik dalam mengurus kecerdasan anak. Mereka sendiri yang akan menjadi manusia utuh, dengan pilihannya.

Wajah Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19

Masalahnya, datang COVID-19 yang tidak pernah diprediksi akan menjadi “pengubah permainan” (game changer) dalam dunia pendidikan. Pada sisi lain, internet sudah bermain lama dalam dunia pendidikan di sekolah. Keadaan berubah drastis ketika pendidikan di masa pandemi COVID-19 membutuhkan kesaktian internet.

Internet global dirintis pemerintah AS dan dikembangkan Silicon Valley, dengan regulasi atau akuntabilitas, menjadi semacam “negara feodal perusahaan” berisi platform raksasa penyedia layanan internet. Mereka bersaing merebut perhatian publik. Kita sering membicarakan internet, yang dikuasai platform perusahaan-perusahaan besar, yang berarti internet yang mengalami privatisasi. Pekerjaan jaringan, sirkulasi data, dan komunikasi, dalam frame privatisasi ini.

Pandemi COVID-19 mengharuskan protokol kesehatan berupa “Adaptasi Kebiasaan Baru” (sebagai ganti dari “new normal”) membuat komersialisasi dan privatisasi internet semakin menguat. Di balik wajah lugu anak-anak yang sedang belajar, terdapat pagar dan jalinan informasi, berlabel perusahaan komersial, yang sangat menentukan keberhasilan belajar mereka. Keberhasilan anak, ditentukan alat mereka, yang dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa.

Mari mendaftar perusahaan apa saja yang ada di rumah, terkait “sekolah dari rumah”: Alphabet (yang punya YouTube), Google, Netflix, TikTok, Facebook, WhatsApp, Microsoft (yang punya Microsoft Word, Excel), dan Adobe. Perusahaan tersebut sekarang menjadi pembentuk ekosistem pembelajaran dari rumah. Dan lagi, perusahaan operator seluler yang menyediakan paket data untuk “belajar dari rumah”.

Anak, Koneksi Seluler, dan Paket Data

Anak-anak menggunakan paket data dari operator seluler (Telkomsel, Smartfren, XL, Indosat, 3) untuk pembelajaran. Mereka pergi ke WiFi gratis di sekitarnya, jika ada masalah jaringan dan koneksi. Ini berarti, kebanyakan siswa masih mengandalkan beli pulsa paket data untuk belajar. Sebagian besar belum memiliki koneksi internet broadband.

Fakta lain, jaringan dengan kecepatan 100Mbps ke atas belum merata. Alias ​​belum bisa “nyalur”. Adanya properti publik, yang bisa diandalkan adalah WiFi dan tempat publik (tempat ibadah, taman, dan kafe).

Baca: Panduan Mengadakan Webinar

Koneksi semakin penting, dan menjadi fasilitas publik yang berharga, dalam pembelajaran. Ini menjadi prasyarat (bukan syarat) dalam membuat kelas virtual.

Georgia, negara bagian di Amerika, menyiasati ini dengan mengubah “bis sekolah” yang biasa menjemput anak-anak, menjadi media koneksi internet, namun belum merata.

Bagaimana dengan Indonesia? Internet belum merata. Kantor instansi dan tempat publik, atau kafe dengan fasilitas free WiFi, belum bisa diakses gratis sepenuhnya untuk belajar. Harga paket data, masih mahal, kalau kita hitung berdasarkan harga per giga dan jam akses. Silakan hitung, berapa paket data yang kamu butuhkan untuk belajar di rumah, per pelajaran, lalu tambahkan kebutuhan paket data untuk mengerjakan PR.

Koneksi menjadi “benteng terakhir” bagi anak-anak untuk mengikuti protokol kesehatan sekaligus tetap belajar.

Gangguan teknis selalu terjadi. Baru sedikit sekolah yang memiliki website khusus untuk pembelajaran. Situs sekolah sering down. Kesulitan mengumpulkan tugas. “Distraction” (gangguan-perhatian) terjadi ketika siswa harus mengumpulkan melalui WhatsApp, Google Drive, atau email. Ransomware. Kesalahan laptop. Pembatalan kelas. “Saya belum siap, di sini ada gangguan.”.

Aplikasi, Koneksi, dan Hilangnya Kecerdasan

Zoom menjadi pilihan nyata untuk mengadakan video (karena kinerja mudah, dan cepat dipersiapkan). Saya memakai Facebook Messenger untuk konferensi karena kemudahan share screen, tanpa ribet mengatur firewall. Semua punya opsi, hanya saja yang perlu dicatat: laptop, Android, dan koneksi menjadi faktor komunikasi selama belajar dari rumah.

Administrasi, sering memperlama durasi “terhubung”. “Absen dulu. Abdul Mughiz hadir?” Abdul Mughiz tunjuk jari. Kerjakan sekarang. Setelah 30 menit, “Coba tunjukkan dan beri nama di kertas pekerjaan kalian.”. Abdul Mughiz, nomer absen 3.

Beberapa subjek pembelajaran, sangat sulit dilakukan secara online. Misalnya, menyanyi (bergilir). Sekali lagi, harap diingat, pelajaran “menyanyi” menjadi medan terbaik untuk membuka kecerdasan audio-musikal. Pintar di kecerdasan ini, sama berharganya dengan pintar matematika dan berbahasa Inggris.

Platform semacam Zoom atau Google Meet, menjadi bencana bagi pelajaran musik.

