“Jadi pendapatan kami tidak menentu. Tergantung ramai atau tidak. Kalau pas ramai bisa melayani hingga delapan kali, bahkan hingga lima belas kali dalam semalam. Kalau ramai seperti itu, semalam bisa dapat tiga jutaan. Kalau sepi, seminggu bisa dapat lebih dari UMR Kota Semarang (Rp 2,4 juta),” terang EN yang mengaku dua tahun bekerja di Lokalisasi Argorejo.
Tingginya pendapatan harian belum tentu karena banyaknya melayani pelanggan yang datang. Namun tak jarang ada satu dua pelanggan bermurah hati memberikan uang dengan nilai yang banyak. Pelanggannya juga berasal dari berbagai kalangan, baik PNS, karyawan, hingga pengusaha. “Banyak, semua kalangan, polisi dan tentara juga ada sebagian. Tarif itu juga tergantung mbak-mbaknya. Kalau mungkin merasa cantik dan masih muda, tentu bisa saja mematok tarif mahal. Tapi standarnya emang Rp 150 ribu. Apalagi harga-harga juga naik terus kan mas,” katanya.
Ia mengaku nyaman di Resosialisasi Argorejo, karena tempat tersebut telah tertata dan terkonsep secara rapi. Terdapat pemeriksaan kesehatan secara rutin, pelatihan untuk program pengentasan, program menabung setiap bulan, dan sejumlah kegiatan positif. “Ada pendampingan dokter, dan berbagai pelatihan,” katanya.
EN mengaku juga berkeinginan untuk keluar dari dunia kelam tersebut. Namun hal itu butuh waktu. Pelatihan-pelatihan keterampilan yang selama ini diberikan belum ada tindak lanjut secara konkret. “Hanya sebatas pelatihan doang. Ya boleh ditutup, tapi jangan spontan, kasihan kan mas. Seumpama wali kotanya punya pemikiran bagus, mbok ya pelatihan keterampilan itu ditindaklanjuti untuk diberikan kios dan modal buat buka usaha,” ungkapnya.
Adapun uang pesangon Rp 5,5 juta yang rencananya akan diberikan oleh pemerintah dari Kementerian Sosial (Kemensos), dinilai tak akan membawa manfaat signifikan. “Langsung dilepas, cuman dikasih uang saku Rp 5 juta, ya jelas tidak cukup lah. Lima juta bisa buat apa?” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah memang bisa dengan mudah menutup tempat lokalisasi. Tapi ia memprediksi praktik prostitusi tetap akan berjalan liar di luar secara bebas. “Jadi umpama kemudian banyak kejadian pemerkosaan, HIV tak terpantau, mungkin itu bagian dari dampak. Di Dolly (Surabaya) pun ditutup, setelah ditutup apakah tidak ada prostitusi? Ada. 100 persen tidak hilang, mereka praktik dari belakang. Saya pernah survei di sana juga,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto