SEMARANG (jatengtoday.com) – Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun, sepertinya memang layak disebut menjadi tokoh seribu cerita. Ia bersama kelompok musik Kiai Kanjeng telah melanglang buana ke seluruh nusantara hingga berbagai negara di dunia.
Ia juga menjadi tokoh sentral sebagai “bapak” sekaligus “embah” yang selalu mengajak berpikir melalui cerita. Mengenai apa saja tentang kehidupan di hadapan jutaan jamaahnya yang dikenal dengan sebutan masyarakat Maiyah di setiap daerah.
Termasuk cerita asal muasal nusantara, Indonesia sekarang, hingga prediksi simulasi Indonesia ke depan. Sampai di titik ini, Cak Nun pun masih melihat Indonesia dalam kondisi kritis dan terpuruk. Bahkan bentuk tata negara yang diterapkan di Indonesia dinilai tidak jelas. Pelaksanaan tata negara Indonesia dinilai tidak bisa membedakan antara negara dan pemerintah. Tapi nyaris semua orang tidak peduli akan hal itu.
1. Jika Tak Menyesuaikan “Rundown” Tuhan, Endingnya Indonesia Pasti Hancur
Cak Nun mengurai dari titik nol, hidup di dunia ini semua bermula dari Tuhan. Bahwa tidak ada satupun sesuatu di dunia ini yang bukan dari Tuhan. “Dunia ini kan bikinan Tuhan. Tuhan punya karep (keinginan), punya rundown dan punya konsep. Tapi manusia (sekarang ini) punya rundown sendiri yang tidak menyesuaikan diri dengan rundown-nya Tuhan. (Kalau kondisinya seperti ini terus menerus), endingnya pasti hancur. Indonesia pasti hancur,” ungkap Cak Nun.
Kondisi Indonesia sudah sedemikian karut marut. Bahkan Indonesia, di mata Cak Nun, bukan Indonesia. “Wong tidak mau menjadi dirinya sendiri, kirik gak gelem dadi kirik (anjing tidak mau menjadi anjing), kucing menjadi macan, macan menjadi cacing, cacing ingin jadi kambing, kambing kepengin jadi sapi. Kita sama sekali tidak menjadi diri kita sendiri. Orang Indonesia sing penting iso nyekolahke anak, iso motore anyar, mung ngono kui thok uripe (yang penting bisa menyekolahkan anak, motornya baru, hanya seperti itu hidupnya). Itu saya juga tidak percaya, masak Indonesia seperti itu? Ini kan bangsa yang besar. Filosofinya berabad-abad unggul dibanding Yunani, dibanding China Kuno, Mesir Kuno, kita ini lebih hebat,” katanya.
“Indonesia ini bukan Indonesia, kalau saya pikir. Proklamasinya banyak kesalahan, teks-nya tidak dibuktikan, Undang-Undangnya ya Belanda. Cara berpikir kenegaraannya ya Barat, tidak ada faktor Indonesia sama sekali, menurut saya. Tapi itu semua dianggap tidak penting,” ungkapnya.
2. Jokowi dan Prabowo, Semua Saya Sayangi.
Cak Nun, salah satu dari sembilan tokoh yang merekomendasikan agar Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden Indonesia pada 1998 juga melihat sesuatu yang sangat berbeda dengan Indonesia saat ini. “Saya tidak pernah mempersoalkan Jokowi, Prabowo, tidak pernah saya apa-apakan. Mau datang ke Kadipiro (rumah Cak Nun) di Yogyakarta, saya terima meskipun digagalkan oleh Tuhan. (Jokowi) Empat kali, Prabowo dua kali. Yang tidak digagalkan Ma’ruf Amin. Semua saya terima. Semua saya sayangi,” katanya.
Ketika ditemui orang-orang ‘penting’ pun, Cak Nun tidak serta merta blak-blakan membuka semua hal permasalahan tentang Indonesia. “Apa yang saya ketahui tidak semua pasti saya omongkan. Karena belum tentu orang sakit kalau dikasih tahu sakitnya terus sembuh, tidak. Jangan-jangan dia malah lebih sakit lagi karena tak kasih tahu sakitnya. Atau dia marah sama saya, atau malah dia tidak mau diobati,” bebernya.
3. Indonesia Bukan Indonesia, lantas versi Cak Nun Seperti Apa?
Kalau Indonesia selama ini bukan Indonesia, lantas Indonesia versi Cak Nun seperti apa? “Itu yang saya khawatirkan, kalau saya ngomong, tidak ada orang yang percaya. Saya sudah nulis ribuan (artikel), saya sudah ngomong kepada jutaan masyarakat, juga tidak pernah keluar di media massa,” katanya.
