EN sendiri mengungkapkan tak pernah bercita-cita bekerja sebagai seorang wanita pemuas hasrat pria hidung belang. Namun himpitan ekonomi dalam perjalanan hidupnya memaksanya untuk terjun di dunia kelam. “Pertama kali datang ke Semarang diajak teman dengan tujuan mencari pekerjaan pasca cerai dengan suami,” beber ibu dua anak, asal Wonogiri Jawa Tengah ini.
Berkat hubungan temannya, ia diminta bekerja di sebuah tempat karaoke di Gambilangu (GBL), perbatasan Semarang-Kendal selama empat bulan. Dari situlah, ia mengenal dunia malam sebagai pemandu karaoke. Sebagai perempuan kampung, EN awalnya masih lugu. Namun aktivitas harian di lokasi hiburan malam memaksanya untuk mencicipi bergelas-gelas minuman keras.
“Tidak sadar, waktu itu saya mabuk minuman keras. Aku dibawa ke kamar oleh seorang lelaki. Setelah sadar, aku nangis telah digituin,” ungkapnya.
EN mengaku tidak bisa berbuat banyak. Ia sempat mencari kerja lain. Namun hidup di kota metropolitan tak semudah apa yang dibayangkan. Apalagi bagi perempuan asal kampung yang hanya lulusan SD. Terpaksa, pekerjaan sebagai wanita penghibur pun ia lakoni demi sesuai nasi. “Tadinya enggak tahu kerjanya kayak gini,” katanya.
Rupanya ia ketagihan karena pekerjaan yang ia lakoni ternyata “enak” dan menghasilkan cukup banyak pundi-pundi uang hingga ia terdaftar resmi sebagai anak asuh di bawah binaan seorang “mami” di Lokalisasi Argorejo. Kesehariannya, ia pun melayani pria hidung belang di atas ranjang.
Tarif standar sekali servis di Lokalisasi Argorejo paling sedikit Rp 150 ribu. Tarif itu bisa lebih, tergantung kesepakatan transaksi. Di hari biasa, ia bisa melayani antara 3-5 pria hidung belang yang menjadi pelanggan di lokasi wisata seksual di Semarang tersebut. Setiap transaksi, dipotong Rp 30 ribu untuk mami. Kalau karaoke per-jam Rp 60 ribu, dipotong mami Rp 20 ribu, dan operator per jam Rp 5 ribu.