Platform semacam Zoom atau Google Meet, menjadi bencana bagi pelajaran musik. Kita tahu, dalam pelajaran musik, “mendengar” sesi yang serius. Pelajaran yang sesuai dengan resolusi 360p (data terkonsumsi, jika memakai resolusi 720p dan 1080p itu lebih mahal). Guru “tidak mungkin” melakukan koreksi langsung. Kalau tebakan untuk menangkap, berarti ini bukan pembelajaran, melainkan penugasan. Tidak ada koreksi di tempat.

Zoom secara default menyabotase segala macam tampilan yang sinkron dan simultan.

Zoom secara default menyabotase segala macam tampilan yang sinkron dan simultan. Siapa yang #sedang berbicara, itulah yang tampil. “Jika tidak sedang berbicara atau tidak diminta berbicara oleh Bu Guru, tolong dibisukan dulu.”. Bagaimana kalau video dimatikan ketika Bu Guru sedang berbicara? Bu Guru akan marah, “Jangan bermain sendiri. Saya sedang berbicara.”.

Beberapa anak, dengan perilaku “berbeda” antara ketika sedang di sekolah dan rumah, mengalami “kejutan budaya” (culture shock) ketika belajar dari rumah.

Secara umum, mereka berbeda konteks dan zaman dari orang tua mereka. Anak sekarang terlahir #setelah internet, sedangkan kebanyakan orang tua terlahir sebelum ada internet. Anak sekarang sudah dalam tahapan kecepatan pembelajaran m-learning (mobile learning), sementara guru mereka baru dalam mainstream “e-learning”. Secara teknis, anak-anak sekarang lebih cepat dalam belajar.

Bagaimana dengan anak-anak yang mengalami ADHD (penyimpangan gangguan-perhatian), disleksia, dan autisme? Apakah platform teknologi komunikasi dan privatisasi internet ramah bagi mereka? Tidak.

Hanya sebagai pengingat, mereka juga siswa yang membutuhkan perhatian.

Bagaimana mungkin, industri terkaya dan inovatif, kelas dunia, mereplikasi pengalaman pembelajaran tak-sempurna, seperti konsep “belajar dari rumah” ini, bisa memudahkan perhatian guru kepada anak-anak berkebutuhan khusus?

Apakah ada fleksibilitas dalam pembelajaran? Kita tahu, keadaan di rumah, sering tidak mendukung. Orang tua yang seharusnya siap mendampingi belajar. Orang tua tidak berdaya menghadapi PR matematika berapakah 17% dari 300?

Algoritma pengiriman juga bermasalah. Dengan bahasa yang lebih mudah, “komunikasi” selama pembelajaran online terjadi, mengalami masalah. Mari membuat sebagian daftar masalah ini.

Pelajaran olah raga? Pelajaran menyanyi? Secepat apa pesanan-langsung dapat dilakukan? Saya sering bertanya kepada anak-anak dan orang tua, “Selama pelajaran olahraga, bagaimana cara guru kamu mengajar? Bagaimana dengan pelajaran menggambar?”.

Bayangkan, seperti apa yang terjadi ketika seorang Guru ingin menilai pekerjaan siswa. Aplikasi Android dengan OpenCV library, misalnya, dapat memindai (scanning) tulisan dalam potret menjadi teks. Kalau ada 40 siswa, penilaian langsung membutuhkan aplikasi. Dan belum tentu, guru (dan orang tua yang membantu anaknya) memahami konsep ini.

Siswa mengakali tugas dengan pencarian di Google. Apakah guru memiliki kemampuan memiliki kemampuan mendeteksi copy-paste? Algoritma pengiriman sangat penting.

Apakah siswa dan sekolah harus menunggu perbaikan platform aplikasi dari perusahaan bisnis teknologi atau mengandalkan kesiapan negara di sektor pendidikan dalam mengatasi masalah “sekolah dary rumah”?

Perusahaan komersial teknologi lebih sering memenuhi permintaan barang pribadi daripada barang publik. Jika perusahaan operator seluler berbagi paket data, itu sebenarnya hanya seperti memberikan barang untuk konsumsi pribadi.

Sistem pendidikan kita sudah memiliki banyak masalah sebelum ada pandemi COVID-19. Kita berharap, nilai-nilai pendidikan, seperti “memanusiakan manusia”, akses universal, kebangsaan, menghormati privasi anak, dll. tetap menjadi prioritas. Bukan dengan beradaptasi terhadap “kemudahan” yang dimainkan perannya oleh perusahaan komersial dan privatisasi internet seperti sekarang. kukannya karena kemampuannya untuk mempelajari kontur selungkup dan lokasi objek yang dicari.

Tenang, Anak Anda Sebenarnya Cerdas

Tenang. Anak Anda sebenarnya cerdas. Hanya persoalan bagaimana orang tua mau menemani mereka dan memperjelas panduan dari guru mereka. Dan mengingat guru harus pintar adaptasi dan improvisasi selama COVID-19 masih seperti hari ini, sebaiknya mulai mempertimbangkan kembali arti “kecerdasan” dan masa depan murid mereka.

Yang harus siap ketika “belajar di rumah” bukanlah anak-anak itu. Mereka dibiarkan, tetap ingin belajar. Anak-anak PAUD yang masuk tahun ini, mengerti sekolah adalah “sekolah dari rumah”, ditemani orang tua mereka. Di balik wajah-wajah lugu mereka, ada banyak perusahaan yang bermain untuk mendominasi sistem belajar mereka. Google, Zoom, Microsoft, YouTube, dll.

Orang tua dan guru yang menjadi benteng pertahanan terakhir mereka, agar tetap bisa belajar tanpa mengabaikan kecerdasan yang-lain. [dm]