Di situs CakNun.com misalnya, ia menyebut terdapat 45 tulisan tentang syarat menjadi Presiden Indonesia menurut pemikiran Cak Nun. “Saya tidak ingin terkenal Rek. Saya sudah capek terkenal. Masuk toilet saja diajak foto sepuluh kali. Jadi, saya itu capek juga. Tapi kok tidak bermanfaat (bagi Indonesia), kan eman saya kasih makanan tidak ada yang memakan. Pandangan saya tentang Indonesia tidak diperlukan. Sudah ribuan menulis tentang Indonesia,” katanya.
Cak Nun melihat pemikirannya tentang Indonesia selama ini tidak menarik dan tidak penting bagi media massa. Bahkan aktivitas rutin “belajar bareng” Cak Nun bersama Kyai Kanjeng yang telah ribuan kali berkeliling Indonesia dan berbagai negara, setiap acara dihadiri puluhan ribu audiens, sangat tidak populer untuk dibahas media maupun dimuat media massa.
“Wong Indonesia, Gusti Allah mrene ae lho, nggak dimuat koran. Tapi kalau Nabi Muhammad mateni uwong baru keluar koran,” sindirnya.
4. Presiden Soekarno Anak Siapa Saja Anda Tidak Peduli
Biar 40 ribu orang kumpul berbuat baik, belajar membaca masa depan Indonesia, selama ini tidak ada yang diberitakan media massa Indonesia. Sebab, media massa Indonesia menyukai hal yang buruk.
“Kita ini belajarnya pinter untuk memberitakan hal yang buruk-buruk. Kalau ada orang pukul-pukulan bisa muat. Tapi kalau orang berbuat baik, apanya yang mau diberitakan. Jadi, kebaikan sudah tidak menarik di Indonesia. Maka orang Indonesia akan mendapat keburukan, karena kebaikan sudah tidak menarik. Kerukunan tidak menarik, bentrok yang menarik. Bad news is good news kan begitu, lha monggo,” katanya.
Dari ribuan tulisan Cak Nun tentang pemikiran idealnya Indonesia, dia mengaku memelajari betul tentang ke-Indonesiaan. “Saya pelajari bener-bener Indonesia itu. Anda tahu, bapaknya Bung Karno (Presiden Sukarno) siapa? Anda juga sudah tidak peduli kok Bung Karno anak siapa, Jokowi anak siapa. Jadi orang Indonesia itu tidak pengin tahu apa-apa. Penginnya ya duit lebih banyak, bisa nyekolahin anak, kendaraan meningkat, ya monggo. Tapi saya tetap mencintai Anda semua,” tuturnya.
“Tapi tolong digarisbawahi, saya memilih tidak untuk semuanya. Kekuasaan tidak, keusahaan kekayaan tidak, semua identitas saya tinggalkan. Seniman, tidak. Ada kongres seniman, saya tidak diundang juga kok. Kongres kebudayaan saya tidak terlibat juga. Kyai ? Sopo sing ngakoni aku kyai (siapa yang mengakui saya kyai), aku yo emoh disebut kyai (saya tidak mau disebut kyai), saya juga tidak mau disebut ustaz, karena saya serius soal ustaz itu apa, kyai itu apa, gus itu apa, ulama itu apa, saya serius. Di sini itu kan semua pura-pura, meneng-meneng nek wis nyaleg menjadi Gus. Jadi saya tidak berani tidak serius, karena harus menemukan ketepatan, presisi, dari zaman ini bagaimana,” katanya.
5. Tak Paham Perbedaan Antara Negara dan Pemerintah
Menurut pandangan Cak Nun, jika Indonesia tidak berani membuat perubahan, maka sesungguhnya sedang menunggu kehancuran. “Entenono (tunggu saja), tapi kalau sudah terjadi apa-apa jangan minta saya untuk evakuasi. Di Jogja saya sudah bilang, April hingga Oktober (2019) adalah bulan gini, gini, gini, Anda harus menentukan sikap sejak sekarang, Anda mau menjadi faktor yang mana, 2019-2020 akan begini, nanti kalau ini begini, 2020-2025 akan begini, semua kan harus dihitung ke depan, simulasi ke depan. Korea saja bikin rencana proyek ke depan selama 30 tahun. Bahkan sekarang ada proyeksi 300 tahun ke depan, Korea Selatan. Kita hanya lima tahun. Itu pun bukan negara yang bikin, tapi pemerintah,” cetusnya.
Nah, Indonesia tidak mau tahu bahwa negara itu bukan pemerintah. Pemerintah bukan negara. “Itu beda, seluruh dunia begitu. Hanya di Indonesia dan Amerika. Karena di UUD-nya ya salah. Di UUD, presiden adalah kepala negara. Tidak ada kepala pemerintahan, akhirnya kepala pemerintahan merasa menjadi kepala negara,” katanya.
Padahal kata-katanya jelas, lanjut Cak Nun, misalnya menyebut istilah BUMN, Badan Usaha Milik Negara, bukan milik pemerintah. ASN, Aparatur Sipil Negara. Jadi, ASN merupakan pegawai negara. “Tidak boleh taat kepada pemerintah, tidak wajib taat. Dia taatnya kepada Undang-Undang Negara. Bupati itu outsourcing, Presiden itu outsourcing lima tahun. Mosok lima tahun ditaati sama yang permanen? Jadi yang gitu-gitu tak omongke, tapi tidak laku. Njuk lahopo urip iki (terus untuk apa hidup ini?). Semua nggak penting bagi orang Indonesia kayaknya. Ini nggak bener ini,” katanya.
6. Sri Mulyani, Menteri Keuangan itu Kasir
Sehingga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu seharusnya setornya bukan ke Menteri Keuangan, karena Menteri Keuangan itu Pejabat Pemerintah, seharusnya ke Kas Negara. “Harus ada beda antara bendahara dan kasir. Sri Mulyani (Menteri Keuangan) itu kasir. Kalau di rumah, ada Kepala Keluarga dan Kepala Rumah Tangga. Kepala Keluarga itu bapak (suami), Kepala Rumah Tangga itu ibu (istri). Harus ada manajemen pemilahan seperti itu,” terangnya.
Penataan sistem tata negara seperti itu diterapkan di Inggris, Belgia, Spanyol, Monaco, Jerman, disebut sistem kerajaan. Termasuk Malaysia, menggunakan sistem kerajaan. “Kita sama Amerika tok kayaknya yang Republik. Kalau Amerika memang kumpulan orang generik, orang seluruh dunia berkumpul di situ. Sehingga ada perjanjian-perjanjian yang rasional. Sementara kita ini kan tidak, tapi kita (Indonesia) ini copy paste. Makanya saya bilang Indonesianya mana? Undang-Undangnya dari Belanda, konstitusinya dari Barat,” katanya.
7. Hayam Wuruk itu Kepala Negara, Gajah Mada adalah Kepala Pemerintahan
Secara implisit negara Indonesia menerapkan pembagian kekuasaan sesuai teori Trias Politika. “Merasa Trias Politika itu adalah sistem negara. Padahal bukan, itu sistem pemerintah. Trias Politika dibagi tiga, yakni Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sistem Negara lain lagi, misalnya Raja Hayam Wuruk itu Kepala Negara. Sedangkan Patih Gajah Mada adalah Kepala Pemerintahan,” katanya.
Bahkan tidak ada pemerintah, bisa berjalan dan tidak menjadi masalah asalkan ada negara. Hal itu pernah terjadi selama 6,5 bulan di Belgia tidak punya pemerintahan. “Tapi semua urusan negara tetap jalan. Tentara itu (aparat) negara, polisi itu (aparat) negara. Jadi TNI/Polri itu seharusnya tidak boleh di bawah presiden. Tapi di Indonesia kan apa saja boleh, asalkan dapat laba,” katanya.
Selain itu, lanjut Cak Nun, Indonesia saat ini tidak memiliki konsep negarawan. “Siapa yang negarawan? Yang ada sekarang ini kan politisi. Lho kok tidak punya negarawan itu Anda bagaimana? Mosok punyanya sabit dan cangkul, kemudian pedangnya dipakai mencari rumput sekalian. Tidak punya pusaka. Tidak punya negarawan. Katanya Indonesia Pusaka, mana pusakanya ? NKRI harga mati, harga mati apanya lha wong udah dirusak tidak karuan,” katanya.
8. Misteri Alenia Kedua Teks Proklamasi, Siapa Bisa Menjawab?
Cak Nun juga mempertanyakan kepada Capres, tentang misteri Alenia Kedua dalam Teks Proklamasi, berbunyi “Adapun hal-hal yang menyangkut ‘pemindahan kekuasaan’ akan dilaksanakan secara seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya”. “Itu ‘pemindahan kekuasaan’ maksudnya apa? Apa yang dipindahkan? Dari siapa ke siapa? Kapan dilaksanakan? Lhawong teks proklamasi saja tidak dilaksanakan. Apalagi cuma Perpres, Undang-Undang. Sudah proklamasi kok baru pemindahan?” katanya.
Faktanya, lanjut Cak Nun, Belanda hingga sekarang tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia. “Kalau mengakui, dia (Belanda) harus mengakui pernah menjajah 350 tahun dan membayar rampasan perang kepada PBB. Jadi, sampai hari ini, Belanda itu tidak mengakui kemerdekaan kita. Dan faktanya kemerdekaan tidak terhadap Belanda, tapi sama Jepang,” bebernya.
Bagi Belanda, lanjut suami Novia Kolopaking itu, mereka merasa tidak pernah menjajah. “‘Lho, saya (Belanda) ini kan dari dulu hanya pemborong. Kerjasama dengan sultan, raja, untuk membangun jembatan, kebun, membangun jalan, saya tidak pernah menjajah kok’. Bagi Belanda, Indonesia itu merdeka sejak dahulu hingga sekarang, tidak pernah dijajah oleh siapa-siapa. Ini tidak jelas, jadi sama saja nikah tidak jelas akad nikahnya. Tapi itu semua dianggap tidak penting bagi Indonesia, ya harus gimana lagi?” katanya.
Pemikiran mengenai Indonesia seperti yang disampaikan selama ini tidak dihiraukan. “Saya hanya bermanfaat bagi anak-anak saya, cah-cah Maiyah, selebihnya ya tidak bermanfaat di mana-mana. Hanya orang darurat saja yang mencari saya. Kalau dia sudah kepepet mau kena OTT (operasi tangkap tangan KPK), cemas dan seterusnya, baru mencari saya,” katanya.
9. Tiga Cara Mengatasi Problem Indonesia
Cak Nun memberi perumpamaan dalam menangani buasnya macan. “Kalau problem manusia itu ibarat macan. Ada tiga cara untuk menaklukkannya. Pertama, menggunakan kesaktian, kekuatan untuk melawan macan kemudian dikurung macan tersebut,” katanya.
Kedua, pakai ilmu dan kekuasaan. “Pura-pura dikasih makan, lalu disiapkan kurungan. Ketiga, pakai ‘Pawang’. Nah, kata ‘Pawang’ ini hanya ada di Indonesia. Sebuas-buasnya macan, kalau ada Pawang, macannya luluh. Kita sebetulnya punya daya itu, kenapa itu tidak dikembangkan. Kalau Presiden punya aura ‘Pawang’, Indonesia pasti tentram. Pawang hujan itu apakah sakti? Tidak, itu karena sudah ada perjanjian dengan kepala dinas hujan,” ujar Cak Nun memantik tawa orang dalam ruangan.
10. Indonesia Baru akan Berubah dengan Empat Hal ini
Cak Nun melihat, Indonesia baru akan berubah dengan empat hal. Pertama, adalah bencana alam besar-besaran. Kalau hanya bencana kecil seperti gempa Lombok, tsunami Palu, atau meletusnya Gunung Merapi, itu tidak akan mengubahnya.
“Mungkin tidak setingkat di zaman Nabi Nuh, tapi harus dihajar dengan bencana alam besar-besaran, itu baru akan berubah. Pikirannya baru mau agak sadar,” katanya.
Kedua, Endemi, yakni munculnya wabah penyakit menular yang bersifat massal. “Itu baru akan berubah. Ketiga, adalah revolusi oleh pemimpinnya. Bukan revolusi untuk menjadi pemimpin atau people power. Sebab, revolusi poeple power memuat pertentangan vertikal, ada mobilisasi dan seterusnya. Saya tidak percaya (keberhasilan) revolusi poeple power, paling-paling terjadi benturan horizontal,” katanya.
Revolusi pemimpin adalah revolusi yang dilakukan oleh presiden. Bukan revolusi fisik, tapi revolusi berpikir dan mental. “Sekarang ini sudah ada istilah revolusi mental, tapi dia juga nggak ngerti seperti apa. Karena mental itu akibat dari formasi dari pikiran dan paham spiritualnya. Hubungan antara manusia dengan alam apa, hubungan sama hewan apa, sama langit apa. Manusia itu kan buncit (yang terakhir), jadi yang namanya binatang, alam, itu kakak kita. Sehingga kita tidak boleh melukai (binatang dan alam). Sebelum manusia ada binatang, sebelum binatang ada alam. Sebelum alam ada jin, yang terbagi menjadi spesies malaikat, spesies iblis, dan spesies setan. Jare Sopo Cak? (kata siapa?), ya cari sendiri (sumbernya) Lhawong kalian juga tidak pernah nyari (tentang pengetahuan itu),” katanya.
Bung Karno, lanjut Cak Nun, adalah tokoh revolusioner. “Tapi kepincut atas kebesarannya. Sedangkan revolusi People Power itu baru bisa efektif kalau ada pawang nasional. Di mana semua kelompok merasa lega hatinya (terhadap pawang nasional). Kalau hanya segmented, misalnya imam besar kelompok tertentu, tidak akan membuat kelompok lain senang. Jadi, tidak ada revolusi yang berguna di situ,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto